ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 43 Oktober 2025
Sing Beling Sing Nganten: Menjaga Keturunan atau Bentuk Subordinasi Perempuan dalam Relasi Pernikahan di Bali?
Oleh:
Putu Adinda Mahadewi Restu Putri
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Pada masyarakat Bali, pernikahan atau pawiwahan dimaknai sebagai hubungan yang bersifat suci serta sakral antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan dharma bhakti selaku manusia utuh. Idealnya, hubungan suci serta sakral dalam pernikahan didasari oleh rasa cinta guna mewujudkan wadarmaning manusa lan swadarmaning pianak yang diartikan sebagai keharusan untuk meneruskan kehidupan dan mewujudkan kewajiban seorang anak (Surupa dalam Dewi dkk., 2022). Salah satu kewajiban yang dipercaya oleh masyarakat Bali secara kolektif yakni tugas untuk melahirkan anak laki-laki demi menjaga garis keturunan keluarga (Yudha & Dewi, 2025). Kepercayaan tersebut berkaitan dengan sistem kekerabatan patrilineal masyarakat Bali, di mana garis keturunan mengikuti pihak ayah sehingga laki-laki diposisikan sebagai ahli waris utama dalam keluarga (Udytama & Dianti, 2024). Selain itu, terdapat pula keyakinan bahwa individu yang tidak mampu menjalankan kewajiban untuk melahirkan keturunan, dipercaya akan menyebabkan orang tua atau leluhurnya tidak mendapatkan tempat layak setelah meninggal dunia (Dewi dkk., 2022). Keadaan tersebut melatarbelakangi munculnya persepsi bahwa pernikahan dianggap sebagai sebuah hak sekaligus kewajiban yang harus dijalani untuk meneruskan keturunan sehingga memicu fenomena sing beling sing nganten (Yasa dkk., 2022).
Ungkapan sing beling sing nganten diartikan sebagai “tidak hamil, maka tidak menikah” yang merujuk pada praktik di mana seorang perempuan baru dapat menikah dengan syarat mengalami kehamilan terlebih dahulu. Menurut Dewi dkk. (2022), ditinjau dari sudut pandang kesetaraan gender, pihak perempuan justru mengalami kerugian yang paling besar. Oleh karena itu, fenomena sing beling sing nganten menjadi isu penting serta unik untuk dikaji karena menggambarkan konstruksi budaya serta nilai sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi rentan dalam relasi pernikahan di masyarakat. Fenomena sing beling sing nganten masih menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat Bali. Pihak yang mendukung mengutamakan sisi citraisme pribadi serta keluarga, sedangkan pihak kontra lebih menekankan tatanan kehidupan berdasarkan hukum agama dan adat (Saraswaty & Tobing, 2017). Seiring waktu, fenomena sing beling sing nganten semakin marak terjadi di kalangan masyarakat Bali sebagai hal yang dinormalisasi, bahkan generasi muda menganggapnya sebagai tindakan wajar (Dananjaya, 2022). Keadaan ini menunjukkan pergeseran nilai dan makna terkait pernikahan dalam masyarakat Bali (Yogiswari dkk., 2025).
Subordinasi pada perempuan didefinisikan sebagai ‘penomorduaan’ bahwa perempuan seharusnya lebih lemah atau rendah dibandingkan laki-laki. Pandangan feminis liberal menjelaskan bahwa subordinasi perempuan mengakar pada seperangkat kendala serta kebiasaan budaya yang menghambat perempuan dalam mendapatkan akses terhadap kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan laki-laki (Saptari, 1997). Fenomena sing beling sing nganten dianggap sebagai ukuran dominansi laki-laki yang tercermin melalui subordinasi perempuan yang masih kuat dan terus berlangsung hingga saat ini (Wigena dkk., 2025). Hal ini sejalan dengan tinjauan literatur oleh Chandra dkk. (2020) bahwa perempuan, terutama di Bali, masih dianggap sebagai subjek subordinat atau subjek yang dikontrol oleh laki-laki. Salah satu bentuk subordinasi terlihat melalui stereotip infertilitas yang cenderung dibebankan kepada perempuan secara sepihak. Fenomena sing beling sing nganten seringkali dipersepsikan sebagai metode pengujian kesehatan reproduksi perempuan terkait dengan kemampuannya untuk hamil serta memberikan keturunan. Menurut hasil penelitian oleh Yogiswari dkk. (2025), keluarga seringkali ingin memastikan bahwa calon menantu perempuan mampu mempunyai keturunan sebelum diterima dalam keluarga besar. Laki-laki juga seringkali menuntut perempuan agar segera memberikan keturunan. Hal tersebut merefleksikan bahwa fenomena sing beling sing nganten dijadikan sebagai konstruksi sosial yang memposisikan perempuan dalam peran reproduktif sebagai bagian ekspektasi budaya. Dengan demikian, tubuh perempuan dijadikan objek dalam mengukur kesuburan, kesetiaan, hingga moralitas, sedangkan laki-laki jarang sekali menerima penilaian atau tekanan serupa.
