ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 35 Juni 2025
Ngeri-Ngeri Sedap: Ketika Film Menggambarkan Konflik Keluarga dan Benturan Budaya
Oleh:
Zaldhi Yusuf1 & Dina Syakina2
1Program Studi Karawitan, Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
2Program Studi Psikologi, Universitas Mercu Buana
Film bukan sekadar hiburan. Ia adalah cermin sosial, ruang dialog, dan medium refleksi atas dinamika psikologis maupun kultural masyarakat. Sejak lama, sinema di Indonesia kerap mengangkat kisah keluarga—karena keluarga adalah ruang paling dekat, tempat nilai ditanamkan, konflik terjadi, dan identitas dibentuk (Monaco, 2009; Hanan, 2017).
Salah satu film yang berhasil merekam kompleksitas ini adalah Ngeri-Ngeri Sedap (Rajagukguk, 2022). Film ini mengisahkan keluarga Batak yang dihadapkan pada benturan antara adat istiadat yang kuat dan nilai-nilai modern anak-anak mereka. Konflik dalam film ini terasa begitu dekat bagi banyak orang Indonesia, karena menggambarkan tarik-menarik antara tradisi dan modernitas, antara orang tua dan anak, antara kewajiban dan kebebasan pribadi.
Cerita di Balik Film
Keluarga Domu yang tinggal di Tanah Karo, Sumatera Utara, terdiri dari Pak Domu, Mak Domu, dan empat orang anak. Tiga anak laki-lakinya merantau ke kota, sementara putri bungsunya, Sarma, masih tinggal di rumah. Konflik memuncak ketika ketiga anak laki-laki menolak pulang kampung untuk menghadiri pesta adat. Merasa harga dirinya sebagai kepala keluarga tercoreng, Pak Domu dan istrinya berpura-pura bertengkar agar anak-anak pulang.
Namun begitu mereka kembali, konflik yang selama ini dipendam pun pecah. Anak-anak menuntut pengakuan atas pilihan hidup mereka, sementara sang ayah berpegang pada aturan adat yang tidak bisa diganggu gugat. Di balik adegan komedi, film ini menyajikan drama penuh emosi: dari luka lama, tekanan adat, hingga krisis identitas yang dihadapi generasi muda (Hanan, 2017; Napitupulu, 2021).
Keluarga dalam Bingkai Psikologi
Untuk memahami kedalaman film ini, kita bisa melihatnya lewat teori ekologi perkembangan dari Bronfenbrenner (1979, 2005). Teori ini menjelaskan bahwa perkembangan individu selalu dipengaruhi oleh berbagai “lingkaran” sistem: keluarga inti (mikrosistem), hubungan antar lingkungan (mesosistem), pengaruh sosial tidak langsung (eksosistem), nilai budaya (makrosistem), hingga dimensi waktu dan sejarah (kronosistem) (Papalia et al., 2021; Santrock, 2019).
Mari kita lihat bagaimana Ngeri-Ngeri Sedap memvisualisasikan setiap lapisan itu.
1. Mikrosistem: Rumah yang Penuh Ketegangan
Mikrosistem adalah lingkungan terdekat, seperti keluarga. Dalam film ini, relasi antara Pak Domu dan anak-anaknya penuh dengan ketegangan emosional. Pak Domu digambarkan sebagai ayah otoriter yang menuntut kepatuhan mutlak, sementara anak-anak ingin hidup sesuai pilihan mereka.
Gaya pengasuhan otoriter ini, menurut Baumrind (1967), sering kali menimbulkan jarak emosional dan konflik identitas. Kita bisa merasakannya dalam adegan ketika anak-anak memilih menjauh karena merasa tidak didengar. Dialog Gabe, “Aku bukan tidak sayang keluarga, tapi aku juga ingin hidupku sendiri,” menjadi representasi generasi muda yang ingin merdeka dari kendali orang tua.
2. Mesosistem: Kota Versus Kampung
Mesosistem menggambarkan hubungan antar lingkungan. Dalam film, perbenturan antara kehidupan modern di kota dan tuntutan adat di kampung sangat jelas. Anak-anak yang terbiasa hidup dengan nilai kebebasan dipaksa kembali ke aturan lama. Alih-alih mempertemukan perbedaan dengan dialog, strategi orang tua yang berpura-pura bertengkar justru memperparah konflik.
3. Eksosistem: Tekanan Adat dan Gengsi Sosial
Eksosistem adalah pengaruh sosial yang tidak langsung, seperti adat atau komunitas. Dalam budaya Batak, menghadiri pesta adat bukan sekadar hadir, melainkan bentuk kehormatan keluarga. Pak Domu merasa gagal sebagai ayah karena anak-anaknya menolak pulang. Tekanan adat ini menimbulkan rasa malu, manipulasi, bahkan konflik batin. Seperti kata Greenfield (2009), dalam budaya kolektivistik, identitas individu seringkali didefinisikan oleh norma komunitas.
