ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.10, Mei 2018

 

M-T-V: Aplikasi Prinsip Konseling dalam Kepemimpinan

Oleh

Jessica Ariela

Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan

 

Sebuah penelitian menunjukkan perusahaan Indonesia memiliki turnover rate 64% lebih tinggi dari rata-rata negara lain di Asia Pasifik dan bahkan mencapai lebih dari dua kali global voluntarily turnover rate dari negara lain di dunia (Halim, 2013). Selain dari benefit yang dirasa kurang, tentunya ada hal-hal lain yang membuat pekerja mengundurkan diri. Sebuah penelitian oleh lembaga survei di Amerika Serikat, Gallup, menemukan bahwa sekitar 50% dari pekerja meninggalkan pekerjaannya karena kepemimpinan yang buruk (Harter & Adkins, 2015). Fenomena ini sesuai dengan pepatah yang mengatakan bahwa pekerja memutuskan untuk keluar karena atasannya, bukan perusahaannya. Hal ini tentunya menjadikan para pemimpin menghadapi ekspektasi yang tinggi baik dari perusahaan (atau stakeholder lainnya) maupun dari individu yang dipimpinnya. Walaupun pembahasan ini bercermin pada dunia karier dan pekerjaan, prinsip-prinsip ini akan bermanfaat juga bagi individu yang bekerja di dalam berbagai bentuk organisasi, baik organisasi kemahasiswaan, komunitas, maupun organisasi lainnya.

 

Pertama-tama, perlu dilihat bahwa menjadi seorang pemimpin tentunya bukanlah suatu akhir. Justru tugas dan tanggung-jawab yang mendefinisikan baik/buruknya kepemimpinan dimulai saat seseorang meraih posisi pemimpin. Penulis mengibaratkan hal ini seperti lari maraton. Berbeda dengan sprint, lari maraton membutuhkan ketahanan (endurance) dan stamina. Seorang pelari maraton akan menghadapi lebih banyak tantangan seiring dengan durasi dan jarak lari yang lebih panjang. Begitu pula dengan seorang pemimpin juga membutuhkan ketahanan dan stamina dalam menjalankan kepemimpinannya, karena mau tidak mau, ia akan menghadapi tantangan yang lebih banyak dan tanggung jawab yang lebih besar. Penulis melihat bahwa prinsip-prinsip konseling akan sangat bermanfaat sebagai kerangka konseptual yang membantu menjelaskan relasi interpersonal dan intrapersonal manusia, termasuk dalam relasi kepemimpinan, serta menunjukkan kontribusi yang nyata dari ilmu Psikologi terhadap bidang kepemimpinan. Setidaknya, prinsip-prinsip konseling dapat diterapkan dalam tiga hal yang dapat membantu seorang pemimpin menjadi pemimpin yang positif dan berdampak. Untuk memudahkan, penulis menyingkatnya dengan tiga huruf, M-T-V.

 

M – Motivasi

 

Suatu pertanyaan yang perlu ditanyakan seorang pemimpin adalah ”Why” (“mengapa”). Pertanyaan “Why” merupakan alat yang baik untuk menemukan kejelasan dalam motivasi seseorang, karena dapat menggali sampai ke dalam batin untuk menemukan makna dan tujuan seseorang. Di dalam konseling sendiri, pertanyaan “Why” merupakan pertanyaan pamungkas. Hill (2010) bahkan menyarankan untuk tidak menggunakan pertanyaan ini di awal sesi ataupun untuk eksplorasi karena pertanyaan ini sulit dijawab dan dapat membuat klien merasa defensif. Namun, Hill justru menyarankan penggunaan pertanyaan “Why” untuk membantu mendapatkan insight. Socratic questioning, suatu metode bertanya yan dipakai dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT) juga seringkali menggunakan pertanyaan “Why” untuk menolong klien mengidentifikasi belief mereka dan mendapatkan insight.

 

Seorang pemimpin, karenanya, wajib menanyakan pertanyaan “Why” ini setidaknya kepada dirinya sendiri: “Mengapa saya mau menjadi pemimpin?”; “Mengapa saya mengambil keputusan ini?”; “Mengapa saya menolak ide tersebut?” Tentunya seorang pemimpin yang baik tidak akan mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan ini tetapi dapat dengan jujur menjawabnya. Hal baik lainnya adalah, pertanyaan ini, jika dijawab dengan jujur, akan menunjukkan apa motivasi terdalam seseorang saat mengambil suatu keputusan/berperilaku tertentu. Dengan menyadari motivasi diri, individu akan memiliki congruence, sehingga semakin mengukuhkan pendirian seseorang. Kalaupun individu tersebut harus mengubah pendapatnya, individu tetap selaras dan jujur terhadap hati nuraninya sendiri. Hal ini menunjukkan integritas seorang pemimpin dan dapat menghindarkan individu dari rasa penyesalan akibat keputusan yang diambilnya.

