ISSN 2477-1686
Vol.3. No.9, September 2017
Kemacetan di Jakarta dalam Perspektif Psikologi Sosial
Abu Bakar Fahmi
Fakultas Psikologi, Universitas Prof. Dr. Hamka
Kemacetan merupakan salah satu masalah di Jakarta yang belum kunjung teratasi. Setiap hari jalan-jalan utama di Jakarta hampir-hampir tidak pernah terbebas dari kemacetan. Jalan di Jakarta adalah milik publik sehingga siapa saja bisa memakainya. Banyaknya pengguna jalan di Jakarta inilah yang membuat kemacetan tak terhindarkan.
The Tragedy of The Commons
Kemacetan merupakan salah satu fenomena yang oleh ahli ekologi Garrett Hardin sebagai the tragedy of the commons. Fenomena ini terjadi ketika setiap orang punya kepentingan (self-interest) untuk memaksimalkan keuntungan terhadap sumber daya yang dimiliki bersama (the commons). Dalam hal ini, ada pertentangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum sehingga sumber daya yang ada menjadi tereksploitasi (Vugt, 2009a). Tiap orang berusaha memenuhi kepentingannya dalam suatu masyarakat yang percaya terhadap adanya kebebasan atas sumber daya milik bersama itu. Adanya pandangan bahwa setiap orang bebas untuk memiliki sumber daya bersama inilah yang menyebabkan kehancuran bagi banyak orang (Hardin, 1968). Akhirnya, sumber daya milik bersama ini bukan menjadi sumber kemakmuran bersama, tapi justru menjadi tragedi.
Kebebasan Menggunakan Jalan Raya
Jalan raya di Jakarta adalah milik bersama. Siapa saja bisa menggunakan jalan-jalan tersebut. Sementara, setiap orang punya self-interest untuk mendapat keuntungan dalam menggunakan jalan raya. Setiap orang ingin melewati jalan raya tertentu yang menurutnya merupakan rute jalan yang paling dekat agar segera sampai tujuan (tempat kerja, pusat perbelanjaan, dan sebagainya). Rute paling dekat menguntungkan secara ekonomis: hemat bahan bakar dan hemat waktu. Bagi orang yang berkecukupan dan tidak tahan dengan terik Jakarta, mereka bisa menggunakan mobil pribadi untuk melewati rute tersebut.
Bagi banyak orang, cara berpikir demikian terlihat rasional belaka. Mungkin semula belum ada kemacetan yang berarti. Namun, pada level tertentu, jalan-jalan yang dianggap sebagai rute terdekat itu ternyata digunakan oleh banyak orang. Kemacetan pun tak terhindarkan. Akhirnya, orang yang semula ingin melewati jalan tersebut agar bisa berada dalam kendaraan sesingkat mungkin, akhirnya menghabiskan banyak waktu di dalam kendaraan karena menghadapi kemacetan. Kebebasan menggunakan jalan raya justru berakibat pada penderitaan pengguna jalan itu sendiri.
Peningkatan Populasi dan Perilaku Membuang Sampah Sembarangan
Tapi mungkin tragedi kemacetan di Jakarta dipengaruhi pula oleh adanya tragedy of the commons yang lain. Di antaranya adalah populasi yang tinggi di Jakarta dan perilaku buang sampah sembarangan. Semua orang usia produktif di Indonesia menginginkan bekerja di Jakarta. Mereka punya self-interest untuk mendapat penghasilan tinggi dengan cara bekerja di ibu kota. Penduduk Jakarta pun padat. Pendatang yang bekerja di Jakarta membangun rumah di kota penyangga (hinterland) Jakarta. Jadi, mereka tinggal di luar Jakarta tetapi bekerja di Jakarta. Jadilah setiap hari terjadi kemacetan di jalan-jalan utama di Jakarta, tak terkecuali jalan penghubung Jakarta dengan kota-kota di sekitarnya.
Perilaku membuang sampah sembarangan muncul karena orang tidak ingin bersusah payah membuang sampah pada tempat yang disediakan. Orang yang tidak ingin menambah pengeluaran karena retribusi sampah lebih suka membuang sampah di sungai, di selokan, atau di tempat yang dianggap tidak bertuan (kebun kosong, rumah kosong, dan sebagainya). Akhirnya saluran air jadi tersumbat. Jika terjadi hujan, air tidak mengalir dengan lancar. Muncul genangan air di jalan-jalan di Jakarta. Genangan air ini ikut menambah titik rawan kemacetan di Jakarta.
