ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 21 November 2019
Pentingnya Learning Agility pada Karyawan Generasi Y
Oleh
Devi Jatmika
Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia
Keadaan dunia ekonomi dan bisnis masa kini digambarkan dengan istilah VUCA world. Era VUCA merupakan singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity. Volatility adalah dinamika perubahan yang sangat cepat dalam berbagai hal seperti sosial, ekonomi dan politik. Uncertainty yaitu sulitnya memprediksi isu dan peristiwa yang saat ini sedang terjadi, Complexity adalah keadaan yang sangat kompleks karena banyaknya hal-hal yang sangat sulit diselesaikan. Terakhir, Ambiguity yakni keadaan yang terasa mengambang dan kejelasan yang masih dipertanyakan (Johansen dalam Azzaini, 2018). Perusahaan-perusahaan berupaya mempersiapkan organisasinya untuk menghadapi tantangan-tantangan di era VUCA. Pengaruh dari VUCA turut mempengaruhi bidang sumber daya manusia. Karyawan yang bertalenta menjadi unggulan dan penentu perubahan, untuk menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian dibutuhkan individu yang bisa bertahan yaitu mereka yang dapat menyesuaikan diri (“Persiapan HRD Menghadapi”, 2015).
Seorang lulusan sarjana S1 tidak cukup jika hanya mengandalkan nilai IPK ataupun lulusan dari universitas terkemuka. Ditambah pula, persaingan yang semakin ketat untuk mendapatkan suatu pekerjaan, mengembangkan karir, dan tetap bertahan di suatu organisasi. Fenomena jumlah generasi Y saat ini menjadi jumlah angkatan kerja di Indonesia yang terbanyak. Data BPS (2016) mencatat dari 160 juta angkatan kerja, 40% diantaranya adalah generasi Y sebanyak 62,5 juta berusia 20-34 tahun, yang kemudian diikuti 34,83% generasi X yang berusia 35-54 tahun, 24, 18% generasi baby boomers di atas usia 55 tahun dan 4,8% adalah generasi Z berusia di bawah 20 tahun. Hal ini menunjukkan kontribusi generasi Y terhadap perusahaan sangat besar dan menentukan masa depan perusahaan.
Namun, untuk mengelola karyawan-karyawan generasi Y ini tidaklah mudah. Prabowo, Latifah, dan Rahmadiani (2017) kepribadian generasi Y dengan usia kelahiran 1990-1994 diketahui generasi ini merupakan pribadi yang kreatif, dinamis, optimis terhadap keinginan, fleksibel dalam lingkup sosial dan hal-hal baru, menyukai hal praktis namun kurang memiliki daya juang dan cenderung berorientasi pada dirinya sendiri. Generasi Y pun berbeda dengan generasi X dalam memaknai proses. kemudahan fasilitas, lalu lintas barang dan jasa, jejaring sosial dan lainnya lebih mudah diakses. Akibatnya, generasi Y cenderung sulit berkonsentrasi karena mereka cepat bosan dan berpindah ke gawai (Putra, 2018). Dengan kemudahan ini mengakibatkan mereka sedikit memaknai kegagalan yang akibatnya cenderung kurang memberikan usaha dan sulit fokus. Lalu, bagaimana karyawan generasi Y ini dapat bertahan di tengah perubahan dan tantangan dalam bekerja?
Solusi untuk mengatasi dunia VUCA ini adalah dengan VUCA (vision, understanding, clarity dan agility). Volatility dapat diakomodir dengan menerapkan visi (vision) yang jelas. Visi berbicara tentang identifikasi prioritas yang paling penting. Uncertainty dapat diatasi dengan understanding merupakan pemahaman yang baik akan apa yang menjadi penyebab, kesediaan untuk menghadapi isu-isu yang sulit, komunikasi, merefleksikan perilaku yang diharapkan dan percaya terhadap orang lain. Clarity adalah upaya untuk mengatasi kerumitan atau complexity berupa arah dan mau mengakui kekurangan dalam pengetahuan dan kesabaran untuk belajar dan memperoleh informasi melalui dialog dan komunikasi (Johansen dalam Codreanu, 2017). Agility berhubungan dengan menghadapi kesulitan dengan memiliki fleksibilitas, kelincahan untuk melihat solusi-solusi yang ada.
