ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 15 Agustus 2019

 

“Anakku Bukan Anakku Lagi”:

Mengenali Gejala Trauma Pada Anak

 

Oleh

Jessica Ariela

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Sebuah cohort study (Copeland et al., 2018) yang melibatkan 1,420 orang partisipan baru saja dipublikasikan. Partisipan dimonitor sejak kanak-kanak sampai dewasa dari tahun 1993 sampai 2015. Hasilnya mencengangkan. Tim peneliti menemukan 30.9% anak-anak pernah terpapar sebuah pengalaman traumatis, 22.5% mengalami dua pengalaman traumatis, sedangkan 14.8% pernah mengalami tiga pengalaman traumatis atau lebih. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan awam bahwa trauma pada anak hanya dialami segelintir individu. Penelitian ini juga menemukan, trauma di masa kanak-kanak secara kumulatif berasosiasi dengan tingkat masalah psikologis yang tinggi dan fungsionalitas yang buruk di masa dewasa. Hal ini menandakan bahwa trauma di masa kecil merupakan masalah dengan prevalensi tinggi dan memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi kesehatan mental individu di masa dewasa.

Banyak pengalaman masa kecil yang dapat menimbulkan trauma bagi anak-anak. Beberapa pengalaman mungkin tidak terlalu siginifikan di mata orang dewasa, tetapi berpotensi menimbulkan trauma bagi anak. Wright (2011) mencatat, di antaranya adalah kematian (kematian orang tua, teman, kakek/nenek, atau hewan peliharaan), pindah tempat tinggal/sekolah, perceraian orang tua, ataupun kecelakaan/cedera (baik pada dirinya maupun orang yang dekat dengannya). Berdasarkan realita ini, orang tua, guru, maupun praktisi psikologi perlu mengenali gejala-gejala trauma pada anak-anak.

Secara esensi, gejala-gejala trauma pada anak-anak sama dengan orang dewasa (misalnya perilaku menghindar, timbulnya emosi-emosi negatif yang berlebihan, dan adanya bentuk-bentuk “mengalami kembali” kejadian yang traumatis). Hanya saja, anak-anak memanifestasikannya dalam bentuk yang berbeda (James, 2008). Hal ini membuat orang tua maupun orang dewasa di sekitarnya bingung atas perubahan pada diri anak tersebut dan di saat yang sama, kesulitan dalam mendeteksi trauma pada anak-anak. Di bawah ini adalah beberapa gejala trauma pada anak-anak (Hill, Hill, Baggé, & Miersma, 2013).

Saat seorang anak mengalami trauma, anak akan merasa takut. Umumnya, anak takut peristiwa traumatis akan terulang kembali. Anak akan takut orang asing, kegelapan (tidak mau tidur sendirian), takut berpisah dari orang tua, dan sebagainya. Ketakutan anak juga dapat muncul dalam bentuk mimpi buruk. Anak juga mungkin akan merasa sedih, sering menangis, dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang ia senangi, seperti bermain. Di samping itu, seorang anak yang sudah memiliki rasa tanggung jawab mungkin akan merasa bersalah mengapa hal tersebut sampai terjadi, dan akhirnya menyalahkan diri mereka.

Di sisi lain, peristiwa traumatis dapat menyebabkan anak merasa marah atas hal yang menimpanya. Hal ini dilampiaskan melalui agresivitas, seperti berkelahi dengan teman, berteriak, sulit diatur, melawan guru atau orang tua. Di sekolah, anak mungkin mengalami kemunduruan dalam prestasi belajar dan sulit berkonsentrasi di kelas. Adapun pada beberapa anak pra remaja, kemarahan dilampiaskan melalui perilaku-perilaku berisiko seperti kebut-kebutan, memakai obat-obatan terlarang, minum alkohol, atau menyakiti diri sendiri.

Terkadang, akan terjadi regresi dan muncul perilaku yang seharusnya tidak lagi dilakukan di usianya. Misalnya, anak yang tadinya sudah berhenti mengompol, sekarang kembali mengompol, atau, anak menjadi sering mengisap ibu jari. Tidak hanya itu, pada beberapa anak, saat bermain mereka akan memperagakan peristiwa traumatis yang dialaminya lewat tema permainannya. Misalnya, anak yang menyaksikan kekerasan mungkin akan bermain perang-perangan atau permainan dengan tema kekerasan. Anak yang menyaksikan orang tua bergumul dengan sakit penyakit di rumah sakit mungkin akan memainkan dokter dan pasien. Jika orang yang dikasihinya meninggal, anak akan memperagakan seolah-olah sedang menguburkan sesuatu. Tema-tema yang keluar dari peragaan dalam permainan anak ini merupakan cara anak untuk memahami apa yang terjadi dan menaklukan peristiwa traumatisnya (James, 2008).

Trauma juga dapat berdampak pada tubuh anak. Seperti layaknya depresi, trauma dapat membuat anak menjadi sulit tidur dan kehilangan nafsu makan (atau makan berlebihan). Selain itu, anak pun dapat mengeluhkan penyakit fisik, seperti sakit kepala, sakit perut, gatal-gatal, dan sebagainya. Pada beberapa anak, kemampuan berbicara juga akan terpengaruh. Cara bicara anak mungkin akan berubah, volume suaranya terdengar lirih, berbicara dengan gagap, atau menolak untuk berbicara (selective mustism).

Dengan memahami dan mengidentifikasi gejala-gejala trauma pada anak, diharapkan anak-anak dapat menerima pertolongan psikologis yang tepat sedini mungkin, sehingga dapat meminimalisasi efek negatif di masa dewasa.

 

Referensi

Copeland, W. E., Shanahan, L., Hinesley, J., Chan, R. F., Aberg, K. A., Fairbank, J.A., van den Oord, & E. J. C. G., Costello, E. J. (2018). Association of childhood trauma exposure with adult psychiatric disorders and functional outcomes. JAMA Network Open, 1(7), e184493. doi:10.1001/jamanetworkopen.2018.4493

Hill, H., Hill, M., Baggé, R., & Miersma, P. (2013). Healing the wounds of trauma: How the church can help (Revised Edition). New York, NY: American Bible Society.

James, R. K. (2008). Crisis intervention strategies, 6th Ed. Belmont, CA: Thomson Higher Education.

Wright, H. N. (2011). The complete guide to crisis & trauma counseling: What to do and say when it matters most! Grand Rapids, MI: Bethany House Publishers.