ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 37 Juli 2025
Psikologi Kolonial: Jejak Pemikiran Sebelum Lahirnya Ilmu Psikologi Modern di Indonesia
Oleh:
Eunike Sri Tyas Suci
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Sebagaimana telah diketahui bersama, tokoh-tokoh senior psikologi umumnya menyatakan bahwa Prof. Slamet Iman Santoso adalah yang pertama kali mengembangkan ilmu psikologi di Indonesia sehingga disebut sebagai Bapak Psikologi Indonesia. Mungkin narasi yang lebih tepat adalah beliau merupakan orang Indonesia pertama yang mengembangkan ilmu dan pendidikan psikologi [Barat] di Indonesia.
Ilmu psikologi yang berwawasan Barat itu sendiri telah diperkenalkan di tanah air jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu setelah Politik Etis dicanangkan. Pada tahun 1901 Ratu Belanda Wilhelmina meluncurkan kebijakan Politik Etis atau Politik Balas Budi, dimana pemerintah kolonial Belanda mempunyai tanggung jawab moral untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Bumi Putera.[1] Tidak lama kemudian berkunjunglah tiga psikiater Eropa ke tanah Jawa. Yang pertama adalah Emil Kraeplin pada tahun 1904, kemudian Travaglino dan van Loon pada tahun 1929. Kisah ketiganya akan dipaparkan lebih lanjut dalam tulisan ini.
Kemudian pada akhir tahun 1950an sebenarnya Indonesia mempunyai sejumlah psikolog mantan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) lulusan Belanda dan Jerman (Dahlan dkk., 2007).[2] Sunardi D. Sarojo, salah satu lulusan Fakultas Psikologi Universitas Freiburg, Jerman, mengakui bahwa istilah psikologi telah diketahuinya di akhir tahun 1945 saat usai pertempuran mendesak tentara Eropa ke Semarang dan melihat isi sebuah rumah Belanda yang ditinggalkan penghuninya. Beliau menemukan buku psikologi berbahasa Belanda dan sangat tertarik untuk membaca isinya karena disebutkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang jiwa.
Dari sini bisa ditarik asumsi bahwa ilmu psikologi dari Barat telah masuk ke Hindia Belanda di awal Abad 20 dan secara eksklusif dipelajari oleh orang-orang tertentu dan untuk tujuan tertentu pula.
Pada masa kolonial sangat mungkin ilmu psikologi dianggap tidak perlu diajarkan kepada penduduk Hindia Belanda demi melestarikan kolonialisme Belanda. Prof. Dr. Sutrisno Hadi menyatakan bahwa psikologi terlambat diperkenalkan di Indonesia karena mungkin secara sengaja Belanda tidak memperkenalkannya mengingat bahwa ilmu psikologi memelajari perilaku manusia (Hadi dalam Dahlan dkk., 2007).
Hal ini sangat sesuai dengan apa yang dilakukan oleh psikiater Belanda yang mengamati budaya dan karakter pribumi Jawa di tahun 1920an yang akan dipaparkan berikut.
Namun sebelum itu ada seorang psikiater Jerman yang datang ke Jawa untuk melakukan studi banding tentang pasien gangguan jiwa di Jawa dan Jerman. Berikut adalah penjelasan singkatnya.
1. Kunjungan Emil Kraepelin ke Jawa tahun 1904
Emil Wilhelm Magnus Georg Kraepelin (1856-1926) adalah seorang psikiater Jerman yang terkenal sebagai pendiri ilmu psikiatri modern dengan textbook karyanya setebal hampir 2.500 halaman. Pada tahun1874 Kraepelin mengambil pendidikan kedokteran di Universitas Leipzig, dimana Wilhelm Wundt (1832-1920) adalah salah satu mentornya (Allik & Tammiksaar 2016).
