ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 35 Juni 2025

Swedish Death Cleaning: Melepaskan dengan Cinta, Menghadapi Hidup dengan Makna

Oleh:

Dewi Syukriah & Sondang Maria Silaen

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I

 

Kematian adalah satu-satunya kepastian yang kita miliki dalam hidup, namun justru menjadi hal yang paling sering kita hindari untuk dibicarakan. Kita bisa mulai membicarakan mengenai kematian dengan bertanya kediri kita sendiri  “apa yang terjadi pada semua barang-barang kita saat kita tidak lagi ada?” Lemari penuh pakaian, rak-rak buku, dokumen, dan segala harta benda yang kita kumpulkan seumur hidup—siapa yang akan mengurusnya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar dari sebuah praktik unik asal Swedia yang dikenal sebagai Döstädning, atau Swedish Death Cleaning.

Lebih dari sekadar metode merapikan barang, praktik ini menawarkan sebuah proses psikologis dan emosional yang mendalam dalam menghadapi kematian, keterikatan, dan cinta. Istilah ini pertama kali dipopulerkan secara luas oleh Margareta Magnusson dalam bukunya The Gentle Art of Swedish Death Cleaning (2018), yang mengajak kita membersihkan kehidupan secara sadar sebelum ajal menjemput. Secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan membentuk keterikatan terhadap benda-benda karena makna emosional yang melekat padanya. Dalam teori objek transisional yang dikembangkan oleh Winnicott (1953), benda-benda seringkali menjadi perpanjangan dari identitas dan kenangan pribadi. Sebuah sweter tua bisa membawa kembali aroma orang terkasih yang telah tiada, atau buku yang tua bisa menjadi simbol fase kehidupan tertentu.

Menurut Teori Kelekatan (Attachment Theory) yang dikembangkan oleh Bowlby (1969), keterikatan tidak hanya terbentuk pada orang, tetapi juga pada objek, terutama dalam konteks kehilangan dan kematian. Oleh karena itu, ketika seseorang memilih untuk menyortir dan melepaskan barang-barang pribadi, proses ini sejatinya adalah penyusunan ulang atas narasi dirinya—apa yang ingin dikenang, dan apa yang perlu dilepaskan.

Swedish Death Cleaning adalah pendekatan yang menitik beratkan pada kesadaran seorang individu terhadap kematian. Dalam budaya Barat, kematian sering kali merupakan topik yang dihindari karena menciptakan kecemasan bagi setiap individu. Teori Manajemen Teror (Svet, Et.al, 2023) menyatakan bahwa kesadaran akan kefanaan hidup dapat menimbulkan ketakutan yang dalam, tetapi juga mampu memicu refleksi mendalam tentang makna dan tujuan hidup.

Dengan menghadapi kematian secara sadar, Swedish Death Cleaning memfasilitasi transisi dari ego menuju empati. Seseorang tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga tentang apa yang akan diwariskan—bukan hanya secara materi, tetapi juga secara emosional dan spiritual—kepada orang-orang yang mereka cintai. Dalam praktik ini, seseorang bertanya, "Jika saya meninggal besok, siapa yang akan mengurus barang-barang ini?" Jika jawabannya adalah "tidak ada," maka itu adalah tanda untuk melepaskannya.

Meski tampak mirip dengan gerakan minimalisme, Swedish Death Cleaning tidak berakar pada kebutuhan estetika atau efisiensi, melainkan pada kasih sayang. Melalui penyortiran barang-barang pribadi, seseorang tidak hanya membersihkan rumah, tetapi juga membantu keluarganya agar tidak terbebani secara emosional dan logistik setelah kematiannya.

Proses ini juga dapat menjadi jembatan untuk memulai percakapan yang sulit dengan orang lain, seperti tentang penuaan, warisan, atau keinginan akhir hidup/wasiat—topik yang sering kali dihindari karena dinilai tabu. Namun, Magnusson (2018) menekankan bahwa pembersihan ini bukanlah karena menyerah terhadap hidup, melainkan karena cinta dan tanggung jawab terhadap mereka yang akan ditinggalkan.

Metode ini dimulai dengan memilah barang yang tidak sentimental terlebih dahulu, seperti pakaian, dokumen duplikat, dan peralatan rumah tangga. Fokus pada satu ruangan atau satu kategori membuat prosesnya tidak terasa memberatkan. Barang-barang yang masih berguna bisa diberikan kepada keluarga, teman, atau disumbangkan. Untuk benda bernilai tinggi atau memiliki makna khusus, disarankan meninggalkan catatan agar keluarga mengetahui pentingnya benda tersebut. Yang terpenting, bagikan niat dan proses ini dengan orang terdekat. Katakan dengan jujur, "Saya membersihkan hidup saya bukan karena menyerah, tetapi karena saya mencintai anak-anak saya." Pernyataan ini menyampaikan bahwa proses ini adalah bentuk kasih dan perhatian kepada lingkungan terdekat kita, bukan ketakutan.

Pada akhirnya, Swedish Death Cleaning adalah proses transformasi—dari keterikatan menuju penerimaan, dari penumpukan menuju pelepasan, dari ketakutan menuju cinta. Praktik ini menawarkan ruang untuk menyederhanakan hidup demi memberi makna baru pada yang tersisa. Dengan menghadapi kematian secara terbuka, kita justru belajar untuk hidup lebih penuh. Kita belajar untuk menghargai momen, menyadari apa yang benar-benar penting, dan menciptakan warisan yang bukan hanya berupa benda, tetapi juga ketenangan bagi mereka yang kita tinggalkan.

Daftar Pustaka

Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss: Vol. 1. Attachment. New York: Basic Books.

Magnusson, M. (2018). The Gentle Art of Swedish Death Cleaning: How to Free Yourself and Your Family from a Lifetime of Clutter. Scribner.

Svet, M., Portalupi, L. B., Pyszczynski, T., & Allen, L. A. (2023). Applying terror management theory to patients with life-threatening illness: a systematic review. BMC Palliative Care, 22(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/s12904-023-01193-6

Winnicott, D. W. (1953). Transitional objects and transitional phenomena: A study of the first not-me possession. International Journal of Psychoanalysis, 34, 89–97.