ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 4 Feb 2022
Masa Depan Bumi Indonesia: Tanggung Jawab Siapa?
Oleh:
Florence Yulisinta
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Banyak pemimpin internasional melihat potensi ancaman selain Covid-19. Dampak perubahan iklim dianggap lebih buruk daripada kematian dan keruntuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Pada tahun 2050 populasi dunia akan mencapai 10 miliar orang. Laju pertumbuhan populasi ini memicu munculnya serangkaian masalah lingkungan yang serius seiring meningkatnya kebutuhan manusia dalam memenuhi kebutuhannya (Brown, 2001).
Perubahan iklim masih menjadi perhatian serius di Indonesia pada tahun 2022 dan mengancam ketahanan pangan dan perikanan Indonesia. Kekeringan telah merusak puluhan hektare sawah di Riau dan merusak hasil panen. Selain itu, perubahan iklim mengubah arus laut dan berkontribusi terhadap pengasaman laut, menurunkan panen perikanan. Cuaca yang tidak menentu menyebabkan nelayan di Jawa Timur tidak bisa melaut sehingga mempengaruhi pendapatan hariannya. Perubahan iklim juga berakibat pada cuaca ekstrim serta bencana alam. Indonesiasebagai negara kepulauan memiliki risiko cukup tinggi terhadap bencana alam. Sebagian besar bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, cuaca ekstrem, kekeringan, el nino, la nina, serta kebakaran hutan dan lahan). Fenomena ini telah terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Jika tidak segera ditangani dengan serius, perubahan iklim tidak hanya akan menenggelamkan Jakarta dan pantai utara Jawa, tetapi juga puluhan juta penduduk yang tinggal di pesisir Indonesia (Dampak dan Fenomena Perubahan Iklim, n.d.; Jati, 2021).
Masalah kesehatan terkait perubahan iklim juga perlu dikhawatirkan. Antara tahun 2030-2050, diperkirakan jumlah kematian per tahun akan meningkat ¼ juta orang karena masalah kesehatan seperti kelaparan, malaria, dan stres yang disebabkan oleh gelombang panas, meningkatkan risiko alergi dan penyakit jantung (Dampak dan Fenomena Perubahan Iklim, n.d.; Jati, 2021). Oleh karena itu, masalah perubahan iklim merupakan hal yang paling membahayakan dan berdampak jangka panjang bagi keberlangsungan hidup manusia Indonesia.
Penyebab Perubahan Iklim
Meski faktor manusia semakin diakui sebagai penyumbang terbesar pemanasan global, kontroversi seputar penyebab perubahan iklim semakin meluas. Masalah perubahan iklim terjadi sebagai bentuk akumulasi dari perilaku individu, pemerintah, dan pelaku industri berupa penebangan dan pembakaran hutan, penggunaan bahan bakar fosil, pencemaran laut, industri pertanian, perkebunan, dan peternakan, sampah yang menumpuk dan tidak terpilah di tempat pemrosesan akhir (Utami, n.d.).
Meningkatnya partisipasi industri untuk meningkatkan ekonomi berkontribusi pada peningkatan pencemaran lingkungan. Pabrik menjadi penyebab utama meningkatnya polusi akibat emisi yang merusak dan berbahaya bagi kesehatan. Kebijakan dan sistem hukum di Indonesia juga seringkali tidak ramah lingkungan, walaupun pemerintah sudah mulai menggalakkan istilah ekonomi hijau, dampaknya belum begitu dirasakan oleh masyarakat. Komunitas termiskin rentan terhadap dampak perubahan iklim. Buruh tani, suku asli, dan penduduk pesisir termasuk di antaranya. Masyarakat adat terusir dari ekosistem alam tempat tinggalnya karena dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit ataupun villa, masyarakat pesisir terusir atau terkena dampak banjir akibat reklamasi.
Kekeringan dan banjir adalah efek jangka panjang dari perubahan iklim. Di Indonesia, banjir dihasilkan oleh ketidakseimbangan alam atau antropogenik. Meningkatnya bencana banjir secara langsung terkait dengan kecenderungan deforestasi untuk menghasilkan lebih banyak lahan bagi manusia dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini adalah penyebab utama perubahan iklim. Banyak bencana di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia misalnya, deforestasi yang menyebabkan berkurangnya zona resapan, pendangkalan daerah aliran sungai (DAS), dan pembuangan sampah dan limbah ke sungai (Amindoni & Adzkia, 2021). Gaya hidup konsumerisme juga menyumbangkan munculnya efek rumah kaca akibat penggunaan transportasi, pendingin ruangan, kulkas, dan pembukaan area-area wisata untuk rekreasi tanpa memperhatikan keseimbangan alam. Hal ini akan membawa lebih banyak bencana dan dampak negatif lainnya bagi lingkungan.
Solusi Perubahan Iklim
Untuk memerangi perubahan iklim, pemerintah harus mengembangkan kebijakan yang mengurangi emisi karbon dan membawa negara ke netralitas karbon pada tahun 2050. Pemerintah harus memberi contoh dan mendorong perilaku yang mencakup penggunaan panel surya untuk mengurangi penggunaan dan pengeluaran listrik, serta penggunaan sumber energi ramah lingkungan yang tidak menghasilkan emisi berbahaya. Bagi pabrik atau perusahaan, dapat memberlakukan standar emisi yang tinggi pada kendaraan bermotor, mempromosikan penggunaan energi terbarukan, melakukan inisiatif penanaman pohon untuk memulihkan kawasan hutan, menerapkan konsep konstruksi hijau, dan mengembangkan program pendidikan serta kurikulum sekolah berbasis ekologi.
