ISSN 2477-1686

  Vol.5 No. 8 April 2019

Dibuang sayang, dijual menguntungkan: Godaan Membeli Barang Preloved

Oleh

Clara Moningka dan Nindira Shadrina Ghassani

Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya

 

Beberapa tahun belakangan ini, perilaku berbelanja mulai dipengaruhi oleh adanya barang preloved. Barang-barang ini kian menarik minat individu untuk berbelanja. Selain harganya lebih murah daripada harga di toko, barang preloved juga memiliki kualitas yang baik. Tidak jarang ada barang preloved mewah dengan merek terkemuka atau high-end dengan harga miring. Apa sih yang dimaksud dengan barang preloved? Oxford Dictionaries (2018) menjelaskan bahwa preloved adalah berarti merupakan tangan kedua (second-hand). Barang ini biasanya masih layak pakai karena “disayang” oleh pemiliknya, namun sudah jarang atau tidak digunakan lagi. Dengan maraknya fenomena barang preloved ini, perilaku berbelanja juga menjadi lebih luas, pertimbangan individu untuk tampil menarik, meningkatkan harga diri dengan barang high-end yang tergolong jauh lebih murah membuat barang preloved digemari di pasaran.

 

Perilaku berbelanja yang kian meningkat, terlebih karena adanya pilihan baru di pasar adalah perilaku belanja impulsif. Berbelanja merupakan hal yang menyenangkan karena dianggap menjadi coping stres atau sarana memuaskan kebutuhan dan dengan berbagai pilhan, perilaku ini dapat terus muncul. Riset yang dilakukan oleh Nielsen dari tahun 2003 hingga 2011 menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi peningkatan 11% dalam jumlah konsumen yang tidak pernah merencanakan barang yang akan mereka beli sebelumnya. Riset tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi 3 besar dalam jumlah konsumen yang melakukan pembelian impulsif, setelah India dan Cina (Anggriawan, Suardana & Sendra, 2016).

 

Pembelian impulsif sendiri merupakan kategori pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan. Biasanya perilaku ini  diikuti oleh dorongan emosional; perasaan untuk memiliki produk atau barang yang diinginkan. (Solomon, 2013; Verplanken, Herabadi, & Knippenberg, 2009). Lebih lanjut, Verplanken, Herabadi & Knippenberg (2009) menjelaskan bahwa pembelian impulsif dapat disebabkan faktor internal dan eksternal. faktor internal adalah variabel personal, meliputi usia dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal adalah variabel lingkungan personal, yang meliputi bagaimana tampilan dan penawaran yang diberikan oleh suatu produk tertentu. Di satu sisi perilaku ini dapat memuaskan individu, di satu sisi pembelian tidak terencana dapat menyebabkan berbagai masalah seperti masalah keuangan, penyimpanan, bahkan penyesalan.

 

 

Perilaku berbelanja impulsif kerap menjadi alasan mengapa produk preloved digemari. Di satu sisi membuat orang yang menjual mendapatkan langganan dan keuntungan, di sisi lain para pembelanja yang menyesal dapat menjual kembali barang yang dibeli walaupun dengan harga yang lebih murah. Triwijanarko (2018) mengemukakan bahwa masyarakat kita terkadang tidak memperdulikan kondisi barang dan memilih untuk membeli dikarenakan perasaan gengsi dari merek sebuah produk. Situs yang menjual barang bekas pakai bermerek kian diminati, bahkan bazaar yang menjual barang bekas bermerek seperti “Irresistible” yang digelar di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta mencapai 24.000 orang   pengunjung. Bayangkan bagaimana perilaku berbelanja berkembang dari kebutuhan nyata sampai sekedar gengsi.  Perilaku pasar saat ini membuat orang cenderung memperkuat perilaku membeli impulsif, karena adanya perasaan tidak terlalu bersalah membeli barang yang tidak terlalu mahal dan kemungkinan memilki nilai ekonomis yang masih baik. Kalaupun tidak terpakai masih bisa dijual kembali. Bagaimana menurut anda? Apakah anda tertarik membeli barang preloved dan tetap asyik berbelanja ataukah akan tetap membeli dengan bijaksana? Selama memiliki sumber daya dan tidak merugikan orang lain kedua pilihan tersebut dapat dilakukan, namun memang perlu adanya kontrol dari masing-masing individu. Selamat berbelanja dengan bijak.

 

Referensi:

 

Anggriawan, B., Suardana. I. W., & Sendra. I. M. (2016). Analisis Faktor yang mempengaruhi impulse buying wisatawan domestik terhadap produk pariwisata dibiro perjalanan wisata Bali. Jurnal IPTA. Diakses pada tanggal 3 November 2018.

 

Oxford Dictionaries. (2018). Pre-Loved, Definition of Pre-Loved in English. Diakses dari https://en.oxforddictionaries.com/definition/pre-loved

 

Solomon, M. R. (2013). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being. 10th ed. England: Pearson  Education.

 

Triwijanarko, R. (2018). Yang Membedakan Barang Preloved dengan Bekas. Diakses dari http://marketeers.com/apa-yang-membedakan-barang-preloved-dengan-barang-bekas/ pada tanggal 23 September 2018.

 

Verplanken, B., Herabadi, A., & Knippenberg, A. V. (2009). Consumption experience of impulsive buying in indonesia: emotional arousal and hedonistic considerations. Asian Journal of Social Psychology, 12, 20-31.