ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 04 Februari 2020
Ubermensch: Saya berpotensi!
Oleh
Clara Moningka dan Najwa Khansa
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Hidup di jaman yang begitu kompetitif memungkinkan manusia lebih rentan terhadap perilaku membandingkan diri. Kerap kali, perilaku ini juga dapat membuat individu stres, bahkan depresi. Memang, pada dasarnya, manusia kerap membandingkan dirinya dengan orang lain (Moningka & Midori, 2019). Hal inilah yang akhirnya membentuk perilaku kompetitif pada manusia. Adanya pengetahuan tentang reward pun turut menjadi pemicu munculnya keinginan untuk berkompetisi. Masalahnya, ketika apa yang telah dilakukan tidak sesuai sebagaimana mestinya, terkadang manusia justru mulai menyalahkan diri sendiri yang tidak kompeten sebagai bentuk dari penyesalan yang berkaitan dengan trauma atau stres dari kegagalan (Weiten, Dunn, & Hammer, 2015). Hal lain yang biasa dilakukan adalah dengan membuat keadaan “sepertinya” baik-baik saja, bahkan tidak sesuai dengan keadaan. Sikap-sikap seperti inilah yang membawa manusia akhirnya kepada keputusasaan.
Fenomena yang marak terjadi khususnya di kalangan remaja sekarang adalah dengan menggunakan media sosial untuk menonjolkan diri mereka atau ideal self yang kadang tidaj sejalan dengan actual self yang dimiliki diri. Misalnya, seperti penggunaan media sosial Instagram. Apa yang tertangkap lewat foto dengan realita pada saat proses pembuatan foto tersebut sering kali tidak sesuai atau semanis yang tergambarkan.Yang penting adalah pandangan baik orang lain terhadap diri kita. Dari contoh kasus tersebut dapat dilihat bahwa manusia sangatlah mudah terpengaruh oleh opini luar hanya untuk sebuah pengakuan.Padahal manusia memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mencapai tujuan mereka. Hal ini sejalan dengan konsep ubermensch dari Nietzsche. Kauffman menyatakan makna ubermensch adalah manusia merupakan sesuatu yang mampu melampaui, bahwa manusia mampu menjadi yang paling unggul (Kauffman dalam Nanuru, 2011). Nietzsche menentang pemikiran eksternal yang bukan berasal dari dalam diri masing-masing individu. Dari konsep ini kita dapat menyimpulkan bahwa manusia terlalu dipengaruhi oleh pendapat umum untuk segala bentuk perbuatanya, maka manusia tersebut telah gagal untuk menjadi manusia yang cerdas dan berani.
Dalam psikologi sendiri, konsep ini dapat diterapkan untuk meningkatkan potensi diri. Dalam hal ini manusia memang bukan segalanya, namun sebagai mahkluk yang berbudi, berakal dan memiliki harga diri manusi dapat menentukan jalannya dan mengembangkan potensi. Pendapat atau opini yang membangun dapat kita gunakan, namun ketika kita cenderung memperhatikan apa pendapat orang lain, kita memang menjadi tidak fokus mencapai tujuan kita. Jadi ada baiknya “merasa” menjadi “manusia super”, asalah jangan kebablasan!
Referensi:
Moningka, C.& Midori, L. (2019). Gemuk momok bagi perempuan? Tinjauan dari teori Adler. Diakses pada 8 Oktober 2019. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/355-inferiority-feeling.
Nanuru, R. F. (2011). ÜBERMENSCH: Konsep manusia super menurut Nietzsche. Diakses pada 8 Oktober 2019. https://journal.uniera.ac.id/pdf_repository/juniera14-r4QEKNjbjJqgqhxxzI3CwTA60.pdf.
Weiten., Dunn., & Hammer. (2015). Psychology applied to modern life. Stamford. Cengage Learning.