|
Gambar 1: Penulis saat berkunjung ke Leipzig tahun 2024 (koleksi pribadi) |
Pada tahun 1904 saat Kraepelin menjadi profesor di Universitas Munich, ia melakukan perjalanan lintas benua ke tanah Jawa di Hindia Belanda untuk mengambil cuti panjang bersama kakaknya, Karl Kraepelin, seorang ahli botani. Kota Buitenzorg (Bogor) adalah tujuan utamanya menghabiskan cuti di Jawa, dan bukan Batavia yang adalah ibukota Hindia Belanda waktu itu. Di kota sejuk inilah kedua kakak beradik bisa menambah pengetahuan sesuai minatnya masing-masing. Buitenzorg mempunyai kebun raya yang sangat terkenal yang memiliki pusat penelitian botani (Pols 2011).
Di kota ini juga berdiri rumah sakit jiwa pertama di Hindia Belanda yang dibangun pada tahun 1882 dengan nama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg.[3] Sementara Karl sibuk dengan klasifikasi flora tropis, Emil melakukan kategorisasi gangguan jiwa di daerah tropis, bagaimana faktor lingkungan, sosial, budaya dan etnis berpengaruh pada jenis, prevalensi dan ekspresi gangguan jiwa (Pols 2011).
Kedatangan Emil Kraepelin ke rumah sakit jiwa di Bogor selama tiga minggu adalah untuk melakukan studi banding tentang gangguan jiwa antara pasien-pasien di Jerman dan pasien pribumi Jawa.[4] Hasilnya sangat menarik: dementia praecox (yang kemudian disebut sebagai skizofrenia) ditemukan pada kedua kelompok dengan frekuensi yang sama, padahal simptom yang muncul sangat mungkin dipengaruhi oleh perbedaan ras, cuaca (perbedaan antara wilayah tropis dan negera empat musim), serta budaya. Kraepelin melaporkan bahwa dementia praecox merupakan gangguan jiwa yang paling sering muncul di Jawa (Steinberg 2015). Dalam bukunya berjudul Memoirs, Kraepelin menuliskan hasil observasinya tentang pasien-pasien di Jawa dibandingkan dengan pasien di Jerman sebagai berikut:
“A hasty examination showed that most of the patient population had [no] dementia praeox to a greater extend than in Germany and that therefore race, climate and living conditions had no decisive influence on the origin of this disease. /…/ The auditory hallucinations in case of dementia praecox are considered unimportant, probably because language and speech only have a lesser influence on the thinking process in Java. Delusions were also remarkably scarce. From these and other experiences, I became convinced that my attempt to prepare the way for comparative psychiatry could be successful and intended to follow-up these idea as soon as possible” (Kraepelin 1987:115-116 dalam Allik & Tammiksaar, 2016)
Dalam bahasa Indonesianya kira-kira begini "Pemeriksaan singkat menunjukkan bahwa sebagian besar pasien [tidak] memiliki dementia praecox yang lebih parah daripada pasien di Jerman dan bahwa karena itu ras, iklim dan kondisi kehidupan tidak memiliki pengaruh yang menentukan pada asal-usul penyakit ini. Halusinasi pendengaran dalam kasus dementia praecox dianggap tidak penting, mungkin karena bahasa dan ucapan hanya memiliki pengaruh yang lebih rendah pada proses berpikir di Jawa. Delusi juga sangat langka. Dari pengalaman ini dan lainnya, saya menjadi yakin bahwa upaya saya untuk mempersiapkan jalan bagi psikiatri komparatif bisa berhasil dan bermaksud untuk menindaklanjuti gagasan ini sesegera mungkin. "
Paparan di atas menunjukkan bahwa kondisi pasien pribumi tidak lebih buruk, bahkan prognosisnya lebih baik (Kraepelin dalam Pols 2006). Penjelasan para kolonialis adalah karena gangguan jiwa di Eropa (atau yang terjadi pada orang-orang Eropa di Eropa) dianggap sebagai dampak dari kemajuan peradaban modern yang sangat pesat dan tak terhindarkan. Maka tidak heran bahwa prognosis di Hindia Belanda lebih baik karena kondisi di Jawa dianggap jauh lebih terbelakang dalam perkembangan sosial dan mental (Pols 2011).
