ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 34 Mei 2025
Happy Employee Club: Mari Bekerja Tak Sekadar Demi Gaji
Oleh:
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya
Apa sebenarnya yang membuat seseorang merasa puas dan bertahan dalam pekerjaannya? Dalam banyak diskusi, kita sering terpaku pada topik gaji, tunjangan, atau jenjang karier. Padahal, berbagai studi mutakhir mengungkapkan bahwa kebahagiaan di tempat kerja adalah fondasi yang jauh lebih kuat dalam menciptakan kinerja yang berkelanjutan.
Laporan dari University of Oxford menunjukkan bahwa karyawan yang bahagia 13% lebih produktif daripada mereka yang tidak bahagia (Arturi, 2024). Penelitian Harvard selama 80 tahun bahkan menyimpulkan bahwa kualitas hubungan sosial adalah prediktor utama kebahagiaan dan kesehatan jangka panjang (Moss, 2023). Artinya, kebahagiaan di tempat kerja bukanlah “bonus emosional”, melainkan bagian strategis dari keberlangsungan organisasi.
Konsep happiness at work (HAW) tidak bisa direduksi menjadi sekadar perasaan senang atau puas sesaat. HAW adalah sebuah kondisi psikologis yang stabil, terdiri atas tiga komponen utama: engagement (gairah dan keterlibatan dalam pekerjaan), job satisfaction (evaluasi terhadap kondisi kerja), dan affective commitment (rasa memiliki terhadap organisasi) (Salas-Vallina & Alegre, 2018). Versi Bahasa Indonesianya telah diadaptasi dan divalidasi oleh Zahra et al. (2024), dan terbukti reliabel untuk konteks kerja hybrid di Indonesia.
Namun, bagaimana sebenarnya kebahagiaan kerja terbentuk? Artikel Jennifer Moss (2023) dalam Harvard Business Review menekankan tiga pilar penting: fleksibilitas kerja, rasa memiliki atau belonging, dan makna kerja. Fleksibilitas bukan hanya soal tempat kerja, tetapi juga soal cara kerja yang menghargai ritme individu. Sementara itu, membangun rasa keterhubungan sosial, seperti memiliki sahabat kerja, terbukti meningkatkan loyalitas dan mengurangi intensi keluar. Di sisi lain, ketika individu merasa pekerjaannya bermakna—baik secara pragmatis maupun idealis—mereka akan lebih terlibat dan tahan terhadap tekanan.
Gögdün (2023) juga menyoroti pentingnya pergeseran dari “kerja demi ego” ke “kerja demi kontribusi”. Membantu rekan kerja, merasa dihargai, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar terbukti menjadi sumber kebahagiaan yang lebih kuat dibandingkan promosi jabatan semata. Bahkan, organisasi-organisasi progresif seperti Google dan SAP telah menetapkan posisi Chief Happiness Officer untuk merancang strategi kebahagiaan yang terintegrasi ke dalam budaya kerja (Saritha & Mukherjee, 2024).
Tentu saja, gaji tetap penting. Tapi ketika gaji tidak lagi cukup memuaskan atau tidak sebanding dengan beban kerja, maka makna, relasi, dan otonomi menjadi penentu apakah seseorang akan bertahan, berkembang, atau berpaling. Ini menjelaskan mengapa fenomena seperti quiet quitting dan loud quitting meningkat drastis di seluruh dunia. Sudah saatnya organisasi di Indonesia bergabung dalam “Happy Employee Club”—yakni komunitas organisasi yang memahami bahwa kebahagiaan bukan sekadar biaya, tapi investasi jangka panjang. Investasi ini tidak hanya menghasilkan produktivitas dan loyalitas, tetapi juga menciptakan ekosistem kerja yang sehat, manusiawi, dan berkelanjutan.
Referensi:
Arturi, T. (2024). Happiness at Work: The New Competitive Advantage. Forbes Coaches Council.
Gögdün, B. (2023). Achieving Happiness at Work. Forbes.
Moss, J. (2023). Creating a Happier Workplace Is Possible — and Worth It. Harvard Business Review.
Salas-Vallina, A., & Alegre, J. (2018). Happiness at Work: Developing a Shorter Measure. Journal of Management & Organization, 27(3), 460–480.
Saritha, S., & Mukherjee, A. (2024). Happiness at Workplace: A Systematic Literature Review. International Journal of Research in Engineering, Science and Management, 7(5).
Zahra, F. B., Susanto, H., & Revinzky, M. A. (2024). Adaptasi Alat Ukur Happiness At
Work Scales pada Karyawan di Indonesia. Tekmapro: Journal of Industrial Engineering and Management, 19(1), 104–112.