Mengatasi Kemacetan di Jakarta Melalui 4i
Bagaimana cara mengatasi kemacetan di Jakarta? Kita bisa mendapat panduan cara mengatasi kemacetan di Jakarta dengan merujuk bagaimana Mark Van Vugt, ilmuwan psikologi sosial dari Universitas Kent, membuat formula dalam mengatasi fenomena tragedy of the commons berdasarkan sudut pandang psikologi sosial. Menurut Van Vugt (2009a, 2009b), ada empat komponen yang dibutuhkan dalam melakukan intervensi sosial untuk menjaga lingkungan, yakni informasi, identitas, institusi, dan insentif (disingkat 4i). Orang butuh memahami lingkungan fisik maupun sosial agar terhindar dari ketidakpastian. Orang juga butuh identitas sosial yang positif sehingga merasa memiliki atau menjadi bagian dari suatu komunitas dimana ia berada. Orang juga butuh percaya (trust) terhadap institusi dan aturan umum yang berlaku. Terakhir, insentif diberlakukan karena orang punya motif self-enhancement, meningkatkan kualitas diri dengan cara mendapat kesenangan dan menghindari penderitaan.
Pertama, informasi. Pengguna jalan raya di Jakarta perlu mendapat informasi tentang penggunaan jalan dan kemacetan. Misalnya, apa dampak ekonomis kemacetan? Seberapa bahaya emisi karbon itu? Bagaimana angka kecelakaan karena pengunaan jalan raya yang padat? Informasi tentang kerugian akibat kemacetan misalnya. Pengguna jalan raya di Jakarta perlu tahu bahwa kerugian akibat macet di Jakarta adalah Rp 12,8 triliun pertahun. Jumlah ini lebih dari cukup, dan tentu lebih bermanfaat, jika dialihkan untuk perbaikan jalan atau membangun jalan baru. Berapa rupiah pertahun perorang uang yang diboroskan akibat kemacetan yang harus ditangggung pengguna mobil pribadi? Informasi ini mungkin bisa menggugah pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke transportasi umum.
Kedua, identitas. Pengguna jalan di Jakarta perlu dibangun identitas sosialnya sebagai bagian dari orang Jakarta. Pengguna jalan perlu merasa memiliki Jakarta sebagai tempat mereka menggantungkan hidup selama ini. Acara-acara publik seperti car free day atau sejumlah festival budaya yang diadakan Pemerintah Jakarta bisa mempengaruhi identitas sosial warga Jakarta. Munculnya berbagai komunitas yang bisa mengurangi kemacetan juga perlu terus ditumbuhkan. Beberapa di antaranya, komunitas Bike to Work, komunitas Nebengers, komunitas KRL Mania, dan sebagainya. Di komunitas tersebut mereka membangun identitas mereka sebagai komunitas yang ramah lingkungan dan mendukung penggunaan transportasi publik.
Ketiga, institusi. Institusi diperlukan untuk mengatur kemacetan. Untuk mengatasi masalah kemacetan, institusi terkait perlu membangun kepercayaan publik. Pemerintah Jakarta harus menjadi pemerintah yang dipercaya publik sehingga aturan yang diberlakukan terkait transportasi bisa dipatuhi masyarakat. Selain itu, institusi penyelenggara transportasi publik, seperti PT KAI dan Trans Jakarta, juga harus membangun kepercayaan publik dengan cara memberi pelayanan yang baik. Jangan sampai pengguna kendaraan pribadi yang akan beralih ke moda transportasi umum dikecewakan dan urung menggunakannya karena pelayanan yang buruk. Jadi keputusan masyarakat untuk beralih menggunakan transportasi publik dipengaruhi oleh seberapa dipercaya institusi-institusi penyelenggara transportasi publik tersebut.
Keempat, insentif dimana perlu diberlakukan skema insentif tertentu bagi pengguna jalan. Misalnya, untuk jalan-jalan yang padat, pemerintah memberlakukan biaya tertentu bagi pengguna jalan. Namun, ini perlu ditimbang dengan matang karena insentif bisa kontraproduktif. Karena orang sudah merasa membayar biaya tertentu atas penggunaan jalan sehingga justru malah bisa sewenang-wenang dalam menggunakan jalan raya. Biaya parkir mobil yang tinggi di Jakarta juga bagian dari upaya insentif ini.
Referensi
Hardin, G. (1968). The tragedy of the common. Science, 162, 1243-1248.
Van Vugt, M. (2009a). Triumpt of the commons: Helping the world to share. New Scientist, 2772, 40-43.
Van Vugt, M. (2009b). Averting the tragedy of the commons: Using social psychological science to protect the environment. Current Directions in Psychological Science, 18(3), 169-173.