Subordinasi perempuan dalam pernikahan mencerminkan hadirnya struktur sosial patriarki dengan peran yang senantiasa dikaitkan terhadap pengasuhan dan relasi. Menurut Miller (1976), ketika merendahkan perempuan, masyarakat juga merendahkan sifat-sifat yang diasosiasikan dengan perempuan. Sifat-sifat sebagai dasar identitas perempuan justru dijadikan alasan untuk membatasi akses perempuan terhadap kekuasaan, kebebasan, hingga peran tertentu (Worell & Goodheart, 2006). Selain itu, Giligan (1982) juga menjelaskan bahwa pengalaman perempuan terhadap subordinasi membentuk diri moral yang dilandasi pada hubungan individu serta dicirikan oleh perhatian terhadap hubungan. Apabila dikaitkan dengan teori relational self yang dikemukakan oleh Chodorow (1978), perempuan sejak kecil seringkali dikonstruksikan dengan “diri relasional” yakni identitas yang berkembang melalui hubungan dengan orang lain. Dalam konteks fenomena sing beling sing nganten pada relasi pernikahan, perempuan lebih dibentuk dalam mengutamakan hubungan serta tanggung jawab emosional, sedangkan aspek kemandirian serta kontrol terhadap dirinya sendiri cenderung diabaikan. Hal ini mendorong perempuan seringkali mengevaluasi serta menilai keberhargaan diri mereka melalui relasi, bukan otonomi. Oleh karena itu, perempuan tidak dilihat sebagai individu yang otonom, melainkan sebagai perpanjangan kepentingan keluarga serta sistem sosial yang menempatkan relasi sebagai salah satu bentuk pengabdian. Kondisi tersebut menjadikan perempuan lebih rentan terhadap subordinasi dalam relasi pernikahan.
Maka dari itu, penting bagi perempuan untuk menyadari hak atas tubuh serta reproduksinya sendiri. Masyarakat pun penting untuk merefleksikan kembali nilai budaya yang tidak mencerminkan kesetaraan. Selain itu, stakeholder, seperti tokoh adat serta pembuat kebijakan mampu membangun ruang edukasi dan dialog yang mendorong kesetaraan dalam pernikahan. Dengan demikian, pernikahan dapat kembali diarahkan pada hubungan yang bersifat sehat, setara, serta saling menghargai, bukan semata-mata menekankan pada kemampuan reproduksi dalam menghasilkan keturunan.
Referensi:
Chandra, N. M. T., Susanti, E., & Kinuthia, K. M. (2020). Women’s subordination in premarital pregnancy. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, 33(3), 238–247.
Dananjaya, I. N. H. M. & Sari, N. K. P. (2022). PENTINGNYA PENDIDIKAN ETIKA SEKSUALITAS MENURUT HINDU BAGI GENERASI MUDA HINDU. Guna Widya: Jurnal Pendidikan Hindu , 9(2), 154-167.
Miller, J. B. (1976). Toward a New Psychology of Women. Boston: Beacon Press.
Saptari, R. (1997). Studi Perempuan: Sebuah Pengantar. dalam Saptari, R. Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan.
Saraswaty, R. & Tobing, D. H. (2017). Motivasi Pada Perempuan Bali yang Memilih Hamil Sebelum Menikah. Jurnal Psikologi Udayana, 3(3), 43-55.
Udytama, I. W. W. W., & Dianti, I. A. I. S. (2024). Sistem Pewarisan Hukum Adat Bali Terhadap Kedudukan Perempuan Pada Masyarakat Adat Bali. Jurnal Yustitia, 19(2), 1-7.
Wigena, I. B. W., Wibowo, A. S., Wahyuni, K. A., & Manuaba, I. B. A. L. (2025). Fenomena Beling Malunan Sebagai Refleksi Kesetaraan Gender melalui Pembelajaran Ilmu Sosial. Entita: Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial , 795-812.
Worell, J., & Goodheart, C. D. (2006). Handbook of girls’ and women’s psychological health: Gender and well-being across the lifespan. Oxford University Press.
Yasa, P. D., Adnyana, P. E. S., Bhattacarya, W., Tresna, G. N. A. P., Wardana, K. A., & Saputra, I. M. G. N. (2022). Anak Muda Hindu Bicara Topik Dewasa!. Badung: Nilacakra.
Yogiswari, K. S., Maharani, S. D., & Nugroho, H. W. (2025). Diskursus Nilai Kesakralan Perkawinan Hindu dan Fenomena Sosial Sing Beling Sing Nganten Pada Masyarakat Perkotaan di Bali. Jurnal Penelitian Agama Hindu, (2), 196-215.
Yudha, A. A. N. B. K., & Dewi, P. S. T. (2025). DISRUPSI KUASA PEMAKNAAN SING BELING SING NGANTEN PADA MEDIA MASSA MELALUI RESPON WARGANET. In SENADA (Seminar Nasional Manajemen, Desain dan Aplikasi Bisnis Teknologi), 8, 214-230.