ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 8 April 2019
Regulasi Diri dan Persepsi akan Dukungan Sosial
Oleh
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya
Dalam konteks akademik, sosial maupun pekerjaan, kemampuan bertahan mencapai tujuan terkadang berat– terlebih ketika menghadapi distraksi dan tantangan. Psikologi mengenal hal ini sebagai regulasi diri (self-regulation).
Apa itu self-regulation? Terdapat sejumlah definisi self-regulation, yang dirangkum Hoyle dan Davisson (2011), yakni kapasitas individu mengarahkan diri, dengan cara apapun yang ia mampu, menuju sasaran yang dianggap penting (Fitzsimons & Bargh, 2004); pikiran, perasaan dan tindakan yang dimunculkan individu secara mandiri, terencana serta berkala ia sesuaikan dengan pencapaian sasaran pribadi (Zimmerman, 2000); serta proses memantau, mengarahkan atensi, mempertahankan serta mengubah perilaku agar mendekati sasaran yang diinginkan (Ilkowska & Engle, 2010).
Dari definisi di atas, Miller dan Brown (1991) menjabarkan self-regulation sebagai kemampuan individu menumbuhkan, menerapkan dan secara fleksibel terus mempertahankan perilaku terencananya guna meraih sasaran. Definisi ini yang banyak digunakan sebagai acuan pengembangan instrumen pengukuran.
Self-regulation penting menentukan keberhasilan. Self-regulation membuat mahasiswa dengan banyak peran mampu mencapai indeks prestasi (Rachmah, 2015). Semakin tinggi self-regulation, semakin rendah perilaku prokrastinasi akademik seseorang (Fitriya & Lukmawati, 2016) Dalam konteks berbeda self-regulation yang tinggi dapat mengurangi pembelian impulsif (Ichsandyarrahman & Alfian, 2016). Self-regulation berkorelasi negatif terhadap perilaku berkendara berisiko (Nirmala & Patria, 2016)
Sekalipun self-regulation fokus pada diri dan dicapai utamanya melalui penemuan pribadi (personal discovery), para peneliti self-regulation mengakui lingkungan fisik dan sosial adalah sumber daya yang berpengaruh (Zimmerman, 2000). Lingkungan sosial dapat mendukung individu mengembangkan self-regulation melalui pembelajaran dengan meniru (modeling) dan pemberian instruksi Jika individu tumbuh memperhatikan orang lain melakukan self-regulation, maka model sosial tersebut dapat mereka tiru melalui mengobservasi. Lingkungan sosial juga menetapkan standar performa, (performance standards), memberikan arahan yang memberikan motivasi (motivational orientations) serta memberi nilai (values) terhadap pentingnya self-regulation.
Jackson, Mackenzie dan Hobfoll (2000) menjelaskan self-regulation tidak semata bergantung pada proses internal pribadi, tetapi dipengaruhi dukungan sosial, antara lain dalam bentuk adanya umpan balik (feedback), perasaan memiliki keterhubungan (connectedness) atau mendapatkan hal bernilai karena mampu menunjukkan self-regulation (exchange value) dari orang lain. Oleh karena itu, pandangan regulasi diri-dalam-lingkup-sosial (self-in-social-setting regulation) lebih komprehensif dalam mengkaji self-regulation. Hal ini diperkuat Rachmah (2015) yang menunjukkan self-regulation tak terlepas dari dukungan sosial, demikian pula dengan Puspitasari (2018) dan Saka (2018).
Dukungan tersebut berlangsung dalam interaksi sosial dan perlu dipersepsikan individu bahwa dukungan tersebut sejatinya ia terima (“perceived” as having been offered). Psikologi mengenal hal tersebut sebagai persepsi akan dukungan sosial (perceived social support) – yaitu penilaian kognitif (cognitive appraisal) tentang ada tidaknya dukungan sosial dan seberapa memadai dukungan tersebut individu terima, terlepas dari apakah ia benar menerima dukungan itu (Zimet, Dahlem, Zimet & Farley, 1988).
Dibandingkan pengukuran social support obyektif, perceived social support dipandang lebih baik memprediksi status psikologis individu. Hal ini didukung sejumlah penelitian, antara lain Shahzad, Begum dan Malik (1990) yang menyatakan keberadaan orang lain yang bisa dipercaya serta membuat individu merasa berharga (valued) dan diperhatikan (cared for) membuatnya mendapatkan jejaring sosial (social link), dukungan (nurturance), keterikatan (affliation) dan arahan (guidance) yang memampukan dirinya mengatasi tantangan. Temuan ini berresonansi dengan Dahlem, Zimet dan Walker (1991) yang memotret hal tersebut, demikian juga kajian metanalisis Chu, Saucier dan Hafner (2010).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penting mengkaji bagaimana hubungan perceived social support terhadap self-regulation. Dari sejumlah instrumen self-regulation, salah satunya adalah Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ), yakni skala satu faktor (single-factor scale) dengan total 31 aitem, dikembangkan sebagai versi singkat dari Self-Regulation Questionnaire (SRQ) yang awalnya mencakup 7 dimensi dengan 63 aitem (Neal & Carey, 2005). Dibandingkan SRQ, SSRQ relatif bebas bias kepatutan sosial (social desirability) serta mencakup demografi dan konteks yang luas (Carey, Neal & Collins, 2004), sedangkan instrumen mengukur perceived social support adalah Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) (Zimet, Dahlem & Farley, 1988). Terdiri dari 12 aitem yang mengukur persepsi dukungan sosial keluarga, teman dan orang lain yang berarti (significant others), instrumen ini memiliki teruji valid dan reliabel serta telah digunakan dalam berbagai bahasa dan populasi (Hardan-Khalil & Mayo, 2015).
