ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 20 Oktober 2019
Joker is not a Joke
Oleh
Clara Moningka
Program Studi Psikologi
Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya
Tahun 2019 ini, film Joker merupakan salah satu film yang menarik perhatian banyak orang. Mulai dari ibu-ibu yang mengkhawatirkan isi film dan dampaknya pada anak-anak, bahkan efeknya pada orang dewasa, atau malah para analis film yang kemudian menyarankan untuk menonton film tersebut untuk pembelajaran hidup. Latar kisah ini adalah pada tahun 1981, dimana Athur Fleck (Joker) tinggal dengan ibunya yang sakit di Gotham City. Saat itu Gotham merupakan kota yang rentan terhadap kejahatan. Arthur sendiri mengalami kelainan saraf (neurological disorder) yang menyebabkan ia kerap tertawa pada situasi yang tidak tepat. Dalam perjalanan hidupnya Arthur kerap didera kegagalan dan kekejaman dari orang disekelilingnya. Kejadian demi kejadian yang dialami, termasuk penghentian pengobatan pada dirinya membuat ia menjadi orang yang kejam dan apatis terhadap lingkungannya. Ia menjadi Joker yang tidak takut pada siapapun dan siap melukai siapa saja yang menghalanginya.
Pada dasarnya apa yang dialami Arthur adalah kejadian yang juga banyak dialami individu lain di dunia ini. Banyak orang yang sering tidak dianggap dan kerap gagal dalam hidupnya. Individu ini pada akhirnya entah pasrah atau menjadi depresi, bahkan balik melawan. Di sisi lain, ada yang tetap berjuang atau bahkan melewati batas seperti yang dilakukan Arthur. Dari sisi psikologi, perilaku ini dianggap sebagai bagian dari “Striving for success or superiority”; berusaha berjuang mencapai keberhasilan atau superioritas. Adler salah satu tokoh dalam psikologi individual menjelaskan bahwa semua manusia terlahir dengan perasaan inferior dan tidak berdaya. Sebagai anak, kita merasa lebih kecil, lebih lemah, bahkan lebih bodoh dari orang dewasa. Mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan pada dasarnya membuat individu bermimpi untuk menjadi orang dewasa yang sukses atau berhasil dalam bidang tertentu. Konsep striving for superiority pada dasarnya tidak merubah individu menjadi dominan, sombong, atau menjatuhkan orang lain namun usaha manusia menjadi diri yang lebih baik. Adler sendiri mengartikan sebagai usaha membuat diri lebih sempurna. Oleh karena itu, perjuangan menuju sukses bisa berhasil, bahkan membuat kehadiran individu bermakna bagi orang lain. Kegagalan mencapai keadaan ini membuat individu terjebak dalam perasaan inferior. Hal lain yang tidak sehat adalah individu terjebak untuk kesuksesan dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain (Schultz & Schultz, 2009; Feist & Feist, 2009)
Arthur merupakan gambaran individu yang juga mengalami perasaan inferior. Sejak kecil ia terjebak dalam inferioritas, bahkan menjadi objek kekerasan dari kekasih ibu angkatnya dan akhirnya mengalami gangguan. Pada keadaan terdesak dan kekerasan yang diterima dirinya, membuat ia berusaha berjuang untuk mendapatkan superioritas; superioritas yang akhirnya “kebablasan”. Ia tidak menjadi manusia yang lebih baik, namun menjadi kejam dan apatis. Banyak orang yang berpendapat bahwa “The world turn him into a wicked person”. Apakah benar demikian?
Adler dalam teorinya menjelaskan bahwa individu dengan kepribadian sehat akan cenderung memahami dunianya dengan lebih baik, memiliki tujuan hidup dan kreatif. Dalam hal ini mereka juga mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (Schultz & Schultz, 2009). Maka mudah dipahami bila anak yang tidak mendapatkan cinta dari orang tua, kerap mendapatkan kekerasan atau hinaan dapat mengembangkan perasaan tidak berarti, menyimpan kemarahan, bahkan sulit untuk percaya pada orang lain. Pada kasus Arthur, dunia memang tidak ramah terhadap dirinya sejak ia kecil. Apa yang ia alami menjadi pemicu perubahan dalam dirinya. Ia kemudian mengabaikan dan menyerang dunia yang selama ini menekan.
Film ini memang dapat menjadi hiburan semata dan menjadi bahan perbincangan karena karakter yang ditampilkan, atau malah dianggap membingungkan. Orang kerap tidak habis pikir mengapa seseorang mampu berbuat sejahat itu hanya karena diperlakukan tidak baik. Bisa saja ia berjuang dan berusaha lebih keras untuk mendapat tempat di masyarakat. Di sisi lain, film ini juga mengingatkan bahwa ada disekitar kita yang juga terjepit, putus asa dan mengalami berbagai perlakuan yang tidak menyenangkan yang mungkin dapat berperilaku “ala Joker”. Apakah kita menjadi individu yang ikut menekan dan menghakimi, atau paling tidak mau mengusahakan kebaikan untuk orang lain; to make a world a better place. Just remember Joker is not a joke.
Referensi:
Schultz, D.P., Schultz, S.E. (2009). Theories of personality 9th Ed. California, CA: Cengage Learning.
Feist, J., Feist, G.J. (2009). Theories of personality 7th Ed. New York, NY: McGraw-Hill