ISSN 2477-1686
Vol.3. No.10, Oktober 2017
Psychological Capital,
Perisai bagi Beban Kerja Menekan
Sri W Rahmawati
Fakultas Psikologi, Universitas Tama Jagakarsa
Konsekuensi Di Balik Kebanggaan
Seragamnya rapi dan serasi. Topi, peluit nyaring, handy talkie, dan badge di dada kanan yang tersemat gagah bertuliskan nama diri, adalah pelengkap yang makin menambah kewibawaan. Tak lupa sejumlah tanda kepangkatan pun tertempel di bajunya, dan tentu saja, senjata api mematikan, yang tidak sembarang orang boleh membawa, apalagi memilikinya. Itulah sosok polisi, pembela negera yang bekerja di tengah-tengah masyarakat. Maka siapa yang tak bangga bila berhasil masuk dan menjadi bagian dari korps ini. Penghormatan dan kekaguman akan mudah diraih. Menjaga dan melindungi masyarakat, namun sekaligus juga institusi yang harus siap menghadapi hujatan masyarakat bila sekali saja gagal menjalankan tugas.
Setelah berhasil melalui seleksi begitu ketat, setelah usai berbondong-bondong mengalahkan kandidat-kandidat pemuda lainnya, seorang polisi yang resmi bertugas tidak lepas dari persoalan nyata di lapangan. Mulai dari melesetnya target operasi, tekanan dan atasan, keharusan menerima tugas di daerah rawan konflik, jam kerja yang tidak terbatas, dan tentu saja taruhan hilangnya nyawa karena menjadi garda terdepan dalam operasi keamanan (Agustina, 2017). Dalam situasi aman pun, tugas polisi sebagai pencegah dan pendeteksi tindakah kriminal dalam upaya menjaga ketertiban lingkungan masyarakat, membuat seorang polisi dituntut memiliki sikap waspada dalam kesehariannya.
Beratnya beban polisi tak pelak membuat kasus-kasus di bawah ini semakin mudah ditemui: bunuh diri setelah mengikuti pesta minuman keras (https://m.tempo.co/read/news/2016/10/04/058809524); bunuh diri setelah usai berbulan-bulan menjalankan tugas melakukan pemberantasan tindak terorisme (http://news.liputan6.com/read/29096); atau bunuh diri karena beban berat menjadi saksi hidup atas upaya pembunuhan terhadap anggota DPR (http://news.liputan6.com/read). Kasus-kasus di atas memberikan sinyal yang sangat kuat, bahwa beban kerja berat yang tak diimbangi oleh mental yang kuat, akan bermuara pada stres kerja yang berujung fatal.
Psychological Capital
Psychological Capital atau sering disingkat sebagai PsyCap, dapat diartikan sebagai modal psikologis atau semacam sikap dan perilaku yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan seseorang dan berpengaruh positif terhadap kemajuan organisasi. PsyCap adalah keadaan perkembangan psikologi individu yang positif, yang dicirikan oleh: (1) memiliki kepercayaan diri (efektivitas) untuk mengambil dan memasukkan ke dalam usahau usaha yang diperlukan untuk berhasil dalam tugas-tugas yang menantang; (2) membuat atribusi positif (optimisme) tentang keberhasilan sekarang dan di masa depan; (3) tekun pada tujuan dan, bila diperlukan, mengarahkan jalan ke tujuan (harapan) untuk berhasil; dan (4) apabila dilanda masalah dan kesulitan, mempertahankan dan memantul kembali dan bahkan melampaui (ketahanan) untuk mencapai keberhasilan (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Keempat dimensi PsyCap di atas dikenal sebagai efikasi diri (self efficacy), optimistik, memiliki harapan (hope) dan resilien. Avey, Luthans, dan Jensen (2009) mengajukan konstruk PsyCap sebagai kekuatan psikologis individu yang dapat dikembangkan untuk melawan tekanan kerja.
Seorang polisi yang memiliki kualitas PsyCap yang mumpuni maka ia akan memiliki kepercayaan/keyakinan diri untuk menjalankan tugas berat, meskipun pada saat tertentu operasi tugasnya tidak mencapai target. Ia dapat memaknai ketidaktercapaian target tersebut bukan semata kelemahan dirinya, tetapi disebabkan oleh banyak faktor lain yang masih sangat mungkin diperbaiki. Ia juga akan memiliki membuat atribusi optimis pada dirinya, walaupun pada saat itu menghadapi beban kerja berat yang tidak dihadapi oleh profesi lain dengan tingkat keberhasilan mungkin saja pada saat itu masih diragukan. Ia akan bersikap tekun pada tujuan, bersedia melakukan evaluasi terhadap kegagalan yang sudah terjadi dan memperbaiki diri untuk mencegah kesalahan terulang di masa depan. Terakhir ia akan bersikap resilien, yaitu mampu menghadapi kesulitas tugas yang dihadapi dan membalikkan pandangan bahwa kesulitan pada dasarnya adalah peluang yang diciptakan untuk meraih prestasi (Rahmawati, 2013).
