ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 42 September 2025

Mentally Tired at Work, Here’s Why!

 

Oleh:

Clara Theona Supriatna dan Laila Meiliyandrie Indah Wardani

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana

 

Rasa lelah atau kewalahan merupakan hal yang tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Hal ini mampu di alami oleh banyak orang, terutama ketika kita melakukan aktivitas yang menguras waktu, dan energi kita, seperti bekerja. Melakukan pekerjaan mampu membuat kita lelah namun, lelah yang akan kita bahas pada kali ini lebih merujuk kepada lelah secara mental. Terkadang sebagai pekerja, kita akan cepat sekali merasa lelah ketika kita dihadapkan dengan situasi yang tidak diinginkan.

 

Menurut Bakker & Demerouti (2007), kelelahan terjadi ketika tuntutan kerja melebihi sumber daya yang tersedia. Faktor-faktor seperti beban kerja berlebihan, kurangnya apresiasi yang diberikan atas kinerja yang telah disalurkan, keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi  yang buruk, kurangnya dukungan sosial, serta lingkungan kerja yang tidak sehat (Bakker, 2019). Dengan adanya faktor yang mendukung pekerja merasa tidak puas akan kehidupan kerja mereka, hal ini tentu dapat merugikan kedua pihak pekerja dan perusahaan. Tentu hal seperti ini perlu di jauhi, sebagian besar penelitian dan intervensi bertujuan untuk mendiagnosis dan meningkatkan kepuasan kerja dan pengalaman positif. Kesejahteraan juga sering dipahami sebagai pengurangan stres atau kemampuan untuk mengatasinya dengan lebih baik dan lebih efektif (Czerw, 2023).

 

Rasa lelah secara mental di tempat kerja sering kali disebabkan oleh adanya tekanan psikologis dan tuntutan pekerjaan yang berlebihan. Ketika karyawan terus menghadapi tenggat waktu, ekspektasi tinggi, dan kurangnya dukungan sosial, mereka rentan mengalami stres yang berkepanjangan. Pekerjaan yang kurang memberikan makna juga dapat mengurangi motivasi internal, dan hal ini menunjukkan memburuknya kesehatan mental dan fisik karyawan karena sebagian besar dari mereka harus menyeimbangkan antara kehidupan profesional dan pribadi (Mishra, 2022).

 

Jika kondisi ini berlanjut tanpa adanya intervensi, maka dapat berdampak pada menurunnya produktivitas dan kesejahteraan psikologis karyawan. Banyak pengusaha tidak menyadari manfaat dari perawatan kesehatan mental yang berkualitas dan seberapa besar kerugian yang dapat dialami organisasi secara tidak langsung akibat ketidakhadiran karyawan karena masalah psikologis (Langlieb, 2005).

 

Demi meningkatkan kesejahteraan karyawan pada ruang lingkup kerja, diperlukan suatu bentuk tindakan intervensi, didasari oleh teori yang mampu membantu perusahaan dalam memberikan arahan dalam melakukan intervensi pada karyawan mereka. Psikologi positif merupakan satu bentuk contoh pedoman yang mampu kita gunakan dalam perusahaan sebagai dasar untuk membangun serta meningkatkan kesejahteraan karyawan di dalam ruang lingkup kerja.

 

Psikologi positif dikemukakan oleh psikolog Amerika Martin Seligman, Beliau menganjurkan bahwa psikologi positif difokuskan pada potensi aktual, kekuatan konstruktif, dan kebajikan manusia. Ia menganjurkan penjelasan baru tentang fenomena psikologis manusia, yang dengan dakikian mampu merangsang kekuatan positif internal dan kualitas luar biasa manusia, dan dalam proses ini, ia berusaha membantu manusia untuk memaksimalkan potensi mereka sendiri dan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis (Niu, 2021).

 

Dengan teori psikologi positif, kita mampu memunculkan beberapa bentuk intervensi demi meningkatkan kesejahteraan karyawan dalam ruang lingkup kerja seperti, Program konseling, fleksibilitas kerja, dan latihan mindfulness terbukti membantu mengurangi stress (Seligman, 2011). Ada pula Job crafting, dimana karyawan diberikan kebebasan dalam mengatur ulang tugasnya, memperluas peran sosial, dan menemukan makna kerja yang lebih dalam (Galanakis, 2022).

