ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 17 Sep 2021
Apakah Persamaan Anak-Anak Destrarastra Dengan Anak-Anak Pandu?
Oleh:
Eko A Meinarno1 & Krishervina Rani Lidiawati2
1Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
2 Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Pengantar
Kisah Mahabharata menceritakan terdapat dua keluarga yang berseteru padahal masih sepupu, yakni keluarga Kurawa dan Pandawa. Anak-anak Kurawa ini berasal dari ayah Destrarastra dan ibu Gandari, sementara anak-anak Pandawa berasal dari ayah Pandu dan Ibu Kunti dan Ibu Madrim (Pandu melakukan poligini). Perang Bharatayudha, merupakan perseteruan antarsaudara ini dimenangkan oleh Pandawa. Hal yang menarik adalah pada kubu Kurawa, justru semua guru dan ahli perang berkumpul, sementara Pandawa relatif sendiri. Lalu, apa yang dapat kita pelajari?
Mari kita lihat sekilas dari kisahnya, para Kurawa dikisahkan sebagai anak-anak yang dikatakan sebagai berperangai dan berwatak buruk. Sebaliknya anak-anak Pandawa berperangai dan berwatak baik. Kurawa keturunan manusia, di pihak lain Pandawa adalah keturunan dewa (Pendit, 2003). Dengan asumsi bahwa dewa lebih superior dari manusia maka wajar jika kemudian keturunan Pandawa ini lebih baik dari Kurawa. Namun apakah dalam perkembangan belajarnya mereka berbeda?
Sebagai anak dari keraton Astina maka tidak heran jika anak-anak dari kedua keluarga ini mengalami pendidikan yang dapat dikatakan setara. Mereka dididik oleh guru-guru yang handal. Dalam catatan diketahui bahwa guru mereka diantaranya adalah Resi Krepa, Guru Durno, dan Raja Balarama. Tentu kita tidak bisa membayangkan suasana belajar yang terjadi, apakah di kelas atau di alam terbuka. Dalam beberapa adegan wayang atau film diceritakan bahwa untuk belajar panah maka dilakukan di alam terbuka, dan untuk praktikum strategi perang maka anak-anak ini belajar dengan cara menyerang negara Pancala (mungkin mirip dengan experiential learning). Hal yang dapat kita simpulkan bahwa anak-anak ini mendapat fasilitas yang memadai untuk ukuran siswa kerajaan.
Guru-guru mereka dan cara belajar mereka dapat dikategorikan sebagai hal yang selaras dengan cara belajar yang ideal. Dalam konteks posisi sosial juga setara. Lantas bagaimana para guru membangun kemampuan dari para siswa ini? Penulis menduga beberapa hal atas kejadian ini. Pertama, para guru (Krepa, Durno, dan Balarama) sadar bahwa tahapan perkembangan anak-anak ini sama. Kedua kelompok anak-anak ini dalam usia yang sama saat belajar dengan Guru Durno, dalam psikologi, anak-anak ini dalam satu rentang waktu usia. Dampak dari hal yang pertama, maka para guru memosisikan capaian belajarnya pada tingkat yang sama. Para guru tidak memperhatikan asal-muasal keturunan anak-anak tadi (hanya Raja Balarama yang mempunyai tali saudara dengan anak-anak ini, sementara Resi Krepa dan Guru Durno adalah orang lain).
Merujuk dua hal tadi, maka tidaklah mengherankan jika metode belajarnya juga disetarakan. Anak-anak ini belajar memanah (di hutan) di alam terbuka. Anak-anak ini belajar menggunakan gada di ruang terbuka. Sampai mereka belajar menyerang Pancala. Hal-hal tadi secara fisik adalah olah tubuh, tapi kita bisa paham bahwa memanah butuh fokus yang tinggi, memainkan gada perlu observasi dan taktik, bahkan untuk perang membutuhkan nalar strategi. Di sinilah yang menjadi pokok pembicaraan mengapa para guru ini berani lakukan hal itu pada kedua kelompok anak-anak ini.
