ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 15 Ags 2021

Broken Home Bukan Akhir Segalanya

 

Oleh:

Aditya Warman, Vania Linggawati, dan Laila Meiliyandrie Indah Wardani

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Manusia merupakan makhluk sosial, makhluk yang selalu membutuhkan makhluk lain untuk hidup, tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Keluarga merupakan lingkup terkecil dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Dan setiap orang menginginkan terlahir dalam keluarga yang hangat juga harmonis, tetapi sayangnya setiap individu manusia tidak memiliki hak memilih oleh siapa ia dilahirkan atau di keluarga mana kita pelihara. Kehidupan di dalam keluarga tidak lepas dari gangguan dan cobaan yang dapat menyebabkan keretakan dalam berumah tangga. Keretakan dalam hubungan rumah tangga memiliki potensi membuat keluarga menjadi broken home. Keadaan keluarga yang broken home dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang (Aris, Santi, & Sheila, 2020).

 

Fungsi keluarga

Keluarga merupakan titik awal kehidupan seorang anak, merupakan tempat pertama anak belajar tentang dunia, belajar tentang nilai nilai kehidupan, sumber kehangatan yang penuh dengan kasih sayang. Keluarga memiliki fungsi utama dalam memelihara secara harmonis dan keluarga merupakan kelompok kecil yang terstruktur menurut Reiss (2000) dan Lestari (2012) dalam artikel Psychological Well Being in Broken Family.Sehingga tidak hanya materi yang penting untuk seseorang dalam keluarga melainkan kasih sayang yang menopang kesejahteraan psikologis seseorang. Bagaimana mengetahui fungsi keluarga telah berada di kondisi yang baik? Melihat dari pendapat Willis tahun 2017, keluarga yang bahagia akan terbentuk dengan terciptanya suasana antar anggota keluarga yang saling menghormati, saling menerima, menghargai, mempercayai satu dan yang lain, dan mencintai, ini adalah bentuk keharmonisan keluarga, serta ketika tiap anggota dapat menjalankan perannya masing-masing dengan penuh kematangan sikap, serta dapat tercipta kepuasan batin dengan tujuan.

 

Jadi fungsi dari keluarga itu sendiri sangat penting dalam kehidupan seseorang, sehingga apabila fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik, akan berdampak besar bagi tiap-tiap pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Salah satu yang memberikan dampak besar pada anggota keluarga ketika terjadi keretakan dalam rumah, pada umum yang terjadi kita mengenalnya sebagai broken home. Memiliki arti dimana keadaan keluarga yang telah atau sedang mengalami krisis rumah tangga di dalamnya hingga membuat retak struktur di dalam keluarga. Dan juga broken home tidak hanya memiliki makna atau berhubungan dengan perpisahan antar kedua orang tua, namun juga mengenai ketidak seimbangan antar peran individu dalam keluarga, berkurangnya salah satu dari fungsi keluarga juga bisa dikatakan broken home menurut Ifdil, Indah, & Viqri, pada tahun 2020. Menjadi individu dari keluarga yang broken home pasti tidaklah mudah karena individu akan berada pada kondisi yang penuh dengan tekanan, keharusan untuk mampu beradaptasi atas perubahan perubahan yang terjadi dari lingkungan rumah maupun lingkungan sekitar. Mengapa hal ini bisa terbawa hingga anak mencapai dewasa? 

 

Dikemukakan oleh Dhara dan Jogsan (2013) melalui hasil penelitiannya, keluarga yang telah memiliki kategori broken home setiap anak-anaknya menyatakan adanya penilaian terhadap diri sebagai korban serta persepsi yang tidak akan menggapai kebahagiaan dalam kehidupan. Serta melihat dari penjelasan Santrock (2014), dampak utama yang selalu melekat hingga manusia mencapai usia dewasa awal dari keluarga yang broken home terletak pada psikologis individu. Memiliki dampak yang berkepanjangan, dapat dipastikan seseorang yang memiliki pengalaman broken home memerlukan bimbingan untuk mencapai well-being dalam hidupnya. 

 

Broken Home? Kamu tetap bisa dan berhak merasakan bahagia!

Ketika seseorang memiliki peristiwa broken home pada hidupnya, tidak akan mudah baginya untuk merubah persepsi bahwa mereka tidak akan mencapai bahagia. Karena pada hakikatnya Sobur tahun 1991 menyatakan bahwa keluarga adalah tempat paling pertama untuk anak-anak dalam memperoleh pembinaan mental dan pembentukan kepribadian. Pertanyaan yang kemudian akan muncul, bagaimana seorang yang mengalami peristiwa broken home dapat menjadi atau memiliki well-being dalam hidupnya?