Saat di Eropa sebetulnya Kraepelin bertemu banyak orang dari budaya lain, bahkan ditengarai punya sikap antisemitismenya pada orang Yahudi. Namun dari kunjungan ke Jawa inilah ia mulai berbicara dan mengembangkan comparative psychiatry yang kemudian dinamakan cross-cultural psychiatry. Tidak hanya itu, Kraepelin juga berharap ini menjadi cikal bakal berkembangnya bidang ilmu comparative anthropological psychology untuk mengamati kesehatan jiwa penduduk dari berbagai budaya (Pols 2006). Pertanyaan-pertanyaan Kraepelin yang masih relevan sampai sekarang misalnya apakah ada gangguan jiwa yang khas pada budaya tertentu? Apakah ada ekspresi gangguan jiwa tertentu yang terbentuk oleh faktor sosiokultural setempat? Pertanyaan-pertanyaan ini menarik untuk dikembangkan di Indonesia yang sekarang mungkin ada di bidang peminatan indegenous psychology atau psikologi ulayat atau psikologi indigenos.
Secara umum bisa dikatakan bahwa apa yang dipikirkan Kraepelin tentang pengaruh budaya pada gangguan jiwa sebetulnya berangkat dari seniornya Wilhem Wundt yang saat itu sedang merumuskan Volkerpsychologie atau psikologi antropologis (Pols 2011). Setelah kedatangan Kraepelin, ada dua psikiater Belanda yang datang ke Jawa dan menggunakan konsep Psikologi Kolonial untuk melihat perilaku orang pribumi Hindia Belanda.
2. Duo Psikiater Kolonial: Travaglino dan van Loon (1929)
Adalah Prof. Hans Pols yang menuliskan topik yang mencengangkan berjudul “The Insults of Colonial Psychiatry and the Psychological damage of Colonialism” dalam satu bab buku karyanya Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonialisation in the Dutch East Indies (Pols 2018).[5] Pols mengawali paparannya dengan menggambarkan situasi pasca Politik Etis yang dituliskan pada bab sebelum judul mencengangkan tersebut.
Tidak lama setelah Politik Etis diluncurkan, seorang dokter Belanda bernama Jacob Hermann Frieddrich Kohlbrugge mengkritik kebijakan tersebut karena pendidikan Barat yang lebih tinggi dari tingkat dasar akan menyebabkan “gangguan pada akal pikir orang pribumi dan mengkaratkan penduduk asli …keyakinan-keyakinan primitif dan animisme.. menghambat pikiran orang Jawa. … [yang] berbahaya, karena menciptakan kelompok quasi-intelektual urban tanpa akar [dan] yang terasing dari budaya dan kelompok etnis mereka sendiri” (Pols, 2019 hal 129).
Maka sebagai alternatif, Kohlbrugge menawarkan Kebijakan Psikologi Kolonial berdasar pada “kehidupan kejiwaan masyarakat, yang diperoleh melalui [..] psikologi” tanpa mengabaikan “sifat ganjil karakter orang Jawa” (Pols 2019 hal 129). Secara umum ia menyatakan bahwa orang Jawa dan orang Eropa pada dasarnya berbeda, sehingga Politik Etis dalam pendidikan Eropa yang diterapkan di Jawa tidak cocok karena “pikiran orang Jawa sangat mudah dipengaruhi, emosional, tidak menentu, takhayul, dan seperti anak kecil.” Dengan karakter seperti itu, maka upaya mendorong orang Jawa mencapai pendidikan lebih tinggi akan berisiko mengakibatkan mereka menderita neurasthenia, kegilaan, atau bunuh diri (Pols 2019 hal 131).
