ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 24 Desember 2024
Bagaimana Satu Tindakan Kecil Dapat Memicu Kekerasan?
Oleh:
Theresia Yolanda Sulaeman, Istiqomah
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
Kita tidak dapat menerangi dunia dengan kekerasan. Kita harus meneranginya dengan cinta.
- Martin Luther King Jr
Dalam keseharian, kita sering kali dihadapkan pada rintangan dan tekanan yang mampu menimbulkan lonjakan emosional. Pada kondisi ini, reaksi agresif akan muncul sebagai cara untuk mengungkapkan ketegangan yang dirasakan akibat stress. Kadang kala, agresivitas terlihat sebagai bentuk alami untuk melepaskan beban emosional. Namun, terkadang hal ini menjadi pencetus yang lebih serius, yaitu kekerasan. Perumpamaan efek domino digunakan dalam upaya memahami hubungan antara agresivitas dan kekerasan. Di mana hal ini seperti efek domino, satu hal tindakan sekecil apapun akan memicu serangkaian reaksi yang menyebar dan berpotensi menciptakan situasi yang lebih besar atau merugikan.
Agresi dan Kekerasan
Fenomena umum yang sering terjadi di masyarakat yaitu perilaku agresi. Agresi merupakan tindakan perilaku yang bertujuan untuk melukai individu, baik fisik maupun mental. Penjelasan ini sependapat dengan Crick & Grotpeter (1995) yang menjelaskan bahwa agresi dibedakan menjadi menjadi dua aspek, yaitu agresi non fisik dan fisik. Agresi fisik ini mengacu pada perilaku agresif yang menyebabkan cedera fisik (misalnya: melakukan pukulan, tendangan, atau tamparan), sementara agresi non fisik melibatkan bentuk-bentuk verbal (misalnya: mengeluarkan perkataan kasar, mengolok-olok, atau merendahkan) dan agresi relasional atau sosial (misalnya: Menyebarkan gossip, menjauhkan secara sosial, atau memberikan sindiran berbasis SARA).
Selain itu, agresi yaitu perilaku yang secara sengaja dilakukan untuk melukai individu lainnya, dengan potensi dapat menimbulkan luka, tanpa memedulikan keberhasilan mencapai tujuan menyakiti tersebut (Baron & Byrne, 2005). Sependapat Ng & Chow (2017) yang menyebutkan Jika tingkat agresi tinggi, hal itu dapat menimbulkan ketidakamanan daerah sekitar. Namun, apabila agresi pada suatu daerah rendah maka, akan menghasilkan ketentraman pada daerah tersebut.
Dapat disimpulkan, agresi merupakan tindakan perilaku yang dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek yaitu fisik dan verbal yang dapat berpotensi menyakiti orang lain. Di mana, jika perilaku agresinya tinggi maka akan membuat ketidakamanan pada suatulingkungan.
Kekerasan adalah perilaku yang dilakukan dengan sengaja dan menghasilkan cedera fisik atau tekanan mental (Carpenito & Moyet, 2016). Selanjutnya, Tindak kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat berpotensi mengancam keamanan diri, baik untuk dirinya sendiri maupun individu lain (Afnuhazi, 2015). Selain itu, Erwina (2012) berpendapat bahwa tindak agresif merujuk pada bentuk tekanan dan kekerasan, baik menggunakan fisik maupun verbal, yang ditujukan untuk orang lain ataupun diri sendiri.
Dapat disimpulkan, kekerasan merupakan kondisi apabila seseorang berbuat tindakan kekerasan atau pemaksaan yang menghasilkan cedera fisik atau mental yang dapat mengancam diri sendiri ataupun individu lainnya.
Agresi dan kekerasan sering digunakan secara bergantian, tetapi mereka adalah konsep yang berbeda. Sementara agresi mengacu pada perilaku itu sendiri, kekerasan adalah bentuk ekstrem dari agresi yang melibatkan kerusakan fisik atau psikologis yang parah. Penting untuk menyadari bahwa tidak semua perilaku agresif mengarah pada kekerasan, tetapi agresivitas perilaku seseorang memang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan
Faktor yang berkontribusi terhadap agresivitas dalam perilaku
Pengembangan agresivitas pada individu melibatkan berbagai faktor yang dapat memengaruhi perilaku agresif. Salah satu faktornya yaitu faktor biologis. Faktor ini mencakup genetika dan ketidakseimbangan hormon, yang dapat memberikan kontribusi terhadap kecenderungan seseorang untuk menunjukkan perilaku agresif. Misalnya, pewarisan gen tertentu atau perubahan dalam kadar hormon tertentu dapat memainkan peran dalam pembentukan perilaku agresif pada individu.
Selain faktor biologis, faktor psikologis juga memiliki dampak signifikan. Frustrasi, kemarahan, dan kurangnya kontrol impuls adalah beberapa faktor psikologis yang dapat mendorong seseorang untuk mengekspresikan agresivitas. Ketidakmampuan untuk mengelola emosi, terutama ketika terjadi ketegangan atau konflik, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku agresif pada individu.
