ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 36 Juni 2025
Perempuan dan Berbagai Stigma Pendidikan yang Masih Melekat
Oleh:
Devi Oktavia Adelina Siregar
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Pendidikan tinggi berperan sebagai salah satu pilar penting dalam perkembangan sebuah negara. Seiring dengan perkembangan zaman, akses terhadap pendidikan tinggi semakin terbuka bagi semua orang tanpa pengecualian. Namun, dalam konteks perempuan, pentingnya pendidikan tinggi masih sering dipertanyakan. Meskipun perjuangan menuju kesetaraan gender dalam pendidikan telah banyak dilakukan, masih terdapat pandangan yang meragukan perlunya perempuan menempuh pendidikan tinggi. Di Indonesia, banyak perempuan masih menghadapi berbagai stereotip, diskriminasi, dan stigma dari masyarakat. Mereka kerap terkungkung dalam pandangan tradisional yang membatasi peran perempuan hanya dalam ranah domestik, seperti mengurus rumah tangga dan dapur. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mandiri, dan tidak layak menjadi pemimpin masih sangat mendalam. Akibatnya, perempuan sering dianggap tidak perlu mengejar pendidikan tinggi karena peran akhirnya hanya sebatas sebagai ibu rumah tangga dan mengasuh anak (Yovita et al, 2022).
Salah satu faktor yang menyebabkan stigma terhadap perempuan tetap bertahan adalah masih kuatnya pemikiran dan budaya patriarki di kalangan masyarakat, termasuk di antara para laki-laki. Patriarki sendiri merujuk pada sistem keluarga yang didominasi oleh laki-laki, terutama ayah atau kepala rumah tangga, yang memiliki kontrol utama dalam pengambilan keputusan (Adipoetra, 2016). Masyarakat yang masih mempertahankan tradisi lama menjadi faktor utama yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan peluang yang sama dengan laki-laki (Huda, 2020).
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori pembelajaran sosial (social learning theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori ini mengemukakan bahwa setiap individu memperoleh pengetahuan dan perilaku baru melalui interaksi serta penelusuran akan lingkungan sekitar. Bandura menekankan bahwa Pembelajaran bukan hanya terjadi melalui pengalaman pribadi, tetapi juga melalui melihat dan memperhatikan orang lain, yang terkenal dengan istilah pembelajaran observasional. Jenis pembelajaran tersebut mampu menjelaskan berbagai perilaku yang mungkin sulit dijelaskan oleh teori pembelajaran lainnya (Cherry, 2024). Dalam konteks perempuan dan pendidikan, individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang menanamkan stereotip gender serta peran tradisional cenderung akan menerima dan menginternalisasi pandangan tersebut. Sebagai contoh, jika seorang perempuan sering menyaksikan bahwa perempuan di sekitarnya hanya menjalani peran sebagai ibu rumah tangga tanpa berkarier di luar, ia akan menganggap peran tersebut sebagai norma yang harus diikuti. Melalui proses pembelajaran sosial, pandangan ini semakin menguat, sehingga pendidikan tinggi bagi perempuan dianggap kurang penting.
Di sisi lain, meskipun perempuan menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses pendidikan tinggi, teori self-efficacy yang dikembangkan oleh Albert Bandura menunjukkan bahwa keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam menghadapi rintangan dapat berperan penting dalam mengubah persepsi tersebut. Self-efficacy mengacu pada kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai situasi (Bandura, 1997). Apabila perempuan memperoleh kesempatan yang setara dalam menempuh pendidikan serta mengembangkan keterampilan mereka, sekaligus mendapatkan dorongan untuk percaya pada kemampuan diri sendiri, mereka memiliki potensi besar untuk melampaui batasan yang ditetapkan oleh stereotip gender dan stigma sosial. Dengan akses yang lebih luas ke pendidikan tinggi, perempuan tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis yang bisa mendukung mereka dalam banyak aspek kehidupan, tetapi juga mengembangkan kepercayaan diri, kemandirian, dan kemampuan demi mendapatkan kesimpulan yang alternatif. Selanjutnya, pendidikan tinggi membuka peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam dunia kerja, menduduki posisi kepemimpinan, serta berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan tinggi tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga membawa perubahan positif dalam struktur sosial yang semakin luas, mewujudkan kondisi yang semakin menyeluruh dan setara untuk keseluruhan.
Untuk mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi perempuan dalam mengakses pendidikan tinggi, diperlukan perubahan signifikan dalam sistem sosial dan budaya. Upaya ini harus melibatkan pemerintah, institusi pendidikan, serta seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana perempuan dapat menempuh pendidikan tanpa terhalang oleh stereotip, diskriminasi, atau norma sosial yang membatasi peran mereka. Selain itu, edukasi tentang pentingnya kesetaraan dalam pendidikan perlu terus digalakkan agar masyarakat memahami bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam pembangunan bangsa (Irawan et al., 2024). Dengan adanya akses pendidikan yang setara, perempuan tidak hanya mampu mengembangkan potensi diri secara maksimal, tetapi juga berkontribusi secara aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Mereka dapat berperan dalam kemajuan sosial, ekonomi, dan politik, serta membentuk agen perubahan yang membawa pengaruh positif bagi pembangunan negara. Oleh karena itu, menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan mendorong perempuan untuk meraih pendidikan tinggi bukan hanya menjadi langkah menuju kesetaraan gender, tetapi juga investasi bagi kemajuan bangsa secara keseluruhan (Anggola et al., 2024)
Referensi:
Adipoetra, F. G. (2016). Representasi Patriarki dalam Film “Batas”. Jurnal E-Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra, 4 No.1. https://media.neliti.com/media/publications/77847-ID-representasi-patriarki-dalam-film-batas.pdf
Anggola, C. D., Prawita, F., & Lestarika, D. P. (2024). Peran Pendidikan Dalam Mengurangi Kesenjangan Gender Di Tempat Kerja. Kajian Hukum Dan Kebijakan Publik, 2(1), 531–537. https://doi.org/https://doi.org/10.62379/c7q9s144
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: the Exercise of Control. W.H. Freeman and Company.
Cherry, B. K. (2023). What Is Social Learning Theory ? Core Concepts of Social Learning Theory. Verywell Mind. 1–6. https://www.verywellmind.com/social-learning-theory-2795074
Huda, K. (2020). Peran Perempuan Samin Dalam Budaya Patriarki Di Masyarakat Lokal Bojonegoro. Jurnal Sejarah, Budaya, Dan Pengajarannya, 14(1), 76-90. https://doi.org/10.17977/um020v14i12020p76-90
Irawan, P. S., Agustian, F. D., & Lestarikan, D. P. (2024). Identifikasi Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kesenjangan Gender. Kajian Hukum Dan Kebijakan Publik, 2(1), 493–500. https://doi.org/10.62379/c7q9s144
Katherine Yovita, Adelia Dwi Angelica, K. G. P. (2022). Stigma Masyarakat Terhadap Perempuan Sebagai Strata Kedua Dalam Negeri. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Ilmu Sosial (SNIIS), 01, 1–11. https://proceeding.unesa.ac.id/index.php/sniis/article/view/90/75