Menariknya, dokter-dokter Hindia Belanda dari STOVIA—singkatan dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra—merespon atas apa yang dikemukakan oleh Kohlbrugge dengan tenang dan tidak begitu peduli karena mereka menganggap Kohlbrugge seorang yang keras kepala, pemarah, dan memusuhi hampir semua orang. Dokter-dokter STOVIA menyadari bahwa apapun reaksi Bumi Putra tidaklah menguntungkan karena akan balik kembali dianggap sebagai orang Jawa yang reaktif dimata orang Belanda kolonial yang konservatif (Pols 2019 hal 132).
Pada bulan Desember 1923 seorang psikiater bernama P.H.M. Travaglino yang bertugas sebagai pengawas medis Rumah Sakit Jiwa Lawang memberi ceramah tentang politik dan psikologi di Surabaya. Ia menyatakan bahwa pemerintah [kolonial Belanda] perlu memahami akal pikir dan mentalitas warga yang diperintahnya [pribumi]. Travaglino mengemukakan bahwa pasien-pasien pribumi yang mengalami psikosis menunjukkan emosi yang sangat tinggi. Jumlah kejadian psikosis yang sangat emosional ini dia temukan di Hindia Belanda 7-10 kali lebih besar dibanding kasus yang sama di Eropa (Pols 2019 hal 164).
Asumsi Travaglino sebetulnya berangkat dari simpulan yang sangat dangkal berdasar pada beberapa kejadian, misalnya bagaimana penduduk pribumi sangat menikmati musik gamelan, pertunjukan wayang kulit, dan karapan sapi sampai-sampai mereka tidak menghiraukan kehadirannya, atau memberi jalan pada mobilnya yang melewati kerumunan tersebut. Ia melihat bahwa orang-orang pribumi sangat emosional dan menyimpulkan bahwa penduduk Hindia Belanda berada pada tahap “evolusi primitif” yang mempunyai risiko signifikan jika pemerintah kolonial tidak mengontrolnya. Artinya paparan Travaglino dianggap upaya melanggengkan kolonialisme di Hindia Belanda.
Ada dua hal yang yang patut dicatat di akhir ceramah Travaglino yang memberi pernyataan peringatan kepada pemerintah kolonial. Penulis mengkutip dari paparan Prof. Hans Pols (2019 hal. 166):
1. “Budaya Timur tidak inferior dan juga tidak superior terhadap budaya Barat, hanya berbeda, sebagaimana pria dan wanita berbeda.”
2. “Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa perkembangan Nusantara akan mengikuti jejak langkah Barat.”
Pernyataan nomor dua di atas nampak sebagai simpulan dari kenyataan perbedaan budaya Timur dan Barat (poin nomor satu). Hubungan kausalitas dari kedua pernyataan ini sangatlah menyesatkan, karena seolah-olah tidak ada harapan untuk memperbaiki keadaan Hindia Belanda, dan karenanya pemerintah kolonial merasa perlu tetap bercokol di Hindia Belanda. Padahal yang dibutuhkan adalah pemberian kesempatan yang sama dan dengan pendekatan yang sesuai dengan budaya masing-masing.
Seorang jurnalis bernama D.M.G Koch memberi kritik tajam pada Travaglino dengan menyebutnya sebagai “psikolog konservatif kolonial” (Pols 2019 hal. 166). Penulis lain yang anonim juga mengkritisi generalisasi Travaglino pada penduduk Hindia Belanda yang seolah-olah mengalami gangguan mental. Ia menantang agar orang-orang Belanda di Hindia Belanda didiagnosis dengan cara yang dilakukan Travaglino, maka akan ditemukan orang-orang Belanda yang egosentris, eksplotitatif, dan berfokus pada kesenangan (Pols 2019 hal. 167).
