ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 2 Januari 2019
Perspektif Teori Psikologi Tentang Perilaku Bunuh Diri
Oleh
Mori Vurqaniati
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
Belakangan ini baik media cetak maupun online serta berita di televisi kerap menayangkan pemberitaan bunuh diri. Berbagai persoalan hidup ditenggarai memiliki pengaruh kuat perilaku bunuh diri. Seperti belum lama dilansir dalam portal berita online terdapat satu keluarga tewas di Palembang dan disinyalir akibat bunuh diri serta dugaan pelaku telah mempersiapkan sebelum melakukan tindakan tersebut. (https://www.liputan6.com/regional/read/3676527/firasat-aneh-asisten-rumah-tangga-sebelum-satu-keluarga-tewas-di-palembang). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya ada 812 kasus bunuh diri di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2015. Berdasarkan data perkiraan WHO (World Health Organization), angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada 2012 adalah 10.000. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat menyebut setiap tahunnya 10.000 orang Amerika Serikat meninggal akibat bunuh diri. (https://kumparan.com/utomo-priyambodo/tren-bunuh-diri-di-indonesia-dan-mancanegara)
Mintz (dalam Davison, 2006) mengemukakan banyak motif bunuh diri diantaranya adalah agresi yang dibalikkan ke diri sendiri, pembalasan dengan menimbulkan perasaan bersalah pada orang lain, memaksakan cinta kepada orang lain, kesalahan pada masa lalu, menyingkirkan perasaan tidak dapat diterima, seperti ketertarikan pada lawan jenis, keinginan untuk bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal dunia, melarikan diri dari stres, rasa sakit, kehancuran, serta kekosongan emosional.
Terkait dengan kultur, perilaku bunuh diri di Amerika Serikat dilaporkan kira-kira setiap 15 menit seseorang melakukan bunuh diri, sementara di kultur dengan tekanan hidup yang tinggi seperti Jerman, Taiwan, dan Amerika Serikat, angka bunuh diri lebih tinggi ketimbang kultur yang tidak berorientasi prestasi misalnya rasio antara Amerika Serikat dan India 2:1. Jepang memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat, terutama di kalangan orang lanjut usia. Pada tahun 2000-an, Jepang melaporkan 30.000 kasus bunuh diri per tahun. Tak ada larangan agama di Jepang untuk melakukan bunuh diri dari kegagalan atau menyelamatkan diri dari rasa malu. Lebih jauh lagi, di Jepang, dimana kehormatan adalah sangat utama, banyak orang menggangap bunuh diri adalah kematian “terhormat” dibanding malu atau pengecut. Sementara angka bunuh diri umumnya lebih rendah di kultur dimana agama melarang bunuh diri, tetapi ada juga bunuh diri yang diilhami oleh keyakinan agama dan ideologi seperti tindakan teroris (Shiraev & Levy, 2012).
Terkait dengan perilaku bunuh diri, perspektif ilmu psikologi melihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya (dalam Davison, 2006):
1. Teori Psikoanalisis Freud: Freud menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan, sebuah perluasan atas teorinya mengenai depresi. Ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai sekaligus dibencinya, dan meleburkan orang tersebut dengan dirinya, agresi dialihkan ke dalam. Jika perasaan ini cukup kuat, orang yang bersangkutan akan bunuh diri.
2. Teori Sosiologis Durkheim: Bunuh diri egostik dilakukan oleh orang yang memiliki sedikit keterikatan dengan keluarga, masyarakat atau komunitas. Orang terasing dan tidak memiliki dukungan untuk dapat berfungsi adaptif didalam kehidupan sosial. Bunuh diri alturistik dianggap sebagai respon terhadap berbagai tuntutan sosial seperti hara kiri di Jepang dan bunuh diri anomik yang dipicu oleh perubahan mendadak dalam hubungan sosial dengan masyarakat, yakni perasaan disorientasi karena yang diyakininya sebagai suatu cara hidup normal, tidak mungkin lagi dilakukan misalnya bunuh diri akibat bencana alam.
3. Pendekatan Shneidman terhadap Bunuh Diri: Pandangannya menganggap bunuh diri sebagai upaya untuk mencari solusi suatu masalah. Orang-orang yang merencanakan bunuh diri biasanya mengungkapkan niat mereka, kadang minta tolong, kadang sebagai bentuk penarikan diri dari orang lain, agar tidak diganggu. Berbagai tipikal termasuk memberikan benda miliknya yang berharga dan mengatur urusan keuangan secara rapi.
4. Neurokimia dan bunuh diri yakni ada hubungan antara serotonin, bunuh diri dan impulsivitas.
Terkait dengan kecendrungan perilaku bunuh diri, maka ada beberapa bentuk pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
1. Perilaku bunuh diri ditengarai oleh ekspetasi tinggi yang tidak realistis, kesenjangan antara ekspetasi dan kenyataan. Oleh karena itu diperlukan penerimaan terhadap kenyataan yang terjadi didalam proses kehidupan.
2. Menanggani gangguan mental yang mendasari jika ditemukan gangguan diantaranya depresi, skizofrenia dan penyalahgunaan zat.
3. Membuka pandangan pelaku yang berniat bunuh diri dengan membantunya melihat bahwa bunuh diri bukan satu-satunya cara penyelesaian masalah serta meminta yang bersangkutan untuk mundur dari tindakan bunuh diri. Temani dan ajak berbicara, bantu mereka untuk melihat bantuan dari masalah yang dihadapi.
4. Jangan meninggalkan orang-orang yang berniat bunuh diri sendirian dengan alat senjata tajam, obat-obatan, tali tambang dan sebagainya.
Referensi
Davison, G. C., Neale, M. J., & Kring, M. A. (2006). Psikologi abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shiraev, B. E., & Levy, A. D. (2012). Psikologi lintas kultural, edisi keempat. Jakarta: Kencana. Prenada Media Grup.
https://kumparan.com/utomo-priyambodo/tren-bunuh-diri-di-indonesia-dan mancanegara (dibuka pada tanggal 09 November 2018)
https://www.liputan6.com/regional/read/3676527/firasat-aneh-asisten-rumah-tangga-sebelum-satu-keluarga-tewas-di-palembang (dibuka pada tanggal 09 November 2018)