           

Pada bidang kepemimpinan, organisasi mampu menggunakan metode positive leadership practices, dimana Pemimpin mampu mempraktikkan appreciative feedback, optimism-based communication, dan servant leadership (Gruman, 2022) (Mishra, 2022). Tidak hanya dari karyawan yang dimana organisasi perlu perhatikan demi meningkatkan kesejahteraan karyawan, namun lingkungan organisasi juga perlu ditingkatkan, salah satu caranya adalah merancang lingkungan kerja yang meminimalkan job demands yang berlebihan dan mengoptimalkan job resources, seperti dukungan sosial, kontrol kerja, dan peluang pengembangan (Galanakis, 2022) (Mishra, 2022).

 

Beberapa cara yang telah diberikan diatas mampu memberikan efek serta kemajuan terhadap kesejahteraan dan performa karyawan seperti peningkatan kesejahteraan psikologis karyawan. Lingkungan kerja yang mendukung perkembangan karyawan, mendukung karyawan merasakan emosi positif, menemukan makna dalam pekerjaan, serta mengalami pertumbuhan psikologis yang berkelanjutan (Mishra, 2022) (Czerw, 2023).  Hal ini menunjukkan pentingnya peran organisasi dalam pengembangan kesejahteraan karyawan serta dampaknya pada kemajuan organisasi.

 

Selain itu, psikologi positif berperan penting dalam menurunkan Burnout dan stres kerja. Dengan menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan sumber daya yang tersedia, organisasi dapat menciptakan sistem kerja yang tidak hanya produktif tetapi juga sehat secara psikologis (Galanakis, 2022). Hubungan  interpersonal dalam organisasi pun mengalami peningkatan melalui penguatan elemen kepercayaan antara atasan dan rekan kerja. Kepercayaan ini menciptakan rasa aman psikologis, dan memperkuat kerja sama tim, yang semuanya berkontribusi terhadap iklim organisasi yang lebih positif (Czerw, 2023).

 

Penerapan prinsip-prinsip psikologi positif juga berdampak pada peningkatan kinerja organisasi secara keseluruhan. Karyawan yang merasa sejahtera dan puas dalam pekerjaannya menunjukkan produktivitas lebih tinggi, loyalitas yang lebih kuat, serta tingkat absensi dan turnover yang lebih rendah (Mishra, 2022) (Gruman, 2022). Organisasi yang membangun kultur positif juga mendorong inovasi dan adaptabilitas, karena karyawan merasa lebih aman untuk menyampaikan ide dan mencoba hal baru tanpa takut akan penilaian negatif (Gruman, 2022) (Niu, 2021). Hal ini dikarenakan hubungan kerja yang baik mampu memperkuat dukungan sosial dan meningkatkan kesejahteraan (Fredrickson, 2001). Dengan demikian, pendekatan psikologi positif tidak hanya bermanfaat bagi karyawan secara individu, tetapi juga menjadi strategi efektif untuk mencapai tujuan organisasi jangka panjang.

 

Referensi:

Bakker, A. B. (2019). The Job Demands-Resources model: state of the art. Journal of Managerial Psychology, 309-328.

Czerw, A. (2023). Employee Well-being in the Perspective of Positive Psychology and of the Job Demands-Resources Theory. The Role of Trust Within the Organization . Preprints, 2-15.

Fredrickson. (2001). The role of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-build theory of positive emotions. APA PsycNet.

Galanakis, M. D. (2022). Positive Psychology in the Working Environment: Job Demands-Resources Model Perspective. Frontiers, 01-12.

Gruman, J. (2022). Positive psychology and human resource management: Building an HR architecture to support human flourishing. Human Resource Management Review.

Langlieb, A. M. (2005). How Much Does Quality Mental Health Care Profit Employers? Journal of occupational and environmental medicine, 1099.

Mishra, H. (2022). Psychological Well-being of Employees, its Precedents and Outcomes: A Literature Review and Proposed Framework. Sagepub, 2-36.

Niu, Y. (2021). Enlightenment of Positive Psychology on Human Resource Management. Universe Scientific Publishing, 212-217.

Seligman, M. E. (2011). Program konseling, fleksibilitas kerja, dan latihan mindfulness terbukti membantu mengurangi stres. New York: New York Free Press.