ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 35 Juni 2025
Cinderella Complex: Antara Cerita Dongeng dan Ketidakberdayaan Perempuan di Era Modern
Oleh:
Difa Asyifa
Magister Psikologi Sains, Universitas Sumatera Utara
Kehidupan seperti putri di negeri dongeng adalah impian kebanyakan perempuan, sejak kecil perempuan kerap disuguhkan dengan cerita-cerita putri dari negeri dongen yang memiliki kehidupan yang memilukan, ketidakberdayaan dan kemiskinan sering kali menjadi nasib sang putri. Namun, kehidupan sang putri akan berubah ketika bertemu dengan cinta sejatinya. Kehidupan yang awalnya penuh dengan penderitaan berubah menjadi kehidupan yang penuh kebahagiaan dan keharmonisan yang diidam-idamkankan oleh kebanyakan perempuan di seluruh dunia. Salah satu cerita putri di negeri dongeng yang populer ialah cerita Cinderella. Cerita Cinderella adalah dongeng klasik yang ditemukan dalam berbagai versi di seluruh dunia. Dongeng ini mengisahkan tentang kisah seorang gadis cantik dan baik hati bernama Cinderella yang hidup dengan ibu tiri dan dua saudara tirinya. Selama tinggal bersama mereka, Cinderella mengalami banyak penderitaan. Namun, kehidupannya berubah menjadi bahagia ketika seorang pangeran menemukan sepatu kacanya dan menikahinya, sehingga akhirnya Cinderella hidup bahagia selamanya dengan sang pangeran. Cerita Cinderella diadaptasi menjadi istilah yang diperkenalkan oleh psikiater Colette Dowling, yaitu cinderella complex. Dalam bukunya yang berjudul The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence Dowling menjelaskan bahwa istilah ini merujuk pada kecenderungan perempuan untuk bergantung secara psikologis. Hal ini tercermin dalam keinginan yang mendalam untuk dirawat dan dilindungi oleh orang lain, terutama laki-laki, serta keyakinan bahwa bantuan akan datang dari luar diri mereka. (Zain, 2016)
Kebanyakan perempuan tidak menyadari adanya kecenderungan terhadap cinderella complex, hal ini menyebabkan tidak adanya penanganan untuk mengatasinya. Cinderella complex dapat dialami oleh perempuan yang bahkan terlihat mandiri dan menempuh pendidikan tinggi (Dowling, 1992). Fenomena cinderella complex sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya candaan “Capek banget sekolah, mau nikah aja” atau “Mau cari suami aja, biar gak kerja” fenomena tersebut secara tidak langsung menunjukkan adanya ketergantungan perempuan terhadap laki-laki, laki-laki dianggap sebagai penyelamat atas sulitnya kehidupan dan pernikahan dianggap sebagai solusi dari setiap masalah.
Dalam budaya patriarki perempuan sering kali dianggap sebagai makhluk yang tidak berdaya, dimana mereka harus mematuhi norma-norma budaya yang dipercayai agar dipandang sebagai perempuan yang baik. Perempuan diajari menjadi patuh dan penurut serta memiliki penampilan yang menarik agar dapat menarik perhatian laki-laki untuk menikahinya, setelah menikah perempuan dituntut untuk dapat mengabdikan seluruh kehidupannya untuk melayani suami dan keluarga. Hal tersebut menunjukkan bagaimana budaya patriarki menempatkan posisi perempuan dalam masyarakat, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk berdaya dan mandiri, sehingga perempuan menggantungkan seluruh hidupnya pada laki-laki.
Ketergantungan secara psikologis terhadap orang lain terutama laki-laki dapat menjadi pendorong utama dalam menghambat pengembangan kreativitas dan potensi yang dimiliki perempuan. Perempuan dengan cinderella complex seringkali menunjukkan sikap ketidakberdayaanya, saat menghadapi tantangan baru, mereka cenderung menyerah dan meminta bantuan orang lain dari pada mencoba menghadapinya terlebih dahulu (Chastine & Darmasetiawan, 2019). Faktanya di era modern ini perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berpendidikan, berkarir, berkarya, dan mengembangkan potensi lainnya yang dimiliki. Keterbukaan pandangan masyarakat terhadap keberdayaan perempuan menjadikan perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki diberbagai aspek kehidupan. Namun, kecenderungan cinderella complex dapat menghampat perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya dan menjadi mandiri, sehingga kapasitas dan kualitas yang dimiliki semakin melemah yang dapat menyebabkan kemunduran prestasi dan eksistensi perempuan dalam masyarakat.
Mengacu pada penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa meskipun perempuan di era modern memiliki peluang yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, namun cinderella complex dapat menghambat pengembangan potensi untuk menjadi mandiri dan berdaya. Oleh karena itu, penting bagi perempuan untuk menyadari dan mengatasi adanya ketergantungan psikologis tersebut, upaya dalam mengatasi cinderella complex dapat dilakukan dengan membangun keberanian dan kemandirian dalam bertindak di berbagai situasi, baik dalam hubungan maupun kehidupan secara umum. Hal ini mencakup langkah-langkah seperti membangun koneksi dengan orang lain, meningkatkan pengetahuan diri, serta meningkatkan rasa percaya diri dengan fokus pada pengembangan diri. Dengan cara ini, perempuan dapat melepaskan diri dari pola pikir pasif dan bergantung pada orang lain, serta menjadi lebih mandiri dan proaktif dalam menentukan kebahagiaan dan arah hidupnya.
Referensi:
Chastine, V., & Darmasetiawan, N. (2019). Cinderella complex on working women. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 30(8), 103 - 106. https://doi.org/10.2991/insyma-19.2019.26
Dowling, C. (1981). The cinderella complex: Women's hidden fear of independence. Summit Books.
Zain, T. S. (2016). Cinderella complex dalam perspektif psikologi perkembangan sosial emosi. Jurnal Indigenous, 1(1), 92-98. https://doi.org/10.23917/indigenous.v1i1.2222
