ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 15 Agustus 2019

 

Prinsip Ulayat dari Kepemimpinan

 

Oleh

Eko A Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pengantar

Pada semester ini saya mengajar mata kuliah yang bertemakan dinamika kelompok. Sebuah mata kuliah yang jika dibaca perlahan akan terasa sekali rasa psikologi sosialnya, hanya saja fokus pada kelompok. Beberapa contoh materi yang disajikan dalam kuliah ini adalah pengaruh sosial, konflik, hubungan antarkelompok dan kepemimpinan. Hal yang menarik adalah materi kepemimpinan. Pada materi kepemimpinan ini bahasan psikologi arus utama sangat jelas. Konsep-konsep yang diajukan tentu para ilmuwan psikologi telah tahu semua. Beberapa diantaranya adalah kepemimpinan yang efektif, proses kepemimpinan berupa reciprokal, transaksional, transformasional, kooperatif, dan adaptif (Forsyth, 2010). Semua temuan yang tertulis dalam buku juga baik, dan sangat terdukung oleh data. Namun menimbulkan pertanyaan, apakah ada kontribusi khas Indonesia dalam masalah kepemimpinan yang “diakui” dunia?

 

Pandangan ini sejalan dengan ide Meinarno (2018) bahwa bahwa konteks masyarakat dari psikologi sosial di Indonesia adalah masyarakat Indonesia, bukan masyarakat Barat. Bagi masyarakat Indonesia tema kepemimpinan disinggung dalam legenda dan bahkan keyakinan (agama). Salah satu legenda yang hidup di masyarakat Indonesia dan mempunyai pesan moral kepemimpinan adalah Ramayana dan Mahabharata. Keduanya adalah legenda dari India yang diadopsi dan adaptasi oleh masyarakat Indonesia khususnya etnis Jawa.

 

Ide Kebudayaan Nasional: Hasta Brata

Kedua legenda itu menceritakan betapa karakter dari individu yang menjadi pemimpin akan berdampak pada kehidupan bangsanya. Dalam Ramayana, akibat perilaku Rahwana terjadilah peperangan dengan bangsa lain yang dipimpin Rama. Pada Mahabharata, perilaku Sengkuni dan Duryudana membawa kelompok Kurawa berperang dengan Pandawa. Dengan demikian kepemimpinan kelompoklah yang menentukan terjadinya perang atau tidak.

 

Khusus pada legenda Ramayana (setidaknya dalam versai Jawa), ada pesan khusus untuk membangun kepemimpinan. Pesan dari Rama kepada Wibisono agar dapat memimpin bangsa Alengka pascaperang. Pesan itu yang kemudian dikenal sebagai Hasta brata. Hasta brata berisi arahan prinsip-prinsip kepemimpinan yang dibutuhkan dalam memimpin dan sukses. Hal ini wajar, karena hasta brata ini dipaparkan sebagai pesan dari pemimpin yang suskes (Rama) kepada calon pemimpin baru Alengka yakni Wibisono. Kedelapan prinsip itu merujuk pada karakter alam (Purwadi, 2007 dalam Hamim, 2014; Yasasusastra, 2011 dalam Hudaya, & Nugroho, 2013). Bumi. Sebagai tempat kehidupan, bumi menyediakan semua kebutuhan dasar makhluk hidup.

  1. Bumi merupakan tempat yang kokoh dan senantiasa memberi pada semua makhluk. Seperti bumi, pemimpin harus mampu untuk memberi dan kokoh.
  2. Matahari. Lewat cahaya matahari makhluk di bumi mampu hidup dan beraktivitas. Pemimpin memberi energi berupa visi, tujuan, dan alasan untuk setiap tindak keputusan.
  3. Api. Api memiliki hukum yang jelas, ia membakar apa saja yang menyentuhnya. Walaupun bersifat merusak, ia merupakan unsur alam paling adil di antara yang lain. Sifat api yang spontan mencerminkan keberanian dan keyakinan kuat.
  4. Samudra. Hilir untuk semua sungai, padahal tidak semua sungai membawa air yang bersih. Perwujudan prinsip ini adalah sosok yang membuka mata dan pikiran secara luas. Menerima pendapat dari sekitar sebagai tanda respek seorang pemimpin pada orang lain. Pemimpin harus mempunyai sifat pemaaf sebagaimana samudra raya yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Perwujudan prinsip ini adalah dukungan pluralisme dalam hidup bermasyarakat yang berkarakter majemuk.
  5. Langit. Langit adalah cakrawala. Ia adalah simbol bagi luasnya ilmu pengetahuan. Sosok yang mensimbolkan langit memiliki kompetensi, kemampuan, dan kecakapan yang dapat diajarkan pada orang lain.
  6. Angin. Angin dapat berhembus di mana saja. Ia terbentuk ketika ada perbedaan tekanan udara. Pemimpin yaitu seseorang keberadaan dan pengaruhnya bisa dirasakan oleh sekitarnya. Prinsip ini mewujud dalam bentuk terjun menghadapi masalah dan peduli pada kondisi yang dihadapi. Tidak sekedar menggantungkan diri dari laporan dari bawahan saja.
  7. Bulan. Ketika memandang bulan, ada rasa damai dalam gelap. Pemimpin harus menjadi sosok yang memberikan kedamaian pada sekitarnya. Mampu mewujudkan kegembiraan sekaligus memberikan harapan pada sekitar ketika kondisi dalam keadaan putus asa.
  8. Bintang (pengarah). Pemimpin menjadi pengarah dan pedoman bagi lingkungannya. Menjadi pengarah artinya menjadi sebuah inspirasi bagi yang lain. Menjadi inspirasi artinya pemimpin memiliki satu prinsip dasar yang menjadi ruh kepemimpinannya.

