ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 17 September 2020
Stockholm Syndrome: Ketika Seseorang Bertahan dalam Hubungan yang Penuh dengan Kekerasan
Oleh
Dewi Syukriah
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I
Suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan seharusnya diwarnai dengan adanya tenggang rasa, saling menghormati, saling menyayangi dan mencintai di antara kedua insan tersebut. Ketika hubungan tersebut berkembang menjadi lebih intim, kita meyebutnya dengan istilah Pacaran. Pacaran adalah suatu kata yang mendeskripsikan proses pembentukan relasi yang intim. Rasa kepemilikan terhadap pasangan pada masa pacaran ini adalah hal yang penting, karena dengan memiliki pasangan yang dimulai dengan proses pacaran maka individu akan mulai berkomitmen ke dalam suatu pernikahan, membentuk keluarga, dan bertanggung jawab atas kehidupannya kelak beserta keluarga. Sebagian orang beranggapan bahwa dalam hubungan pacaran tidak mungkin terjadi kasus kekerasan, karena pada masa pacaran selalu diwarnai dengan hal-hal yang romantis dan menyenangkan. Namun pada beberapa pasangan tidak mengalami hubungan cinta yang manis dan romantis seperti yang digambarkan dalam film, novel, roman, ataupun serial televisi. Kekerasan dalam pacaran rentan terjadi dan akan terus berlanjut hingga pernikahan jika hal tersebut tidak disadari dan tidak ditangani lebih awal. (Maschhoff, 2009).
Pada umumnya sudah bukan rahasia lagi bila cinta memang bisa membutakan semuanya. Bahkan segala hal yang sifatnya salah dan fatal dampaknya bisa dibenarkan atau dimaklumi kalau memakai alasan karena cinta. Hal inilah yang tanpa disadari memicu kekerasan dalam sebuah hubungan, yang sayangnya sering tidak disadari oleh korban. Kekerasan dalam pacaran dapat terjadi setiap saat, bisa disadari secara langsung oleh korban, maupun tidak disadari secara langsung. Hal yang disadari adalah dalam bentuk kekerasan fisik, sedangkan yang sering tidak disadari adalah dalam bentuk kekerasan psikis. Hanya saja, karena terlanjur cinta, seringnya korban tidak menyadari kekerasan yang sedang dilakukan oleh pelaku.
Kekerasan dalam pacaran didefinisikan sebagai perilaku yang bersifat mengancam dan menyiksa yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya dalam hubungan yang bersifat pacaran dan belum menikah (Meadows, 2005). Tindakan kekerasan secara fisik seperti memukul, menampar, menendang dan pukulan yang dapat menyebabkan luka ringan maupun parah yang dapat melukai pasangan, serta tindakan kekerasan secara psikis seperti mengancam, mengintimidasi, posesif serta memanipulasi korban yang dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan mental korbannya, seperti depresi, kecemasan dan psikosomatis (Coker dkk., 2002; Golding, 1999; Sutherland dkk., 2001; Whitson & El-Sheikh, 2003 dalam Kaura &Lohman, 2007)
Meskipun membawa dampak negatif bagi kondisi fisik dan psikis korban, sebagian korban kekerasan dalam pacaran justru memilih untuk bertahan dengan pelaku kekerasan atau bahkan terus kembali dan kembali kepada pasangannya. Sebanyak 40% sampai 70% wanita yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran mempertahankan atau kembali ke dalam hubungan tersebut selama kurun waktu tertentu (Ben-Porat & Itzhaky, 2008; Davanhana-Maselesele, dkk., 2009; Horwitz & Skiff, 2007 dalam Duley, 2012).
Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Secara logika, ketika seorang individu dilukai oleh orang lain, maka individu tersebut akan berusaha menjauh atau melarikan diri dari pelaku kekerasan. Namun hal ini tidak berlaku bagi beberapa individu yang mengalami kekerasan dalam hubungan pacaran. Banyak teori yang digunakan untuk memahami secara psikologis mengapa wanita memilih bertahan dalam hubungan yang penuh dengan kekerasan, salah satunya adalah teori Stockholm Syndrome milik Graham, dkk (1995). Stockholm Syndrome adalah suatu kondisi paradoks psikologis dimana timbul ikatan yang kuat antara korban terhadap pelaku kekerasan. Ikatan ini meliputi rasa cinta korban terhadap pelaku, melindungi pelaku yang telah menganiayanya, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan, menyangkal atau meminimalisir kekerasan yang terjadi (Graham, dkk., 1995).
Stockholm Syndrome pada awalnya digunakan untuk menjelaskan suatu ikatan psikologis antara sandera dengan pelaku penyanderaan, penculikan, atau kondisi yang serupa dimana ada satu individu yang memiliki kekuatan dominan untuk membahayakan hidup korbannya (De Fabrique, dkk., 2007). Seperti kisah dalam film atau novel, ketika korban sandera jatuh cinta dengan pelaku penyanderaan dan akhirnya mereka saling jatuh cinta. Istilah Stockholm Syndrome sendiri dinamai berdasarkan kejadian perampokan Sveriges Kreditbank di Stockholm pada tahun 1973. Perampok bank tersebut, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson, memiliki senjata dan menyandera karyawan bank dari 23 Agustus sampai 28 Agustus pada tahun 1973.Ketika akhirnya korban dapat dibebaskan, reaksi para sandera malah memeluk dan mencium para perampok yang telah menyandera mereka. Mereka secara emosional menjadi menyayangi penyandera dan membela mereka. Sandera yang bernama Kristin bahkan jatuh cinta dengan salah seorang perampok dan membatalkan pertunangan dengan pacarnya setelah dibebaskan. Istilah Stockholm Syndrome pertama kali dicetuskan oleh kriminolog dan psikiater Nils Bejerot, yang membantu polisi saat perampokan tersebut terjadi (Wikipedia, 2020)
Namun seiring perkembangan studi, Stockholm Syndrome dapat ditemukan pula dalam hubungan relasi intim baik keluarga maupun hubungan romantis (Carver, 2009). Stockholm Syndrome melibatkan adanya sisi baik yang dimunculkan pelaku pada korbannya dan korban akan memiliki harapan bahwa pelaku akan merubah perilakunya dalam waktu yang akan dating yang kemudian memproduksi suatu ikatan yang tidak sehat dan menjadi alasan korban sulit melepaskan diri dari hubungan tersebut (Carver, 2009).
