ISSN 2477-1686

Vol.2. No.24, Desember 2016

Budaya Nikah Muda: Dampak Bagi Pasangan

Nellawaty A. Tewu

Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

Nikah muda, salah satu fenomena yang sudah tidak asing terjadi di kalangan masyarakat, bahkan bias dibilang merupakan salah satu tradisi di berbagai budaya. Penyebab terjadinya pernikahan muda tergantung dari latar belakang budaya tersebut. Di Nigeria, 40% gadis dari keluarga miskin menikah pada usia 15 tahun disebabkan karena faktor ekonomi. Di Lebanon, banyak gadis yang berasal dari keluarga maupun negara yang penuh konflik justru menjalani pernikahan muda atas nama keamanan. Di Indonesia sendiri, perempuan berusia 14 tahun yang telah baligh di Jawa Barat dianggap baik untuk menikah. Di JawaTengah, perempuan yang sudah mencapai usia 20 tahun yang belum menikah akan dianggap perawan tua. Sama halnya di Desa Mahak Baru, Kalimantan Utara, orang tua ingin anak gadisnya segera dinikahkan karena takut akan menjadi perawan tua.

Pasangan Nikah Muda

Pernikahan merupakan salah satu bentuk hubungan mengikat antara laki-laki dan perempuan yang diakui secara sah. Menurut hukum Indonesia, pernikahan yang dianggap sah dicantumkan dalam Undang-undang No. 1 pasal 7 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan jika calon mempelai pria telah berusia 19 tahun dan mempelai wanita telah berusia 16 tahun. Dalam adat istiadat, pernikahan muda sering terjadi karena orang tua khawatir terhadap anak gadisnya akan menjadi perawan tua sehingga orang tua segera mencarikan jodoh untuk anak mereka. (BKKBN, 1993).

Menurut Asmin (1986), setiap budaya memiliki adat istiadat tersendiri dalam memandang hokum pernikahan, hal ini dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan atau system kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Namun, pandangan mereka terhadap pernikahan masih bersifat tradisional sesuai pengetahuan yang mereka ketahui dalam budayanya. Hanya saja, hal ini perlu dipertimbangkan dalam hal psikologis pada pasangan muda yang akan menikah. Pasangan muda yang masih remaja bias dibilang kematangan emosinya kurang dalam membangun rumah tangga. Karenanya, hal ini sangat penting untuk dipertimbangan oleh orang tua pasangan nikah muda.

Kematangan Emosional

Pernikahan muda sering terjadi karena masyarakat berpikir bahwa pasangan yang saling mencintai dan menikah secara emosional sudah siap melakukan pernikahan (Sanderwitz dan Paxman dalam Sarwono, 1994), tetapi pasangan perlu mempersiapkan terlebih dahulu kematangan emosi dalam mengurus rumah tangga. (Adhim, 2002). Menurut Adhim (2002), kematangan emosi merupakan salah satu aspek terpenting dalam membangun dan menjaga kelangsungan kehidupan berumah tangga pada pasangan muda. Kematangan emosi adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat mengendalikan dan mengambil keputusan yang baik dalam menjalani kehidupan, hal ini dipengaruhi oleh faktor usia.

Perkembangan otak usia remaja yang memproses pola piker belum sepenuhnya sempurna walaupun bagian otak yang memproses emosi sudah matang. Oleh karena itu, pasangan muda yang masih berusia belasan tahun cenderung lebih bersifat emosional dibandingkan rasional dalam mengambil keputusan. Hal ini akan berdampak pada pasangan muda itu sendiri.

Dampak Nikah Muda dan Cara Penanganannya

Pasangan suami istri yang masih berusia remaja dengan rendahnya kematangan emosional dan kurangnya pengetahuan terkait pernikahan akan menimbulkan konflik bahkan perceraian jika tidak dapat ditangani dengan baik dan benar. Hal ini karena usia remaja masih bias dibilang kekanak-kan akan dan belum bias mandiri dalam mengurusi kehidupan rumah tangganya sehingga masalah yang mereka alami sering melibatkan orangtua didalamnya.

Menurt Goode (2004), hubungan pernikahan merupakan suatu ikatan yang sulit untuk dipisahkan, jika terjadi masalah dan konflik yang tidak bias terselesaikan maka hubungan itu akan putus. Oleh karena itu, hal ini perlu ditangani sedini mungkin oleh orangtua untuk menikahkan anaknya yang masih berusia remaja. Pertama, orangtua pasangan perlu melihat perkembangan anak baik itu perkembangan emosi, otak maupun social sebelum memutuskan untuk menikahkan anaknya. Kedua, orang tua perlu membantu anak untuk belajar mandiri dalam mencari kebutuhan hidup dalam mempersiapkan kehidupan anak selanjutnya. Ketiga, kewajiban orangtua dalam mengambil keputusan sebaik mungkin untuk masa depan anak yang lebih baik.

Referensi

Khairani. R.,& Putri. D. E. (2008). Kematangan Emosi Pada Pria Dan Wanita yang Menikah Muda.JurnalPsikologi Vol 1, No 2.

Sardi. B. (2016). Faktor-Faktor Pendorong Pernikahan Dini Dan Dampaknya Di Desa Mahak Baru Kecamatan Sungai Boh Kabupaten Malinau. eJournal Sosiatri-Sosiologi4(3): 194-207.

Desideria.B. (2016). Nikah Muda Apakah Pernikahan Rentan Alami Masalah. Liputan6. Diakses pada 26 November dari http://health.liputan6.com/read/2572024/nikah-muda-apakah-pernikahan-rentan-alami-masalah

Dharma. S. (2016). Setiap 7 Detik 1 Gadis di Bawah 15 Tahun Menikah.Okezone.Diakses pada 26 November 2016 dari http://news.okezone.com/read/2016/10/12/18/1512277/setiap-7-detik-1-gadis-di-bawah-15-tahun-menikah

Effendi. Anwar. (2016). Lima Daerah di Indonesia yang PunyaTradisi Nikah Muda.Pikiran Rakyat. Diakses pada 26 November 2016 darihttp://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/02/05/359777/lima-daerah-di-indonesia-yang-punya-tradisi-nikah-muda