Pembinaan Yang Berkelanjutan
Proses seleksi yang ketat guna mendapatkan personil polisi yang mumpuni tentu sudah dilakukan selama ini. Hanya saja semua proses yang terjadi perlu terus diperbarui sehingga mampu menjawab semakin besarnya tuntutan tugas yang dibebankan kepada polisi. Pola pembinaan yang berbasis pada manajemen personel, meliputi seleksi, pendidikan, penempatan, perawatan dan pengakhiran dinas, merupakan rangkaian proses pembinaan yang ideal. Optimalisasi rangkaian proses tersebut perlu diperhatikan agar mampu menjaga mental polisi dalam bertugas.
Perlunya polisi dibekali oleh PsyCap dapat dititipkan melalui program-program pembinaan yang sudah berjalan, dengan memperhatikan target ketercapaian program. Dalam hal ini, divisi atau unit yang memiliki tugas terkait, misalnya unit psikologi di kepolisian, dapat mulai memetakan program-program peningkatkan self efficacy polisi saat menjalankan tugas. Hal tersebut dapat dijalan melalui program perancangan tugas yang sesuai dengan kompetensi polisi sehingga kemungkinan keberhasilannya akan semakin besar. Atau bila kompetensi belum memadai, diberikan sejumlah pembekalan berbasis pada profil masing-masing anggota, sehingga tepat sasaran. Anggota polisi juga perlu dibangun atribusi positif terhadap dirinya, dengan memandang tugas-tugas yang diberikan sebagai tantangan untuk meraih kemajuan. Termasuk melesetnya target operasi, adalah sinyal yang menginformasikan kelemahan pada beberapa sisi yang masih dapat diperbaiki. Personil polisi juga harus memelihara harapan terhadap profesinya, bangga dan merasa penting menjadi bagian dari korps, percaya bahwa kesejahteraannya sudah diurus dengan baik oleh institusi, percaya bahwa kesungguhan tugas akan berbanding dengan pencapaian prestasi, hingga mereka berlomba untuk menampilkan unjuk kerja unggul. Dan yang terakhir, polisi perlu bersikap resilien, tangguh saat menghadapi tekanan tugas yang kuat. Mampu membalikkan pandangan bahwa kesulitan sejatinya adalah kesempatan untuk mengasah kapasitas diri.
Mengharapkan beban kerja polisi yang ada menjadi semakin ringan dewasa ini, adalah sebuah kemustahilan bila mengingat tantangan yang dihadapi bangsa ini ke depan. Maka yang perlu dilakukan adalah membekali diri dengan sejumlah kualitas PsyCap agar dapat menjadi perisai yang efektif saat berhadapan dengan gempuran tekanan tugas.
Referensi
Agustina, V. (2017). Pengaruh psychological capital dan kecerdasan emosi terhadap stres kerja pada anggota Brimob Kelapa Dua Depok. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tama Jagakarsa.
Avey, J. B., Luthans, F., & Jensen, S. M. (2009). Psychological capital: a positive resource for combating employee stress and turnover. Human Resource Management , 48(5), 677– 693. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/211381690_Psychological_capital_A_positive_resource_for_combating_employee_stress_and_turnover
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J. (2007). Psychological CapitalDeveloping: The Human Competitive Edge. New York: Oxford UniversityPress, Inc.
Rahmawati, S.W. (2013). Employee resiliences and job satisfaction. Journal of education, health and community psychology,
2(1), 30-37. Retrieved from: http://journal.uad.ac.id/index.php/Psychology/article/view/3742
http://news.liputan6.com/read/2952406/anggota-brimob-yang-bunuh-diri-ditangerang-diduga-stres.
http://news.liputan6.com/read/2909621/polisi-tembak-kepala-sendiri-sudah-6-bulan-jadi-satgas-tinombala.
https://m.tempo.co/read/news/2016/10/04/058809524/anggota-brimob-tembakkepalanya-sendiri-ini-keluhannya.