ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 4 Feb 2022

Ada apa dengan Perempuan dan Korupsi 

dalam Dinasti Politik? 

 

Oleh

Maria Claudia Wahyu Trihastuti

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta

 

Korupsi dalam Dinasti Politik dan Pemimpin Perempuan

Peningkatan fenomena dinasti politik di Indonesia terlihat dari penambahan peserta pilkada yang memiliki hubungan kekerabatan sebanyak 158 peserta pada Pilkada 2020 dibandingkan Pilkada 2015 sebanyak 52 peserta (Syambudi, 2020). Maraknya dinasti politik yang berujung pada tindak korupsi (Akbar, 2021; Martiar & Rita, 2021) menjadi tema pembasaan dalam berbagai forum ilmiah dan politik. 

 

Faktanya tidak hanya pejabat berjenis kelamin laki-laki yang terlibat dalam perilaku korupsi, pemimpin berjenis kelamin perempuan turut mewarnai tindakan korupsi melalui pintu dinasti politik dalam sepuluh tahun terakhir (Maulidia, 2020). Berdasarkan delapan kasus korupsi di dalam dinasti politik, lima kasus diantaranya dilakukan oleh pemimpin berjenis kelamin perempuan (“Deretan Kasus Korupsi yang Lahir dari Dinasti Politik”, 2021 & “6 Dinasti Politik dalam Pusaran Korupsi, Suami-Istri Hingga Anak-Orang Tua Bersekongkol”, 2018).

 

Tindakan korupsi dalam dinasti politik yang melibatkan pemimpin perempuan antara lain kasus korupsi Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah pada tahun 2013 yang mengikutsertakan adik kandung dan adik ipar (“Setelah Kantor Airin Dibidik, Giliran Kantor Ipar”, 2013). Walikota Cimahi Atty Suharti yang tertangkap bersama suaminya pada tahun 2016 (“Walikota Cimahi Atty Suharti Tochija dan Suami Ditangkap KPK”, 2016), dan Bupati Probolingo Puput Tantriana Sari yang ditangkap bersama suaminya pada Agustus 2021 (“Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Suaminya Ditangkap KPK”, 2021).

 

Faktor-faktor penyebab korupsi yaitu: 1) faktor pribadi, seperti materialistik, konsumtif, dan sifat tamak; 2), faktor keluarga dan masyarakat, seperti dorongan keluarga, budaya masyarakat yang menghargai orang berstatus sosial ekonomi tinggi, kebiasaan pemberian gratifikasi; 3), faktor ekonomi dan politik, seperti lemahnya kontrol sosial yang menggerakan berbagai aktivitas terorganisir secara politik; dan 4), faktor organisasi, seperti buruknya sistem akuntabilitas, lemahnya sistem pengendalian manajemen dan pengawasan, buruknya keteladanan pemimpin, atau penyalahgunaan wewenang (Wilhelmus, 2017). Selain itu lemahnya hukum/peraturan dan sistem pengawasan menjadi faktor penyebab pada aspek hukum (Syarif & Prasetiyo, 2018).

Kesetaraan Gender dan Partisipasi Perempuan sebagai Pemimpin 

Gender merupakan pola perilaku dan kegiatan yang dianggap pantas oleh masyarakat atau budaya untuk laki-laki dan perempuan (Matsumoto, 2000). Kegiatan perempuan yang sebelumnya terbatas pada sektor domestik yakni menjalankan tanggungjawab sebagai ibu rumah tangga, mulai mengarah pada sektor publik di bidang politik. Keterlibatan perempuan sebagai pemimpin di bidang politik merupakan karakteristik kesetaraan gender di Indonesia. 

Kesetaraan gender memungkinkan adanya kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk terlibat dalam merencanakan, melaksanakan, dan memperoleh hasil pembangun baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, serta pendidikan (Inpres No.9 Tahun 2000).

Perilaku Korupsi Perempuan dan “Guyub” Sebagai Budaya Standar Indonesia

Budaya standar adalah bentuk persepsi, pola pikir, penilaian dan interaksi yang dimiliki oleh mayoritas anggota budaya tertentu yang bersifat khas dan mengikat (Thomas, 2010). Guyub merupakan salah satu budaya standar Indonesia yang menjunjung nilai kekelurgaan dalam relasi sosial (Panggabean, Tjitra, Murniati, 2014).

