ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 24 Desember 2024

 

Doom Spending: Pelarian atau Tuntutan Sosial Gen Z di Tengah Ketidakpastian?

Oleh:

Rizky Saputra

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

Fenomena konsumsi berlebihan sebagai respons terhadap tekanan emosional atau ketidakpastian—atau yang dikenal dengan istilah doom spending—telah menjadi ciri khas di kalangan Generasi Z (Gen Z). Generasi ini, yang lahir dan tumbuh dalam era teknologi dan ketidakstabilan ekonomi, menghadapi tantangan besar dalam menjalani masa muda mereka. Di tengah berbagai situasi penuh tekanan, mulai dari pandemi hingga krisis lingkungan dan ekonomi, doom spending muncul sebagai pelarian sekaligus penegasan identitas diri dalam masyarakat. Gen Z yang terpapar tekanan dari media sosial untuk selalu terlihat bahagia, sukses, dan up-to-date, sering kali tergoda untuk melakukan doom spending sebagai bentuk ekspresi diri. Tidak jarang, keputusan untuk melakukan pengeluaran impulsif, terutama untuk hal-hal yang memberi kenyamanan atau meningkatkan status sosial, dilakukan tanpa pertimbangan matang. Misalnya, mereka membeli barang-barang atau layanan yang berfungsi sebagai self-reward atau self-care, meskipun sebenarnya ini hanya berfungsi sementara sebagai penenang emosi.

Apakah Doom Spending Hanya Sekadar Pelarian?

Fenomena doom spending tidak bisa hanya dipandang sebagai perilaku boros tanpa makna. Banyak dari pengeluaran ini sebenarnya berakar dari kebutuhan emosional atau cara untuk mendapatkan kendali di tengah dunia yang serba tidak pasti. Di satu sisi, perilaku ini dapat menjadi mekanisme coping atau cara untuk menghadapi tekanan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan melakukan pembelian impulsif, mereka merasa bisa sejenak melepaskan diri dari stres, meskipun hanya bersifat sementara. Perilaku doom spending juga bisa dilihat sebagai bentuk tuntutan sosial. Dalam lingkungan sosial yang terus menuntut untuk “tampil sempurna” perilaku ini menjadi cara bagi Gen Z untuk mendapatkan penerimaan atau validasi dari orang lain. Di era media sosial, berbagi tentang pembelian atau pengalaman konsumtif dapat memperkuat rasa eksistensi dan kepuasan diri di mata teman atau pengikut mereka.

Persepsi Sosial terhadap Doom Spending

Secara umum, persepsi sosial terhadap doom spending Gen Z cenderung terbagi. Sebagian besar masyarakat melihatnya sebagai perilaku impulsif yang kurang bertanggung jawab, terutama bagi mereka yang masih berjuang dengan stabilitas finansial. Persepsi sosial adalah proses dalam diri seseorang yang menunjukkan organisasi dan interpretasi terhadap kesan- kesan inderawi, dalam usaha untuk memberi makna terhadap orang lain sebagai objek persepsi (Robbin, 1989). Kritik sosial ini menganggap bahwa doom spending adalah tanda ketidakmatangan dalam mengelola keuangan pribadi serta menunjukkan ketergantungan terhadap validasi dari media sosial. Sebagian orang memandang doom spending sebagai bentuk reaksi manusiawi terhadap tekanan hidup. Pandangan ini lebih simpatik, dengan melihat fenomena ini sebagai cara Gen Z untuk merespons kondisi ekonomi, sosial, dan psikologis yang sulit. Pandangan ini menekankan bahwa perilaku konsumtif yang terjadi lebih karena kebutuhan psikologis untuk menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian.

Pentingnya Berpikir Kritis dalam Menghadapi Doom Spending

Untuk menghadapi perilaku doom spending secara bijak, penting bagi Gen Z untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Beyer (1995, dalam Zubaidah, 2010) memandang bahwa berpikir kritis sebagai menggunakan kriteria untuk menilai kualitas sesuatu, dari kegiatan yang paling sederhana seperti kegiatan normal sehari-hari sampai menyusun kesimpulan dari sebuah tulisan yang digunakan seseorang untuk mengevaluasi validitas sesuatu (pernyataan-pernyataan, ide-ide, argumen-argumen, penelitian, dan lain-lain). Dengan berpikir kritis, individu dapat menilai apakah perilaku konsumtif mereka berlandaskan kebutuhan nyata atau sekadar dorongan emosional. Mengidentifikasi alasan-alasan di balik keputusan pembelian juga membantu untuk mengurangi kemungkinan terjebak dalam siklus doom spending yang berlebihan. Berpikir kritis dapat membantu Gen Z untuk mempertimbangkan pilihan konsumsi mereka dengan lebih cermat dan bertanggung jawab. Dengan cara ini, mereka tidak hanya menghindari tekanan sosial yang mengharuskan untuk mengikuti tren konsumsi, tetapi juga memperkuat kemampuan untuk menilai kebutuhan emosiona yang sebenarnya.

Referensi:

Robbin, S. P. (1989). Organiational Behavior, Concept, Controversies and Apllications. London: Prentice Hall International Editions.

Zubaidah, S. (2010, January). Berpikir Kritis: kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran sains. In Seminar Nasional Sains (Vol. 6, No. 8, pp. 1-14).