Kompetensi yang Dibangun
Apa yang dilakukan oleh para guru tadi secara prinsip tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh para dosen sekarang. Para dosen menghadapi mahasiswa yang secara fisik (biologis) adalah sama setidaknya untuk ukuran usia. Manusia dalam rentang usia yang sama maka perkiraan kemampuan kognitifnya secara umum juga sama (lihat teori perkembangan Piaget). Pengetahuan-pengetahuan dasar mahasiswa juga telah kita ketahui secara umum (setidaknya semua mahasiswa adalah lulusan pendidikan SMA/setara). Umumnya usia mahasiswa sarjana adalah sekitar 17-19 tahun, atau di tingkat doktoral berkisar 30-40 tahun. Dalam tahapan perkembangan kognitif telah memasuki tahap perkembangan kognitif operasional formal yang mampu berpikir abstrak, logis dan mampu melakukan analisis yang baik (Papalia & Martorell, 2015).
Berdasarkan beberapa latar tadi, para dosen sebagaimana para guru Astina menentukan capaian pembelajaran mahasiswanya. Walau tidak detail, metode ajar yang dilakukan para guru tadi tidak semata mengingat dan memahami. Kita mendapat kesan bahwa para siswa diajak untuk dapat menganalisis situasi, mengevaluasi, dan bahkan menciptakan situasi yang tepat dalam situasi perang. Dalam tingkatan taksonomi Bloom kemampuan menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6) dikategorikan sebagai higher order thinking (HOT) (Brookhart, 2010; McKeachie, & Svinicki, 2013).
Beranikah Kita Menyusun Capaian Pembelajaran seperti Para Guru Astina?
Penyusunan capaian pembelajaran ini kerap dikenal dengan penyusunan kompetensi, yang dalam bahasa rencana pengajaran semester (RPS) kita kenal sebagai CP (capaian pembelajaran). Capaian pembelajaran adalah kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan sikap, keterampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja (Marhaebi, Dantes, & Astawa, 2018). Fungsi CP ini menjadi fondasi dari semua perkuliahan yang para dosen bangun, mulai dari tingkat sarjana hingga doktoral.
Dalam setiap kuliah yang kita rancang, CP ini harus ada. Timbul pertanyaan, apa kegunaan HOT dalam merancang CP kuliah kita? Kegunaanya jelas yakni membawa mahasiswa untuk berkembang sesuai dengan dasar kemampuan dan daya perkembangannya. Mengapa mesti HOT? Kategori HOT ini mengajak mahasiswa untuk lebih terbuka pada banyak hal, rasa ingin tahu yang lebih, dan peluang membuka wawasan baru yang luas, termasuk mengintegrasikan pengetahuan lama dan baru, bahkan melampaui apa yang diajarkan di ruang kelas (Brookhart, 2010).
HOT atau kemampuan berpikir tingkat tinggi mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis. Pada level mahasiswa bukan lagi hanya menghafal namun soal-soal dibuat lebih sulit dan membutuhkan daya nalar tinggi sehingga mereka dapat berpikir secara logis, rasional dan matang. Berpikir kritis mencakup kemampuan individu untuk mampu membuat asumsi ilmiah atau dugaan sementara, melakukan evaluasi terhadap argumen yang di bangun dan kemudian mampu mengambil kesimpulan (Boa, Wattanatorn, & Tagong, 2018). Oleh karena itu, tugas-tugas pada mahasiswa seharusnya mendorong mereka mampu melakukan penelitian ilmiah dan membuat projek berdasarkan asumsi yang dibangun dari teori yang telah dipelajari.