 

Terbukanya kesempatan melakukan tindak korupsi di dalam dinasti politik tidak lepas dari kontrol sosial yang lemah dari anggota kelompok dinasti dan masyarakat dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan di relasi sosial (Irawan, dalam Artina, Desnasari, Fitriyah, & Rizkita, 2020) dan tidak hadirnya pihak yang berinisiatif untuk mengevaluasi atau memberi umpan balik kepada pimpinan atau rekan kerja terlebih lagi di dalam dinasti politik dengan iklim kekeluargaan yang kuat (Hidasi, dalam Artina, Desnasari, Fitriyah, & Rizkita, 2020).

Perilaku Korupsi Perempuan dan Interdependent Self-Construal 

Dua pandangan mengenai bagaimana individu memandang diri sendiri yaitu independent self dan interdependent self (Markus dan Kitayama, 2010). Independent self-construal merupakan pandangan mengenai diri sebagai individu yang mandiri dan unik. Interdependent self-construal merupakan pandangan bahwa orang lain sebagai bagian dari diri sehingga berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain (Markus & Kitayama, 2010). Cross & Madson mengungkapkan bahwa tingkat interdependent self-construal perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Foels & Tomcho, 2009). 

 

Jumlah pelaku korupsi dalam dinasti politik berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dapat dijelaskan oleh kecenderungan pola relasi sosial perempuan yang lebih melibatkan the relational self yakni mengutamakan ikatan pribadi yang kuat dengan keluarga dan sahabat (Foels & Tomcho, 2009). 

Perilaku korupsi perempuan dan external locus of control

Keyakinan seseorang mengenai seberapa besar kendali yang dimiliki untuk mempengaruhi kehidupan disebut locus of control. Perempuan cenderung memiliki tipe kendali eksternal (external locus of control) dibandingkan laki-laki (Maadal, 2020). Perempuan mengharapkan adanya kesempatan, keberuntungan, atau nasib baik yang berada di luar kendali diri sendiri (Rotter dalam Maadal, 2020). 

 

Relasi kekeluargaan dalam dinasti politik menjadi sumber dukungan sosial yang berupa dukungan affectberupa penghormatan, perhatian; dukungan affirmation berupa pengakuan, persetujuan, dan penilaian kelayakan dari tindakan; dan dukungan aid berupa pertolongan secara nyata maupun simbolik (Antonucci, Birditt, & Akiyama, 2009). Adanya dukungan dari keluarga dimaknai sebagai kesempatan oleh pemimpin perempuan dalam merencanakan dan melakukan tindakan korupsi.

 

 

Perilaku korupsi perempuan dan high power distance

Masyarakat Indonesia memiliki dimensi budaya high power distance yang terlihat dari penghormatan yang besar terhadap pemimpin dan orang yang lebih tua (Mangundjaya dalam Artina, Desnasari, Fitriyah, & Rizkita, 2020) dan ketidaksetaraan hirarki yang didasarkan oleh perbedaan status, kekuasaan, dan usia (Wong-Mingji et al., dalam Artina, Desnasari, Fitriyah, & Rizkita, 2020). 

 

Kontrol yang kuat dari pemimpin dalam budaya high power distance dapat melahirkan penyalahgunaan wewenang oleh pemimpin serta ketidakhadiran system akuntabilitas yang akurat (Wilhelmus, 2017). Penyalahgunaan wewenang oleh pemimpin perempuan dalam dinasti politik terlihat dari kencenderungan perempuan melibatkan anggota keluarga dalam posisi-posisi kunci untuk melancarkan tindakan korupsi.

Penutup

Keterlibatan perempuan dalam kegiatan pembangunan sebagai pemimpin daerah menjadi salah satu bukti kesetaraan gender di Indonesia pada bidang politik. Maraknya tindakan korupsi dalam dinasti politik yang dilakukan oleh pemimpin berjenis kelamin perempuan, mendukung kecenderungan perempuan yang lebih mengutamakan ikatan keluarga serta menjaga keharmonisan relasi sosial dibandingkan pemimpin berjenis kelamin laki-laki. Penghormatan yang besar kepada pemimpin yang menggambarkan high power distancedalam budaya Indonesia dapat menjelaskan kenyataan tidak adanya bantahan dari bawahan terhadap perintah/instruksi pemimpin, termasuk persetujuan bahkan bantuan langsung dari bawahan di dalam dinasti politik terhadap tindakan korupsi. 

 

Dukungan dan bantuan langsung dari anggota kelompok dinasti politik terhadap perilaku korupsi menunjukkan lemahnya kontrol sosial yang turut memperkuat tindakan korupsi di dalam dinasti politik. Pentingnya kontrol dari dalam diri (internal locus of control) terhadap peningkatan tanggung jawab dan integritas terhadap organisasi, kemampuan menghadapi konflik kepentingan secara independent, dan kemampuan mengutamakan prinsip-prinsip kode etik perilaku profesional (Rotter dalam Hidayah, 2015).