Pada bulan Februari 1924, atau tiga bulan setelah ceramah Travaglino di Surabaya, F.H. van Loon yang menjabat sebagai direktur klinik kejiwaan di Grogol, Batavia dan pengajar psikiatri dan neurologi di STOVIA menyampaikan pendapatnya di pertemuan Masyarakat Hindia Belanda di Den Haag. Sebagai seorang psikiater, ia menyatakan bahwa Hindia Belanda merupakan tempat yang sangat menarik untuk diamati oleh para psikiater, karena “tidak ada tempat lain di dunia ini yang dapat kita amati begitu banyak gangguan neurologis serius seperti di Hindia Belanda” (Pols 2019 hal. 168).
Dari pertemuan di Den Haag tersebut, ada beberapa pernyataan yang disampaikan van Loon tentang “orang Melayu” (yang sebetulnya merujuk pada orang Jawa atau bumi putera) yaitu:
1. Asumsi bahwa “ras primitif” jarang menderita gangguan jiwa adalah salah, karena sebenarnya lebih banyak kasus “kegilaan” di Hindia Belanda katimbang di Eropa.
2. Orang Melayu kurang inisiatif, kemampuan bernalarnya rendah, lamban berpikir, dan tidak mampu merencana masa depan. Pernyatan ini sangat aneh, karena bagaimana bisa merencana masa depan kalau masih ada dalam cengkeraman pemerintah kolonial yang represif.
3. Pikiran orang Melayu sangat kekanak-kanakan, dan upaya meningkatkan pengetahuan dan mengadopsi teknologi Barat dianggapnya sebagai kemampuan meniru yang sangat hebat (Pols 2019 hal. 168-169).
Seorang psikiater Hindia Belanda yang sedang melanjutkan pendidikan kedokteran di Belanda bernama Jonas Andreas Latumeten (1888 – 1948) melakukan kritik terhadap van Loon. Saat masih di Jawa, ia pernah menjadi asisten Travaglino di RSJ Lawang. Bersama dengan mahasiswa lain, baik kedokteran maupun non-kedokteran, Latumenten bergabung dalam Perhimpunan Indonesia. Ia menyadari peran ideologis psikiatri kolonial yang berupaya menyebarluaskan karakteristik buruk penduduk pribumi Hindia Belanda, seperti “amok” (suka mengamuk), agresif, primitif, kekanak-kanakan dan sifat-sifat negatif lainnya ke masyarakat Eropa, khususnya di Belanda. Padahal karakteristik tersebut hanya ditemukan berdasar pada beberapa kasus [di Jawa] yang jelas tidak bisa digeneralisasikan ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Juga sebetulnya karakteristik negatif tersebut bisa ditemukan di berbagai tempat di Eropa. Akhirnya Dewan Perkumpulan Dokter Hindia Belanda menyampaikan keraguannya apakah van Loon pantas menjadi pengajar psikiatri dan neurologi STOVIA.
Mohammad Hatta (1902–1980) yang saat itu juga sedang belajar di Belanda menyimpulkan bahwa gudang senjata bangsa kolonial tidak hanya terdiri dari tentara, polisi, birokrasi, dan kontrol atas alat-alat produksi, tapi juga psikologi. Lebih tepatnya Pols mengutip pernyataan Hatta: “Salah satu sarana (untuk memastikan supremasi Belanda di Hinda Belanda) adalah sugesti-massa: penyuntikan gagasan superioritas ras kulit putih dalam kesadaran orang Indonesia dan sugesti impotensi nasional. Setiap gagasan atau inisiatif yang muncul secara sistematis dan artifisial langsung dilumpuhkan oleh hipnosis tentang ketidaktahuan yang dipaksakan, dengan konsekuensi psikologis munculnya keraguan atas kemampuan seseorang” (Pols 2019 hal 177).