4. Makrosistem: Patriarki dan Nilai Gender
Film ini dengan berani menyoroti nilai patriarki dalam masyarakat Batak. Anak laki-laki dianggap lebih utama, sementara Sarma—anak perempuan yang setia tinggal bersama orang tua—tidak mendapat penghargaan yang sama. Adegan ketika Pak Domu berkata, “Perempuan tidak bisa menggantikan anak laki-laki dalam adat,” memperlihatkan betapa kuatnya struktur patriarki membatasi peran perempuan (Santrock, 2011).
Selain itu, film juga menyiratkan tekanan heteronormatif. Karakter anak yang tidak bisa mengekspresikan orientasi seksualnya menggambarkan bagaimana norma budaya konservatif menekan identitas pribadi.
5. Kronosistem: Perubahan Nilai dari Waktu ke Waktu
Konflik dalam film ini pada akhirnya menggambarkan transformasi nilai lintas generasi. Orang tua berpegang pada adat, anak-anak menuntut kebebasan. Namun di akhir cerita, Pak Domu mulai melembut, menyadari bahwa cinta sejati bukan soal mempertahankan adat semata, melainkan juga tentang menerima pilihan hidup anak-anak.
Bahasa Visual yang Menguatkan Pesan
Selain cerita, film ini juga menggunakan bahasa visual yang kaya makna. Rumah adat yang besar namun kosong menjadi simbol keluarga yang secara fisik utuh tetapi emosionalnya retak. Pencahayaan redup saat makan malam menggambarkan keharmonisan palsu yang penuh ketegangan. Komposisi simetris dan jarak antar karakter menegaskan keterasingan yang mereka rasakan (Behrens, 1998; Rose, 2016).
Simbolisme visual ini memperlihatkan bahwa masalah dalam keluarga bukan hanya tentang kehadiran fisik, tetapi soal keintiman emosional dan pengakuan akan perbedaan.
Mengapa Relevan untuk Keluarga Indonesia?
Ngeri-Ngeri Sedap begitu relevan karena banyak keluarga di Indonesia mengalami hal serupa. Benturan antara nilai lama dan baru, antara tradisi dan modernitas, seringkali menimbulkan ketegangan.
Bagi keluarga, film ini menjadi cermin untuk menyadari pentingnya komunikasi terbuka. Bagi praktisi psikologi, film ini bisa menjadi studi kasus tentang bagaimana nilai budaya memengaruhi dinamika keluarga. Bahkan bagi pembuat kebijakan, film ini mengingatkan perlunya program literasi keluarga lintas generasi di masyarakat multikultural (Sen & Hill, 2000).
Kesimpulan
Sebagai karya sinema, Ngeri-Ngeri Sedap bukan hanya hiburan, melainkan refleksi sosial-psikologis yang kuat. Dengan bingkai teori ekologi perkembangan Bronfenbrenner, film ini menunjukkan bahwa konflik keluarga tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari interaksi antara individu, keluarga, adat, budaya, dan perubahan zaman.
Film ini mengingatkan kita bahwa rekonsiliasi lintas generasi membutuhkan empati, keberanian untuk mendengar, dan kemampuan melepas ego budaya demi hubungan yang lebih sehat. Pada akhirnya, keluarga yang bahagia tidak dibangun oleh aturan adat semata, tetapi oleh komunikasi, penghargaan, dan kasih sayang yang tulus.
Referensi:
Baumrind, D. (1967). Child care practices anteceding three patterns of preschool behavior. Genetic Psychology Monographs, 75(1), 43–88.
Behrens, R. R. (1998). Art, design and Gestalt theory. Leonardo, 31(4), 299–303. https://doi.org/10.2307/1576666
Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by nature and design. Harvard University Press.
Bronfenbrenner, U. (2005). Making human beings human: Bioecological perspectives on human development. SAGE.
Greenfield, P. M. (2009). Linking social change and developmental change: Shifting pathways of human development. Developmental Psychology, 45(2), 401–418. https://doi.org/10.1037/a0014726
Hanan, D. (2017). Cultural specificity in Indonesian film: Diversity in unity. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-319-41504-4
Monaco, J. (2009). How to read a film: Movies, media, and beyond (4th ed.). Oxford University Press.
Napitupulu, A. (2021). Representasi relasi keluarga Batak dalam media populer. Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya, 18(2), 109–122.
Papalia, D. E., Martorell, G., & Feldman, R. D. (2021). Experience human development (15th ed.). McGraw-Hill Education.
Rajagukguk, B. D. (Sutradara). (2022). Ngeri-Ngeri Sedap [Film]. Imajinari & IDN Pictures.
Rose, G. (2016). Visual methodologies: An introduction to researching with visual materials (4th ed.). SAGE.
Santrock, J. W. (2019). Life-span development (17th ed.). McGraw-Hill Education.
Sen, K., & Hill, D. T. (2000). Media, culture and politics in Indonesia. Equinox Publishing.
Shaffer, D. R., & Kipp, K. (2010). Developmental psychology: Childhood and adolescence (8th ed.). Wadsworth Cengage Learning.