Selain itu, kemampuan berpikir tingkat tinggi mendorong mahasiswa di perguruan tinggi untuk terbiasa melakukan pemecahan masalah dan menemukan solusi yang tepat. Dari kemampuannya untuk memahami pengetahuan dan berusaha untuk mengemukakan argumen maka diharapkan ada pengetahuan baru yang dibentuk sebagai solusi dari permasalahan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah merupakan soft skill yang harus dimiliki pada peserta didik di ranah perguruan tinggi sehingga pendidikan di Indonesia dapat lebih berkembang dan dapat bersaing dengan negara-negara maju lainnya. HOT sudah semestinya mendorong mahasiswa untuk mampu berpikir kritis, memecahkan masalah. dalam pemecahan masalah dan menemukan solusi yang tepat.
Kompetensi Pendukung
Agar CP tercapai, perlu adanya dukungan lain. Saat ini dukungan utama adalah keterampilan keterampilan ICT (information and communication technology). Berbagai informasi termasuk artikel jurnal nasional dan internasional, aplikasi-aplikasi pendukung keterampilan belajar juga lebih mudah diakses. Internet membuka wawasan baru yang menstimuli kemampuan pikir (Ladbrook & Parr, 2015). Bisa dibayangkan betapa para guru Astina jika hidup di era internet ini, maka para Kurawa dan Pandawa akan lebih hebat lagi dalam proses belajarnya.
Penutup
Para perancang RPS yakni dosen harus merasa yakin bahwa mahasiswa pada dasarnya mampu untuk mencapai kemampuan berpikir tingkat tinggi/HOT. Sebagaimana para guru Astina mengajar Pandawa dan Kurawa dengan pemikiran bahwa keduanya berlatar tahapan perkembangan psikologis yang sama. Mereka dididik dengan capaian kompetensi yang sama. Setidaknya para guru Astina paham bahwa siswanya telah dapat membangun hipotesis/asumsi yang relevan dengan masalah, sejalan dengan taksonomi Bloom yakni menganalisis (C4) (Meinarno, 2017).
Hal yang sama juga terjadi pada mahasiswa (sarjana hingga doktoral), peserta didik yang harus dipersiapkan, didorong dan diperlengkapi dengan kompetensi untuk menghadapi dunia kerja dan menghasilkan karya-karya baru yang berguna untuk masyarakat serta solusi dari masalah riil di lapangan. Inilah ciri dari perguruan tinggi yang akan membedakannya dengan pendidikan dasar dan menengah (Meinarno, 2017). Siapkah para dosen menjadi Guru-guru Astina?
Referensi:
Anderson, L.W., & Krathwohl (Eds.). (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.
Brookhart, SM. (2010). How to assess higher-order thinking skills in your classroom. ASCD. Virginia.
Boa, E. A., Wattanatorn, A., & Tagong, K. (2018). The development and validation of the Blended Socratic Method of Teaching (BSMT): An instructional model to enhance critical thinking skills of undergraduate business students. Kasetsart Journal of Social Sciences, Advance online publication. doi: 10.1016/j.kjss.2018.01.001
Ladbrook & Parr, (2015). Designing Student Learning for a Networked World. Dalam Motivation, Leadership and Curriculum Design: Engaging the Net Generation and 21st Century Learners. Penyunting Caroline Koh. Springer.
McKeachie, W., & Svinicki, M. (2013). McKeachie's teaching tips. Cengage Learning.
Meinarno, EA 2017. Perubahan Cara Belajar: Intervensi Perilaku Belajar Mahasiswa Baru. Vol.3. No.6, Juni 2017. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/177-perubahan-cara-belajar-intervensi-perilaku-belajar-mahasiswa-baru.
Papalia, D. E., & Martorell, G. (2015). Experience Human Development. New York: McGraw-Hill.
Pendit, S. N. (2003). Mahabharata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Marhaebi, AAIN., Dantes, N., Astawa, IBM. (2018). Bahan Ajar Pekerti (Pelatihan Keterampilan dasar Teknik Instruksional). Rajawali Pers. Jakarta.