3. Kesimpulan
Dari paparan ini nampak bahwa pernyataan Prof. Sutrisno Hadi ada benarnya, yaitu bahwa psikologi terlambat diperkenalkan di Indonesia karena mungkin ada faktor kesengajaan. Hal ini disebabkan karena bidang psikologi/psikiatri kolonial menggunakan ilmu psikologi dan psikiatri untuk mengamati karakteristik pribumi Hindia Belanda demi kepentingan politik untuk melanggengkan kolonialisme di wilayah jajahannya. Akan menjadi bumerang jika psikologi diajarkan kepada kaum pribumi karena mereka akan mampu melakukan analisis balik tentang orang Eropa. Hal ini yang sebetulnya telah dilontarkan oleh para kritikus terhadap dua psikiater Belanda di atas.
Daftar Pustaka
Allik, J. & Tammiksaar, E. (2016). “Who was Emil Kraepelin and why do we remember him 160 years later?” TRAMES, Vol 20 (70/65):4, hal. 317-335. DOI: 10.3176/tr.2016.401
Hadi, S. (2007). “Psikologi Juga Tumbuh dari Sebuah Fakultas Pendidikan,” dalam Dahlan, W., Harbunangin, B., Rumeser, J.A.A., Sriamin, L.S., (2007). Dialog Psikologi Indonesia: doeloe, kini dan esok. Jakarta: Himpsi Jaya. Halaman 43-58.
Pols, H. (2006). The development of psychiatry in Indonesia: From colonial to modern times. International Review of Psychiatry, 18(4): 363–370.
Pols., H. (2007). Psychological Knowledge In A Colonial Context: Theories on the Nature of the “Native Mind” in the Former Dutch East Indies. History of Psychology, 10 (2): 111–131.
Pols. H. (2011). "Emil Kraepelin on Cultural and Ethnic Factors in Mental Illness," Psychiatric Times, Vol. 28(8): 5-6.
Pols, H. (2018). Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonialisation in the Dutch East Indies. Cambridge: Cambridge University Press.
Pols, H. (2019). Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[1] Politik Etis terdiri dari tiga program utama yang disebut sebagai Trias Van Deventer, yaitu program irigasi, [trans]migrasi, dan edukasi. Pelaksanaan dua yang pertama berubah kepentingan karena digunakan untuk perkebunan orang-orang Belanda. Yang ketiga, yaitu pendidikan, yang lebih memberi dampak bagi Bumi Putera. Salah satunya dengan didirikannya STOVIA yang kemudian melahirkan pemikiran tentang Kebangkitan Nasional (https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis)
[2] TRIP atau juga disebut tentara pelajar adalah pelajar-pelajar yang menjadi tentara yang dibentuk untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tahun 1951 tentara pelajar resmi dibubarkan. Mereka diberi pilihan untuk melanjutkan pendidikan atau karir militer di TNI/Polri (https://id.wikipedia.org/wiki/Tentara_Pelajar#Sejarah)
[3] Master plan pembangunan rumah sakit jiwa ini sama modern-nya seperti rumah sakit jiwa di Eropa. Namun karena keterbatasan anggaran, maka pembangunan rumah sakit ini tidak selesai seperti rencana awal. Saat ini rumah sakit jiwa tersebut bernama Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi yang berada di lahan sebesar 578,765m2 (www.rsmmbogor.com).
[4] Prof. Hans Pols (2011) memaparkan lebih detil bahwa Emil Kraepelin mewawancara 100 pasien Eropa, 100 pasien pribumi, dan 25 pasien keturunan Tionghoa di rumah sakit Buitenzorg. Jika benar hanya tiga minggu cuti, menjadi perdebatan bagaimana hal tersebut bisa dilakukan, khususnya saat melakukan wawancara pada pasien non Eropa karena pasti ada kendala bahasa (dari bahasa lokal Jawa/Sunda/Mandarin ke bahasa Inggris, lalu ke bahasa Jerman).
[5] Setahun kemudian buku ini terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul “Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia” (Pols 2019) dengan harapan masyarakat Indonesia bisa mendapatkan informasi yang sama dengan lebih mudah dan murah. Penulis adalah salah satu penyunting buku versi Indonesia ini.