 

Kesejahteraan psikologis atau Psychological well-being sendiri adalah suatu kondisi psikologis positif yang ada pada diri individu dimana memiliki tanda yaitu ketika seseorang dapat menerima dirinya sendiri dengan apa adanya berdasarkan kelebihan dan juga kekurangan yang dimiliki, berkapasitas dalam menciptakan suatu hubungan yang harmonis serta positif dengan setiap individu lain, mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki orientasi kehidupan, dan berhasil melalui tahapan - tahapan perkembangan dalam hidup individu tersebut serta merealisasikan segala tuntutan perkembangan (Ifdil, Indah, & Viqri, 2020). Kesejahteraan psikologis atau Psychological Well-Being dapat tercipta tidak hanya untuk individu yang terlahir dan bertumbuh dari keluarga yang baik baik saja tetapi individu dari keluarga yang broken home. Ryff (1989),  berpendapat yaitu Psychological well-being memiliki enam dimensi, dan ketika keseluruhan dari keenam dimensi terpenuhi maka tiap individu manusia dapat memiliki tingkat psychological well-being yang baik. Berikut ini ke enam aspek, yaitu: 

 

1. Penerimaan diri atau dikenal sebagai Self-acceptance, memiliki tanda sikap yang positif terhadap diri sendiri, yaitu memahami pribadi diri, pengakuan terhadap diri sendiri, mengenali dan menerima diri ini termasuk kekuatan dan kelemahannya. 

 

2. Hubungan baik dengan orang lain dalam bahasa inggris Positive relations with other, adanya hubungan yang hangat atau erat, memuaskan, memiliki saling percaya antar individu, memiliki empati terhadap individu lain, kasih sayang yang kuat dan juga bisa memahami dan menerima kedekatan dengan individu lainnya merupakan tanda yang cukup terlihat untuk aspek ini. 

 

3. Autonomy, menggambarkan individu yang dapat mengatur perilaku dengan baik, mandiri, dan dapat mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadinya merupakan ciri dari aspek ini.

 

4. Memahami lingkungan atau dikenal juga Environmental mastery, saat individu saling menaruh rasa memahami yang baik serta kapabilitas dalam mengelola lingkungan, dan mampu memanfaatkan peluang di sekitar maka kita dapat mengatakan bahwa individu memiliki aspek ini. 

 

5. Tujuan hidup atau Purpose in life, memiliki arah hidup yang terperinci dan jelas, merasa memiliki kontrol pada jalan kehidupannya, dan memiliki keyakinan yang tinggi terhadap tujuan hidupnya, merupakan ciri aspek yang akan terlihat pada manusia yang sudah menguasai psychological well-being yang baik.

 

6. Pengembangan diri dalam bahasa inggris dikenal dengan Personal growth, individu yang mempunyai perasaan untuk terus berkembang, juga terbuka pada pengalaman- pengalaman baru, serta menyadari akan potensi yang dimiliki.

 

Berdasarkan dengan ke enam aspek dan penjelasannya masing-masing kita telah mengetahui bahwa dalam mencapai psychological well-being setiap individu yang terbentuk dari suatu keluarga yang broken home memiliki tanda yaitu berfungsinya keseluruhan aspek psikologis positif dalam psychological well-being. Menurut hasil penelitian (Aris, Santi, & Sheila, 2020) menunjukan bahwa kesejahteraan psikologis pada anak dengan keluarga broken home tetap didapat baik karena faktor internal seperti penerimaan pribadi diri, tujuan hidup pada individu, kemandirian individu, dan memiliki pertumbuhan secara personal dapat membantu kesejahteraan individu tersebut. Tidak hanya faktor internal tetapi faktor eksternal juga seperti interaksi positif dengan individu lain mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu itu sendiri. Jadi walaupun terlahir dalam keluarga broken home kita tetap dapat mencapai kebahagiaan versi diri kita sendiri dengan mengembangkan Psychological well-being untuk membantu menghadapi tekanan dan juga permasalahan kehidupan yang akan kita hadapi di kemudian hari. 

 

Referensi:

 

Aris, M., Santi, E. P., & Sheila, V. P. (2020). Psychological well-being pada keluarga broken homeJurnal Ilmiah Psikologi, 22(1), 46 – 52.

 

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological well being. Journal of Personality and Social Psychologi, 57, 1069–1081.

 

Ifdil, Indah, P. S., & Viqri, N. P.  (2020). Psychological well-being remaja dari keluarga broken home.Indonesian Journal of School Counseling, 5(1), 35 – 44.