ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 21 November 2022
Peran Hati Dan Akal Dalam Lingkup Kejiwaan Manusia Menurut Al-Ghazali
Oleh
Syafa Alfina & Fajar Nurisa Khoirini
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka
Ditinjau dari lingkup kejiwaan, manusia dipengaruhi oleh dimensi psikis yang memiliki nilai dan tingkatkemanusiaan yang berasal dari dimensi jiwanya (nafs). Artinya, meskipun manusia terdiri dari esensimaterial (jasmani) dan imaterial (jiwa, ruh, akal, dan hati), namun hakikatnya esensi material manusia hanyalah materi dasar yang mati, karena kehidupannya bergantung pada adanya esensi lain, yaitu nafs atau ruh.
Apabila kita tinjau berdasarkan konsep nafs dalam Al-Qur’an, dapat kita interpretasikan bahwa nafs merupakan bagian psikis yang memiliki dua kekuatan, yakni Al-ghadabiyyah dan Al-syahwaniyyah. Landasan kerja kedua kekuatan ini ialah berupaya untuk mengejar kenikmatan dan membebaskandorongan agresif dan hasrat seksual, sehingga manusia yang cuma menuruti kedua kekuatan ini layaknyaseperti binatang dalam arah hidup yang diikutinya, bahkan lebih tercela. Itulah sebabnya dorongan ini dinamakan al-nafs al-hayawaniyyah yang jika dibiarkan akan membawa manusia pada gaya hidup hedonistik, materialistik, seks bebas, dan lain-lain. Gaya hidup semacam inilah yang disalahkan dalam Al-Qur’an bahwa saat manusia dikuasai oleh hawa nafsu itu akan selalu mengarahkannya pada keburukan dan kesengsaraan. Namun seandainya jiwa mampu mengontrol kedua kekuatan tersebut, maka keduanya akan berperan sebagai pelindung dan kekuatan hidup, sekaligus mendorong pemiliknya untuk menunjukkansisi kemanusiannya, berbuat kebaikan, dan menikmati hidup. Keadaan ini hanya akan terjadi ketika jiwa manusia mengutamakan sisi akal dan hati atas hawa nafsunya (Setiawan & Asyiqien, 2019).
Dua Unsur Penentu Nilai dan Tingkat Kepribadian Manusia?
Akal dan hati merupkaan dua unsur yang menentukan nilai dan tingkat kepribadian manusia, sebagai bentuk karakter manusia dan memberikan ciri khas dalam aspek nafs. Selain memberikan ciri khas kepada aspek al-nafs, akal dan hati yang berperan sebagai aspek psikis juga memberikan ciri khas kepada al-ruh, dan al-fitrah. Sebagai perumpamaan, makhluk yang hanya dikendalikan oleh nafs (nafsu) yaitu binatang. Sedangkan makhluk yang hanya dipengaruhi oleh alruh dan al-fitrah yaitu malaikat. Sementara makhuk dengan gabungan keduanya yakni fungsi dan tingkat kebinatangan dan kemalaikatan yaitu manusia karena dirangkai dengan dimensi akal dan hati dalam susunan komposisi psikis manusia (Zuhara, 2018).
Dijelaskan oleh Al-Ghazali bahwa tubuh adalah kendaraan bagi qalb dengan bahan bakar yaitu ilmu yang bermanfaat yang akan menghasilkan amal saleh, dimana ilmu tersebut didapat selama kehidupan dunia. Karena tubuh adalah perangkat yang bisa rusak, maka qalb mendapat kewajiban untuk menjaga tubuhdengan tiga cara, yaitu dengan makan, dengan melindunginya dari sebab-sebab kerusakan tubuh, dan dengan ilmu pengetahuan. Dalam perkara makan, terdapat dua tantara yang diciptakan untuk qalb yakni batin yang berupa syahwat dan zahir yang berupa tangan dan anggota tubuh yang dibutuhkan saat makan. Dalam memelihara dari sebab kerusakan diciptakan pula dua tentara, yakni batin terkait sifat marah dan zahir ialah tangan dan kaki yang menuruti kemauan sifat marah tersebut. Jadi dalam hal ini seluruh anggota tubuh ibarat senjata bagi jiwa (qalb). Disamping itu, dalam menjaga tubuh dari kehancuran diciptakan juga unsur pengetahuan, pertama: batin, yakni pengetahuan daya indrawi (pendengaran, penglihatan, perasa,peraba, dan penciuman), kedua: zahir, yakni alat panca indra
Bagiamankah Peran Akal dan Hati Terhadap Kejiwaan Seseorang?
Penjelasan lain dalam kitab Kimiya’ al-Sa’adah, al-Ghazali mendeskripsikan bahwa manusia (nafs) ibarat gambaran sebuah kota pemerintahan. Di mana qalb sebagai presiden, tubuh seakan seluruh wilayah, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai gubernur wilayah, amarah sebagai musuh, sementara anggota tubuh baik zahir maupun batin laksana para prajurit presiden. Menjadi kewajiban presiden untuk bekerjasama serta bermusyawarah dengan perdana menteri dimana ia yang memiliki daya nalar berpikir guna menciptakan keadaan negara yang baik terutama dalam mengawasi gubernur dan para musuh. Kalaupun demikian yang terjadi, niscaya jiwa seseorang akan baik, namun kalau presiden abai, perdana menteri pun tak ada kekuatan untuk mengamankan para musuh sehingga semuanya berada di bawah kendali musuh, maka terjadilah kekacauan pada jiwa (Cholik, 2015).
Demikian pula gambaran terkait jiwa seseorang, dimana qalb dan ‘aql harus mampu mengendalikan nafsudan amarah, sehingga dengannya semua anggota tubuh akan mengarah pada kebaikan. Ketika qalb tidak bekerja, maka ‘aql menjadi lemah, sehingga nafsu dan amarah lebih mudah menguasai jiwa seseorang. Akibatnya, jiwa semakin diwarnai oleh nafsu dan amarah yang akan membawanya pada keburukan.
Dari semua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam jiwa manusia tampaknya selalu ada tarikmenarik yang terjadi antara akal dan nafsu. Akal selalu mengarah pada kebaikan, sedangkan nafsu selalu mengarah pada perilaku buruk. Sebenarnya, jika nafsu dan amarah bisa dikendalikan itu akan menjadi baik karena di situlah kehidupan seimbang. Namun keduanya cenderung selalu berlebihan dan mengarah pada keburukan. Setelah itu, apakah akal yang diutamakan atau nafsu yang dikedepankan, ini masih dipengaruhi lagi oleh kondisi hatinya, karena hati (qalb) juga berpikir dan yang memutuskan. Tetapi dalam keadaansehari-hari, meskipun tiap manusia telah diberikan ‘aql dan qalb yang sama, faktanya kedua dimensi psikis ini tidak selalu mampu mengendalikan nafsu dan keinginan manusia. Namun tak dapat dipungkiri, bahwafaktor penegtahuan terlebih dahulu lah yang mempenagruhi perilaku manusia.
Referensi:
Cholik, A. A. (2015). Relasi Akal dan Hati menurut al-Ghazali. Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 13(2), 287-310.
Setiawan, M. A., & Asyiqien, M. Z. (2019). Urgensi Akal Menurut Al Qur’an Dan Implikasinya Dalam Mencapai Tujuan Pendidikan Islam. Intelektual: Jurnal Pendidikan Dan Studi Keislaman, 9(01), 35-52.
Zuhara, E. (2018). Konsep jiwa dalam tradisi keilmuan Islam. JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 4(1), 44-66.