 

 

Referensi:

Akbar, P.A. (2021, Oktober 19). Keluarga politik Indonesia: suami-istri, bapak-anak, kakak-adik terlibat korupsi. Tempo. Diakses dari https://nasional.tempo.co/

Antonucci, T. C., Birditt, K. S., & Akiyama, H. (2009). Convoys of social relations: An interdisciplinary approach. Dalam V. L. Bengston, D. Gans, N. M. Pulney, & M. Silverstein (Eds.), Handbook of Theories of Aging (pp. 247–260). Springer Publishing Company.

Artina, B.S.; Desnasari, D.; Fitriyah, F.; & Rizkita, R.G. (2020). The Workforce in Indonesian Organizations: An Analysis Based Upon the Cultural Dimensions of Hofstede’s Model. Journal of International Conference Proceeding, 3(1), 56-64. https://doi.org/10.32535/jicp.v2i4.780

Bupati Probolinggo Puput Tantiana Sari dan Suaminya Ditangkap KPK (2021, Agustus 30). Tribunnews.com. Diakses dari https://www.tribunnews.com/

Deretan Kasus Korupsi yang Lahir dari Dinasti Politik (2021, Oktober 17). Tempo. Diakses dari https://nasional.tempo.co/

Foels, R., & Tomcho, T. J. (2009). Gender differences in interdependent self-construals: It’s not the type of group, it’s the way you see it. Self and Identity, 8(4), 396–417. https://doi.org/10.1080/15298860802391470

Hidayah, S. (2015). Peranan locus of control internal pada perilaku etis karyawan di dalam organisasi. Jurnal Ekonomi Manajemen Akuntansi22(38).

Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000, tentang PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL. Diakses dari: https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/inpres-no.-9-tahun-2000-tentang-pug.pdf

Maadal, A. (2020). The relationship between locus of control and conformity. Journal of Cognition and Culture20, 100–115. https://doi.org/10.1163/15685373-12340076

Markus, H. R.; Kitayama, S. (2010). Cultures and selves: A cycle of mutual constitution. Perspectives on Psychological Science, 5(4), 420–430doi:10.1177/1745691610375557 

Martiar, N.A.D. & Rita, S. (2021, Oktober 17). Dinasti politik berujung korupsi. Kompas. Diakses dari https://www.kompas.id/

Matsumoto, D. (2000). Culture and Psychology. 2nd Edition. USA: Wadsworth.

Maulidia (2020, Januari 29). 9 perempuan cantik yang dipenjara karena korupsi di Indonesia.Okezone. Diakses dari https://nasional.okezone.com/

Panggabean, H.; Tjitra, H.; & Murniati, J. (2014). Kearifan Lokal Keunggulan Global. Jakarta: PT. Gramedia.

Setelah kantor Airin dibidik, giliran kantor ipar. (2013, Oktober 25). Tempo. Diakses dari https://nasional.tempo.co/

Syambudi, I. (2020, Desember 16). Dinasti politik meningkat: dari 158 kandidat, 67 potensial menang. Diakses dari https://tirto.id/f8ff 

Syarief, R.A. & Prastiyo, D. (2018). Korupsi kolektif (korupsi berjamaah) di Indonesia: Antara faktor penyebab dan penegakan hukum. Jurnal Hukum Republica, 18 (1), 1-13. https://doi.org/10.31849/respublica.v18i1.3947.

Thomas, A. (2010). Culture and cultural standards. Dalam Eva-Ulrike Kinast & Sylvia Schroll-Machl (Ed). Handbook of Intercultural Communication and Cooperation1, 17. Diakses dari: https://library.oapen.org/bitstream/handle/20.500.12657/29700/1000245.pdf?sequence=1#page=17

Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2001. Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Diakses dari: https://peraturan.bpk.go.id

Walikota Cimahi Atty Suharti Tochija dan suami ditangkap KPK. (2016, Desember 2). Liputan1.com. Diakses dari https://www.liputan1.com/

Wilhelmus, O. R. (2017). Korupsi: Teori, faktor penyebab, dampak, dan penanganannya. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik17(9), 26-42.

6 Dinasti Politik dalam Pusaran Korupsi, Suami-Isti Hingga Anak-Orang Tua Bersekongkol (2018, Maret 2). Kompas.com. Diakses dari https://www.nasional.kompas.com/