 

Dari Legenda menjadi Konsep Psikologi

Delapan prinsip kepemimpinan ini ternyata telah menarik ilmuwan Indonesia untuk menjadikannya sebagai bahan kajian empiris. Setidaknya terdapat beberapa nama yang mengajukan Hasta brata menjadi obyek kajian ilmiah. Hamim (2014) mengkaji Hasta brata yang dikaitkan dengan kepemimpinan Islam; Hudaya dan Nugroho (2013) mengajukan Hasta brata sebagai model kepemimpinan yang efektif; Hidayat dan Setiyowati (2017) meneliti dan mengembangkan Hasta brata menjadi instrumen penilaian kinerja kepada desa; Setiyowati (2015) melakukan sinkronisasi antara kompetensi dan Hasta brata; dan Setiyowati (2016) membangun skala kompetensi berbasis Hasta brata.

 

Keberanian melakukan terobosan ini yang sangat diperlukan dalam pengembangan psikologi ulayat. Sebagaimana pendapat Sarwono (2012) bahwa psikologi ulayat adalah cabang psikologi yang mempelajari perilaku dan minda suatu kelompok budaya yang bukan diimpor dari luar, melainkan lahir dan berkembang dalam kelompok itu sendiri, merupakan hasil kesepakatan dari nenek moyang, para pendahulu, dan para sesepuh, diteruskan turun menurun, dari generasi ke generasi, secara getok tular, tidak ada dokumen legal, dan tidak ada cetak birunya. Para ilmuwan Hasta brata dengan segala kemampuan dan menggunakan metode ilmiah mencoba mewujudkan Hasta brata menjadi bagian dari psikologi ulayat. Kisah Ramayana (versi Jawa) umumnya telah dimodifikasi dan berkembang dalam ruang kelompok Jawa (menjadi bagian Indonesia). Hasta brata disepakati oleh nenek moyang sebagai pesan yang ada dalam kisah Ramayana Indonesia. Pesan itu ada tanpa adanya catatan tertulis ilmiah. Hingga pada akhirnya ada yang mengemabngkannya secara ilmiah, khususnya secara psikologis.

 

Penutup

Kembali pada bagian awal tulisan ini, akhirnya saya akan dapat mengajar Dinamika Kelompok dengan lebih membumi. Mahasiswa akan tahu bahwa mengukur kepemimpinan tidak melulu dari barat. Lebih dekat dengan kenyataan Indonesia, tanpa kekhawatiran tidak ilmiah, tidak barat, tidak arus utama dan lain-lain. Psikologi harus dapat menjelaskan manusia, manusia yang hidup di tempat dan budayanya. Dan inilah saatnya kita dapat mewujudkannya.

           

Referensi:

Hidayat, F., & Setiyowati, N. (2017). Pengembangan Instrumen Penilaian Kinerja Kepala Desa. Jurnal Sains Psikologi, 6(2), 56-62.

 

Forsyth, DR. (2010). Group dynamics 4e. Belmont, California: Cengage Learning.

 

Hamim, M. (2014). Korelasi Antara Hasta Brata (Konsep Kepemimpinan dalam perspektif budaya Jawa) dan Islamic leadership (Konsep kepemimpinan dalam perspektif Islam). ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 15(1), 57-68.

 

Hudaya, Z. A., & Nugroho, S. W. (2013). Kearifan lokal budaya Jawa sebagai basis model kepemimpinan yang efektif. Sustainable Competitive Advantage (SCA), 3(1).

 

Meinarno, EA. (2018). Psikologi Sosial yang lebih Ulayat: Tawaran dan tantangan. Dipaparkan dalam acara Seminar Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) dengan tema Psikologi Sosial yang lebih Ulayat: Tawaran dan Tantangan. Universitas Al Azhar Indonesia, 22 Maret 2018, Jakarta.

 

Sarwono, S. W. (2012). Psikologi Ulayat. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 1(1).

 

Setiyowati, N. (2015). Asta Brata: Pemetaan Kompetensi Kepemimpinan Jawa untuk meningkatkan organizational wellness pada institusi pendidikan di Jawa Timur. Proceeding Psikologi Positif.

 

Setiyowati, N. (2016). Model kompetensi Asta Brata: Studi confirmatory analisis Pada kepala Desa di Jawa Timur. Proceeding Psikologi Indigenous. “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016.