Kebijakan untuk menghadapi ancaman perubahan iklim ini harus melibatkan peran aktif masyarakat yang memiliki dampak nyata melalui perilaku. Perilaku menjadi sumber utama dalam memahami sejauh mana suatu aturan, teknologi atau sistem dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus membantu mendidik dan mengadvokasi masyarakat tentang cuaca, iklim, gempa bumi, dan tsunami, serta dampak dari potensi dan upaya mitigasi yang dapat dilakukan dengan cara yang cepat dan tepat.
Perilaku manusia mendasari hampir semua masalah lingkungan. Perilaku ramah lingkungan tidak dapat terbentuk hanya sekedar dengan memberikan pengetahuan mengenai isu-isu saja. Perilaku ini juga dipengaruhi oleh faktor nilai-nilai, sikap, norma pribadi dan sosial, motivasi ekstrinsik, usia, jenis kelamin, ras, status sosial ekonomi, agama, dan wilayah geografis (Effendi et al., 2020). Manusia lebih cenderung untuk mengubah perilaku mereka ketika mereka memiliki hubungan emosional dengan masalah dan merasa penting untuk segera ditangani. Psikologi Perilaku Berkelanjutan berusaha untuk mengembangkan cara untuk mengubah perilaku secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang (Scott et al., 2015).
Perilaku ekologis berawal dari kesadaran ekologis dan keterampilan praktis dasar pengelolaan alam. Dibutuhkan budaya ekologis untuk mengajari manusia bagaimana menerapkan pengetahuan dan keterampilan lingkungan mereka dalam situasi dunia nyata. Kesadaran dan perilaku ekologis dapat dibentuk melalui politik, ekonomi, pendidikan, televisi, dan sistem sosial lainnya. Pendidikan adalah salah satu bidang terpenting. Kemampuan untuk memahami, mengalami, berpikir dan bertindak seharusnya terjadi pada proksimal proses yang terjadi di lingkungan mikro melalui pendidikan di rumah dan sekolah (Miroshkin et al., 2019).
Kesimpulan
Perubahan iklim berdampak pada hampir semua elemen kehidupan, termasuk kesehatan dan mata pencaharian. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak mungkin berhasil kecuali komponen sosial dan budaya dimasukkan secara terintegrasi ke dalam diskusi dan implementasi kebijakan. Penanganan ancaman perubahan iklim terhadap kelangsungan hidup manusia membutuhkan sinergi dari semua pihak dan lapisan masyarakat. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus terus mendidik masyarakat tentang nilai perilaku ramah lingkungan. Kebijakan harus didasarkan pada keadilan lingkungan, dengan fokus pada "memulihkan keseimbangan alam". Manusia sebagai makhluk yang berakal budi, bermoral, dan beriman, harus menemukan keautentikan hidupnya dengan mengembangkan kesadaran akan tugasnya dalam memelihara dan mengelola lingkungan, bukan menguasai apalagi mengeksploitasinya secara berlebihan.
Referensi:
Amindoni, A., & Adzkia, A. (2021, Februari 11). Banjir dan bencana beruntun di tengah cuaca ekstrem: Menurut pemerintah itu anomali cuaca, kami menyebutnya krisis iklim. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56007558
Brown, D. A. (2001). The ethical dimensions of global environmental issues. https://www.amacad.org/publication/ethical-dimensions-global-environmental-issues
Dampak dan Fenomena Perubahan Iklim. (n.d.). Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diambil 4 Januari 2022, dari http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/info-iklim/dampak-fenomena-perubahan-iklim
Effendi, M. I., Sugandini, D., Sukarno, A., Kundarto, M., Arundati, R., & Berliana, N. (2020). Perilaku pro-lingkungan pada mahasiswa. Zahir Publishing.
Jati, G. (2021, November 3). Laporan climate transparency 2021: Dampak perubahan iklim nyata, indonesia perlu tingkatkan aksi iklimnya. Institute for Essential Services Reform. https://iesr.or.id/laporan-climate-transparency-2021-dampak-perubahan-iklim-nyata-indonesia-perlu-tingkatkan-aksi-iklimnya
Miroshkin, D. V., Grinenko, A. V., Tkhugo, M. M., Mizonova, O. V., Kochetkov, I. G., Kazakova, S. N., & Miloradova, N. G. (2019). Psychology of ecological consciousness. Ekoloji, 28(107), 593–599.
Paus Fransiskus. (2016). Ensiklik Laudato Si’: Tentang perawatan pumah kita bersama. Penerjemah: P. Martin Harun OFM. Penerbit Obor.
Scott, B. A., Amel, E. L., Koger, S. M., & Manning, C. M. (2015). Psychology for sustainability: 4th edition. Taylor and Francis.
Utami, S. F. (n.d.). Yang perlu kamu ketahui mengenai climate change. Diambil 4 Januari 2022, dari https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/yang-perlu-diketahui-mengenai-climate-change/