Rekomendasi
Rekomendasi tulisan ini adalah ketika terdapat hubungan perceived social support dengan self-regulation, jika ingin meregulasi diri sendiri, maka ia perlu terlebih dahulu mempersepsikan bahwa ia mendapat dukungan. Begitu dirinya mempersepsikan bahwa ia didukung oleh lingkungannya, maka individu tersebut menjadi mampu untuk memantau, mengarahkan atensi, mempertahankan serta mengubah perilaku demi mencapai sasaran yang ingin ia raih.
Sebaliknya apabila self-regulation tidak dipengaruhi perceived social support, maka rekomendasi untuk individu yang ingin meregulasi diri adalah bahwa ia perlu memiliki hal-hal lainnya. Jadi manakala dirinya memiliki hal-hal seperti pengetahuan yang ia butuhkan, tujuan yang dirumuskan secara jelas dan realistis untuk ia jangkau, individu tersebut menjadi mampu untuk meregulasi dirinya untuk bisa menggapai tujuan.
Kembali ke awal tulisan, kemampuan seseorang untuk konsisten bertahan mencapai tujuan menentukan keberhasilan. Dengan demikian, perlu ada lebih banyak penelitian untuk mengembangkan pengetahuan tentang hal ini.
Referensi:
Carey, K.B., Neal, D.J. & Collines, S.E. (2004). A psychometric analysis of the self-regulation questionnaire. Addictive Behaviors, 29(2), 253-260.
Chu, P.S., Saucier, D.A> & Hafner, E. (2010) Meta-analysis of the relationships between
social support and well-being in children and adolescents. Journal of Social and Clinical Psychology 29 (6), 624-645.
Dahlem, N. W., Zimet, G. D., & Walker, R. R. (1991). The Multidimensional Scale of
Perceived Social Support: A confirmation study. Journal of Clinical Psychology, 47(6), 756-761.
Fitriya & Lukmawati (2016). Hubungan antara regulasi diri dengan perilaku prokrastinasi akademik pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Mitra Adiguna Palembang. Jurnal Psikologi Islami 2(1), 63-74.
Hoyle, R.H. & Davisson, E.K. (2011). Assessment of self-regulation and related constructs:
Prospects and challenges. Penelitian yang dipresentasikan dalam NRC Workshop on Assessment of 21st Century Skills. Diakses 2 Maret 2019 dari https://atecentral.net/r21426/assessment_of_selfregulation_and_related_constructs_prospects_and_challenges
Jackson, T., Mackenzie, J. & Hobfoll, S.E. (2000). Communal aspects of self-regulation. Dalam Boekaerts, M., Pintrich, P.R. & Zeidner, M. (Eds.), Handbook of Self-Regulation (275-300). California: Academic Press.
Ichsandyarrachman, A. & Alfian, I.N. (2016). Hubungan regulasi diri dengan kecenderungan pembelian impulsive pada remaja putri. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial 5(1), 11-18.
Miller, W. R., & Brown, J. (1991). Self-regulation as a conceptual basis for the prevention and treatment of addictive behaviors. Dalam N. Heather, W. R. Miller, & J. Greeley (Eds.), Self-Control and the Addictive Behaviours (3-79). Sydney: Maxwell Macmillan.
Neal, D. J., & Carey, K. B. (2005). A follow-up psychometric analysis of the self-regulation questionnaire. Psychology of Addictive Behaviors, 19(4), 414-422. http://dx.doi.org/10.1037/0893-164X.19.4.414
Puspitasari, K. (2018). Pengaruh dukungan sosial kawan sebaya terhadap regulasi diri dalam belajar siswa sekolah berasrama (boarding school). Skripsi yang belum dipublikasikan. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Rachmah, D.N. (2015). Regulasi diri dalam belajar pada mahasiswa yang memiliki peran banyak. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 42 (1), 61-77.
Saka, D. (2018) Hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dan kepercayaan diri akademik dengan regulasi diri dalam belajar pada mahasiswa di Universitas X. Skripsi yang belum dipublikasikan. Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung.
Shahzad, S. Begum, N. & Malik, S. (1990). Multi-dimensional perceived social support as determinant of well-being in people with substance use disorder. International Journal of Prevention and Treatment of Substance Use Disorders 1(2), 63-70.
Zimmerman, B.J. (2000). Attaining self-regulation: A social cognitive perspective. Dalam Boekaerts, M., Pintrich, P.R. & Zeidner, M. (Eds.), Handbook of Self-Regulation (13-35). California: Academic Press.
Zimet, G.D., Dahlem, N.W., Zimet, S.G. & Farley, G.K. (1988). The multidimensional scale of perceived social support. Journal of Personality Assessment 52(1), 30-41.