 

T – Tim

 

Begitu banyak literatur yang membahas mengenai komunikasi yang efektif maupun cara mengatasi konflik dalam tim. Namun, keselarasan dan sinergi dalam tim ditentukan jauh di awal terbentuknya tim, yaitu saat pemilihan tim atau anggota kerja. Prinsip pertama adalah memilih tim yang dapat dipercaya. Tim Anda merupakan accountability partners Anda. Prinsip ini datang dari konseling kelompok. Salah satu kekuatan dari konseling kelompok adalah klien tidak menghadapi masalahnya sendiri, tetapi memiliki individu-individu lain di dalam kelompok sebagai accountability partners. Implikasinya, orang-orang yang dipilih dalam organisasi Anda (setidaknya tim inti) haruslah orang-orang yang dapat mendukung Anda, tetapi di saat yang sama berfungsi menjaga akuntabilitas dan berani mengkritik dan menegur jika Anda salah, tentunya dengan tujuan yang konstruktif, bukan destruktif.

 

Prinsip kedua adalah orientasi kepada tugas (task-oriented) dan orientasi kepada relasi (relationship-oriented atau people-oriented). Setiap individu memiliki kadar yang berbeda untuk masing-masing orientasi. Seorang pemimpin yang baik mampu mengidentifikasi situasi dalam organisasinya dan mampu menyesuaikan diri, baik dalam ekspektasinya terhadap tugas dan tanggung jawab maupun dalam kehangatan relasi dengan anggotanya. Untuk itu, penting bagi pemimpin untuk melihat lebih dulu apa yang menjadi kebutuhan anggotanya dan apa yang menjadi target organisasi maupun target personalnya. Sebuah penelitian mendapati bahwa pemimpin yang insecure seringkali sulit membangun relasi dengan anggotanya sehingga membuatnya seringkali dianggap sebagai pemimpin yang kurang baik oleh anak buahnya (Engelbert & Walgren, 2016). Namun, relasi yang baik tanpa adanya orientasi terhadap tugas juga tidak akan membawa organisasi mencapai tujuannya maupun memberi dampak dari keberadaannya. Singkatnya, untuk dapat berdampak, seorang pemimpin perlu menjadi pribadi yang profesional dan personal.

 

Relasi tidak hanya berbicara tentang hubungan dengan anggota tim, tetapi juga berbicara menganai hubungan dengan para stakeholder. Stakeholder di sini dapat berarti pimpinan perusahaan, rekan kerja, karyawan, investor, penanggung-jawab, partner bisnis, konsumen, dan lain-lain. Di dalam organisasi kemahasiswaan, stakeholder adalah para mahasiswa, universitas, pemimpin fakultas, dosen, dan staf. Para stakeholder perlu juga dianggap sebagai tim. Kesuksesan Anda sebagai pemimpin juga adalah kesuksesan yang dapat dinikmati oleh para stakeholder. Relasi yang baik dan sinergis akan mampu menolong organisasi, baik perusahaan maupun organisasi kemahasiswaan, bekerja secara optimal.

 

Prinsip yang terakhir, seorang pemimpin perlu mengenali kelebihan dan kekurangan dirinya maupun anggotanya. Seorang teoris konseling karier, Donald Super (dalam Zunker, 2006), menyatakan bahwa pengenalan akan diri merupakan kunci untuk pengembangan karier individu. Hal ini juga berlaku dalam organisasi. Pengenalan akan karakteristik diri dan organisasi mampu memetakan apa yang menjadi kebutuhan organisasi dan tim dengan karakteristik seperti apa yang dapat mencapai kebutuhan organisasi tersebut. Selain itu, pengenalan ini juga akan membuat pemimpin mampu mengenali kebutuhan anggotanya dan menolong anggotanya mengaktualisasikan potensi dirinya. Hal ini dapat diterapkan dalam rekrutmen, dalam promosi maupun mutasi karyawan, serta dalam perancangan program-program pelatihan ataupun pengembangan organisasi.