Mengapa korban memilih untuk tetap bertahan terhadap pelaku kekerasan? Dalam keadaan yang bersifat traumatis seperti penculikan atau kekerasan fisik, korban tentu akan mengalami tindakan kekerasan; baik fisik psikis, seksual, dan/atau verbal yang akan membuatnya sulit untuk berpikir dengan jernih. Ketika pelaku tiba-tiba menunjukkan kebaikan hatinya, maka korban akan mudah tersentuh dan akhirnya menjadi terikat secara emosional dengan pelaku., hal ini senada dengan teori dari Jackson (2007) yang menjelaskan terdapat empat kondisi dalam hubungan yang penuh kekerasan dan distorsi kognitif yang muncul pada diri korbannya untuk mengembangkan Stockholm syndrome. Kondisi pertama yaitu adanya ancaman terhadap keselamatan korban, baik secara fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh pelaku. Kondisi kedua yaitu pelaku mengancam korban untuk tidak melarikan diri atau pergi dari pelaku. Kondisi ketiga yaitu pelaku melarang korban untuk berhubungan dengan orang lain di sekitarnya. Kondisi keempat yaitu pelaku menunjukkan kebaikan-kebaikan pada korbannya dalam bentuk apapun. Akibat dari adanya perilaku yang berubah-ubah dari pelaku kekerasan, pada akhirnya korban merasa terbiasa terhadap perbuatan si pelaku dan terus berharap bahwa si pelaku suatu saat akan berubah menjadi lebih baik ke depannya.
Meskipun korban bisa saja memiliki bekas kekerasan fisik pada badannya atau bisa juga tidak menimbulkan bekas yang terlihat karena kekerasan psikis, bukan berarti kekerasan dalam berpacaran dapat ditolerir. Justru bisa jadi efek yang ditimbulkan lebih berbahaya karena berupa trauma dan jika dibiarkan, bisa juga berkembang ke kekerasan fisik dan psikis yang lebih berat lagi dengan efek yang lebih serius. Ketika korban merasa tidak bisa melepaskan dirinya dari pelaku, maka peran keluarga dan teman sangatlah penting untuk membantu korban lepas dari belenggu sang pelaku kekerasan dan disarankan juga ketika masih di tahap pacaran, kenali baik-baik pasangan kita sebelum melangkah ke tahap lebih lanjut, yaitu pernikahan. Jangan hanya karena mengaku cinta, lalu kita terima saja diperlakukan semena-mena oleh pasangan kita. Ingat ya, tidak ada hal positif ketika memulai suatu hubungan yang penuh dengan kekerasan fisik dan psikis dan ingatlah selalu bahwa kita sangat berharga, sehingga tidak seharusnya diperlakukan secara kasar oleh siapapun, bahkan oleh pasangan. Mulailah berpikir secara logis dalam menjalani suatu hubungan agar tetap sehat lahir dan batin.
Referensi:
Carver, J.M. (2009). Love and stockholm syndrome: The mystery of loving an abuser. Diakses pada 17 Agustus 2020 dari http://drjoecarver.makeswebsites.com/clients/49355/File/love_and_stockholm_syndrome.html.
De Fabrique, N.D., Romano, S.J., Vecchi, G.M., & Van Hasselt, V.B. (2007). Understanding stockholm syndrome. FBI Law Enforcement Bulletin, 76, 10-15.
Duley, L.A. (2012). A qualitative phenomenological study of the lived experiences of women remaining in abusive relationships. Doctoral Dissertation. Diakses pada 17 Agustus 2020 dari ttp://search.proquest.com.securelib.caribbean.edu:2048/docview/924411145/1395E677A6F378F8E2D/12?accountid=26694.
Graham, D.L.R., Rawlings, E.I., Ihms, K., Latimer, D., Foliano, J., Thompson, A., Hacker, R. (1995). A scale for identifying “Stockholm Syndrome” reactions in young dating women: Factor structure, reliability, and validity. Violence and Victims, 10(1), 3-22.
Jackson, N.A. (2007). Encyclopedia of domestic violence. USA: Taylor & Francis Group, LLC.
Kaura, S., & Lohman, B. (2007). Dating violence victimization, relationship satisfaction, mental health problems, and acceptability of violence: A comparison of men and women. Journal of Family Violence, 22, 367-381.
Maschhoff, J.A. (2009). Dating violence in the lives of college women and college men. (Doctoral Dissertation). Diakses pada 17 Agustus 2020 dari ttp://search.proquest.com.securelib.caribbean.edu:2048/docview/304900927/fulltextPDF/1395E5E0B4A31C682A2/7?accountid=26694.
Meadows, R.J. (2005). Understanding violence and victimization. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Wikipedia. (2020). Stockholm syndrome.