Learning agility didefinisikan sebagai kesediaan dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman, kemudian menerapkan apa yang telah dipelajari untuk memperoleh kesuksesan di situasi yang baru (De Meuse, Dai & Hallenbeck, 2010). Orang-orang dengan agility yang tinggi mengambil pelajaran yang tepat dari pengalaman mereka dan menerapkan pelajaran tersebut di situasi-situasi baru, mereka cenderung akan mencari tantangan-tantangan baru terus menerus, aktif mencari feedback dari orang lain dengan tujuan untuk bertumbuh dan berkembang, cenderung merefleksi diri, dan mengevaluasi pengalaman dan menarik kesimpulan (Meuse, et al., dalam Basuki, 2015). Learning agility terbagi dalam empat dimensi yaitu: 1). People agility: seseorang mengetahui dirinya dengan baik, belajar dari pengalaman, saling membangun dengan orang lain dan resilien dalam tekanan perubahan; 2). Results agility: seseorang yang mendapatkan hasil di bawah kondisi yang sulit, menginspirasi orang lain, dan memabngun kepercayaan diri orang lain dengan kehadirannya; 3). Mental agility: orang-orang yang berpikir tentang suatu masalah dari sudut pandang yang baru dan merasa nyaman dengan ambiguitas, kompleksitas dan menjelaskan pemikiran mereka kepada orang lain; 4) Change agility: orang-orang yang ingin tahu, memiliki gairah atas ide-ide dan terlibat dalam aktivitas peningkatan keterampilan (Lombardo & Eichinger dalam De Rue, Ashford, & Myers, 2012). Penelitian Lombardo dan Eichinger (2000) kepada 217 karyawan diperoleh adanya hubungan keempat dimensi learning agility terhadap “potensi kinerja” di perusahaan. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki learning agility memprediksi kinerjanya di perusahaan.
Mitchinson dan Morris (2014), menjelaskan lima cara untuk menjadi seseorang yang memiliki learning agility:
1. Innovate: Tidak takut untuk menantang status quo, melakukan percobaan dari ide-ide baru dan berupaya untuk mendapatkan solusi terbaik untuk setiap permasalahan.
2. Perform: Memilih tanda-tanda yang terlihat untuk mendapatkan pemahaman dari suatu masalah serta tetap tenang ketika berhadapan dengan situasi yang menantang dan tekanan-tekanan pekerjaan.
3. Reflect: Mencari waktu untuk secara kritis merefleksikan pengalaman-pengalaman yang telah dihadapi, temukan apa kegagalan dan pelajaran yang diperoleh dari kegagalan.
4. Take risks: Bersedia dengan sukarela mengambil peran yang berbeda, baru, atau menantang, serta mampu menikmati perjuangan ketika menghadapi masalah yang menantang.
5. Defend: Mempertimbangkan peran diri terhadap kesuksesan dan kegagalan dan bersedia untuk menerima feedback dari orang lain.
Dari paparan di atas, karyawan-karyawan yang berada di generasi Y perlu mengasah kemampuan learning agility agar mampu beradaptasi dengan perubahan, bekerjasama dengan karyawan dari generasi yang berbeda, serta mengasah peran kepemimpinan. Learning agility juga turut didukung oleh peran atasan yang memfasilitasi karyawan dan memberikan feedback yang berarti untuk perkembangan karyawan dan kesempatan untuk eksplorasi dengan pemikiran-pemikiran inovatif.
Referensi:
Basuki, D. (2015). Pentingnya “Learning Agility” dalam mendongkrak karier. Retrieved from https://indonesiana.tempo.co/read/28541/2015/01/02/Pentingnya-%EF%BF%BDLearning-Agility%EF%BF%BD-dalam-Mendongkrak-Karier.
Codreanu, A. (2016). A VUCA action framework for a VUCA environment, leadership and solutions. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/316967836.
De Rue, D.S., Ashford, S.J., dan Myers, C.G. (2012). Learning agility : In search of conceptual clarity and theoretical grounding. Industrial and Organizational Psychology (5), 258-279.
De Meuse, K.P., Dai G., dan Hallenbeck, G. S. (2010). Learning agility : A construct whose time has come. Consulting Psychology Journal, 2(2), 119-130.
Lombardo, M. M., & Eichinger, R. W. (2000). High potentials as high learners. Human Resource Management, 39(4), 321-329.
Mitchinson, A. & Morris R. (2014). Learning about learning agility. Center for Creative Leadership. Retrieved from https://www.ccl.org/articles/white-papers/learning-about-learning-agility
Prabowo, A., Latifah, D. A., & Rahmadiani, N. D. (2017). Profil kepribadian generasi Y. Prosiding Temu Ilmiah Nasional APIO 2017 “Mengelola dan Melejitkan Generasi Y di Era Digital”, pp. 12-23.
Putra, F. (2018). Bahaya glorifikasi generasi milenial. Retrieved from https://lifestyle.kompas.com/read/2018/08/23/073100420/bahaya-glorifikasi-generasi-milenial