 

V – Visi

 

Visi merupakan arah dari seorang pemimpin. Hal inilah yang membedakan seorang pemimpin dengan seorang manajer. Namun, visi perlu dijabarkan ke dalam beberapa goal kecil dan spesifik sebagai batu lompatan untuk mencapai visi besar tersebut. Proses pembuatannya sangat mirip dengan pembuatan rencana penanganan dalam konseling. Secara singkat, prosesnya bisa dijelaskan dengan tiga tahap, yaitu: identifikasi problem, penjelasan, dan perencanaan (Ingram, 2011). Biasanya, setelah proses assessment, konselor dan klien menetapkan tujuan konseling secara kolaboratif. Tujuan ini adalah sesuatu yang besar, tetapi dapat dipecah ke dalam tujuan-tujuan kecil yang lebih spesifik menggunakan prinsip SMART (specific, measurable, attainable, realistic, time-bound). Dari sanalah bisa dibuat rencana-rencana penanganan (treatment plan) atau program yang lebih spesifik.

Proses ini juga dapat diterapkan dalam organisasi. Visi yang besar dapat diturunkan menjadi tujuan-tujuan kecil yang spesifik, dapat diukur, dan realistis, lalu dikembangkan menjadi rencana-rencana strategis maupun program kerja untuk mencapai visi besar tersebut. Tentunya seiring berjalannya waktu perlu dilakukan review secara berkala. Sama seperti konseling, review merupakan bentuk evaluasi mengenai progress pencapaian goal yang telah ditetapkan di awal. Review ini dapat dilakukan secara rutin melalui pertemuan bulanan, laporan setiap semester, dalam bentuk focus group discussion, survei, dan sebagainya. Melalui proses evaluasi ini, pemimpin dapat mengetahui apakah program tersebut efektif untuk mencapai visi besar atau tidak, dan dapat mengambil keputusan untuk organisasinya berdasarkan hasil evaluasi ini. Perlu juga diingat bahwa perencanaan ini bersifat fleksibel. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa suatu program tidak efektif, maka perlu dievaluasi lebih lanjut dan diperbaiki sehingga benar-benar dapat mencapai visi yang dituju.

 

Sebagai catatan, visi besar seringkali tidak bisa dicapai hanya dalam satu periode kepemimpinan. Oleh karena itu perlu adanya regenerasi yang berkelanjutan. Seorang pemimpin juga harus memikirkan bagaimana program-programnya ini memiliki keberlanjutan dan dampak bagi masa depan. Sebagai implikasi, kesuksesan pemimpin diukur dari progress dalam mencapai visi, bukan sudah/belum tercapainya visi tersebut.

 

Kesimpulan

 

Melalui ketiga hal ini (M-T-V), diharapkan pemimpin dapat secara lebih efektif mengerjakan tanggung-jawabnya. Seperti seorang pelari maraton yang bertahan dalam perlombaan, dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, seorang pemimpin pun dapat bertahan dalam masa jabatannya. Lebih daripada itu, melalui M-T-V, diharapkan juga seorang pemimpin dapat menyelesaikan lari maratonnya dengan hasil yang baik dengan memberikan dampak positif bagi organisasi maupun komunitasnya.

 

 

Referensi

Engelbert, B. & Walgren, L. G. (2016). The origin of task- and people-oriented leadership styles: Remains from early attachment security and influences during childhood and adolescence. SAGE Open, 6(2), 1-19. DOI: 10.1177/2158244016649012

Halim, L. (2013). Indonesia: Using benefits effectively. Benefits & Compensation International, 43(1). Retrieved from https://www.towerswatson.com/ DownloadMedia.aspx?media={46950FF9-9FD7-45E0-BCA7CBB7EACD680}.

Harter, J. & Adkins, A. (2015). Employees want a lot more from their managers. Harvard Business Review. Retrieved from https://hbr.org/2015/04/what-great-managers-do-to-engage-employees?utm_source=link_newsv9&utm_campaign=item_182321&utm _medium=copy.

Hill, C. E. (2010). Helping skills: Facilitating exploration, insight, and action (Third edition). Washington, DC: American Psychological Association.

Ingram, B. L. (2011). Clinical case formulation: Matching the integrative treatment plan to the client. Hoboken, New Jersey: Wiley.

Zunker, V. G. (2006). Career counseling: A holistic approach (Seventh edition). Belmont, CA: Thomson Higher Education.