Faktor sosial juga turut berkontribusi pada pengembangan agresivitas. Paparan terhadap kekerasan, baik melalui media atau pengalaman langsung, dapat membentuk persepsi dan respons seseorang terhadap konflik. Pengaruh teman sebaya juga dapat memainkan peran signifikan, di mana norma-norma dan ekspektasi kelompok dapat membentuk pola perilaku agresif. Norma budaya yang memaafkan terhadap agresi juga dapat memberikan legitimasi pada perilaku tersebut.
Secara keseluruhan, faktor-faktor tersebut saling terkait dan dapat saling memperkuat untuk membentuk tingkat agresivitas seseorang. Pengertian mendalam terhadap dinamika ini dapat membantu dalam merancang strategi pencegahan dan intervensi yang lebih holistik untuk mengelola dan mengurangi tingkat agresivitas pada individu.
Peran pengasuhan dan lingkungan dalam membentuk perilaku agresif
Pendidikan dan lingkungan di mana seseorang tumbuh dan berkembang memegang peranan penting dalam membentuk perilaku agresif. Anak-anak yang terpapar kekerasan di dalam keluarga atau yang mengalami kekerasan secara langsung cenderung lebih mungkin menampakkan perilaku agresif. Suasana lingkungan yang sarat dengan ketegangan dan konflik dapat memiliki dampak negatif pada perkembangan emosional anak-anak, menyebabkan mereka merespons dengan perilaku agresif sebagai bentuk adaptasi terhadap situasi yang dianggap tidak aman.
Paparan terhadap kekerasan melalui media, seperti film, media sosial, dan video game, juga memegang peran penting. Isi media yang menggambarkan tindakan kekerasan dapat membentuk pandangan dan norma sosial, membuat individu kurang sensitif terhadap dampak negatif perilaku agresif. Karena itu, lingkungan media yang dipenuhi dengan kekerasan dapat meningkatkan ketidakpekaan individu terhadap perilaku agresif.
Kualitas pengasuhan menjadi elemen kunci dalam pengembangan agresivitas. Anak-anak yang memiliki figur model yang positif, seperti orang tua atau mentor yang menunjukkan cara penyelesaian konflik yang konstruktif, dapat membentuk pola perilaku yang lebih adaptif. Selain itu, akses yang memadai ke sumber daya pendidikan, termasuk pendidikan formal dan informasi yang mendukung pertumbuhan pribadi, juga dapat mengurangi tingkat agresivitas dengan memberikan alat yang diperlukan untuk memahami dan mengatasi konflik.
Mekanisme psikologis di balik efek domino agresi yang mengarah pada kekerasan
Efek domino dari agresi yang berpotensi menuju kekerasan melibatkan beberapa mekanisme psikologis yang memengaruhi tanggapan dan perilaku individu. Salah satu mekanisme kunci adalah teori belajar sosial, yang menekankan bahwa individu memahami perilaku agresif melalui pengamatan dan peniruan orang lain. Apabila seseorang menyaksikan perilaku agresif yang mendapatkan pujian atau tidak dihukum, kemungkinan besar mereka akan meniru perilaku serupa. Teori belajar sosial mencerminkan kecenderungan manusia untuk meniru dan menginternalisasi perilaku yang dianggap efektif atau memberikan hadiah.
Selain itu, terdapat mekanisme lain yang dikenal sebagai hipotesis frustrasi-agresi. Hipotesis ini menyatakan bahwa ketidakpuasan atau frustrasi dapat menjadi pemicu perilaku agresif sebagai bentuk pelepasan emosi yang tertahan. Artinya, ketika individu menghadapi hambatan atau kesulitan yang menimbulkan rasa frustrasi, mereka cenderung menggunakan perilaku agresif sebagai cara untuk melepaskan ketegangan dan emosi negatif yang terpendam. Hipotesis frustrasi-agresi mencerminkan hubungan antara kondisi psikologis individu dan kecenderungan untuk menunjukkan perilaku agresif sebagai tanggapan terhadap tekanan atau ketidakpuasan.
Kedua mekanisme ini memberikan wawasan tentang bagaimana perilaku agresif dapat menyebar dan menjadi sumber potensi kekerasan. Dengan memahami mekanisme ini, langkah-langkah pencegahan dan intervensi dapat dirancang untuk menangani akar permasalahan dan mengurangi risiko efek domino yang dapat merugikan.
Dampak pengaruh media dan masyarakat terhadap perilaku agresif
Media dan pengaruh sosial memiliki peran utama dalam membentuk perilaku agresif. Film yang mengandung kekerasan, video game, dan musik dengan tema agresif dapat mengurangi sensitivitas individu terhadap dampak negatif perilaku agresif dan menciptakan pandangan bahwa perilaku tersebut adalah sesuatu yang umum. Paparan yang berulang terhadap kekerasan di media dapat menciptakan persepsi realitas yang terdistorsi, di mana tindakan kekerasan dianggap sebagai norma, sehingga meningkatkan kemungkinan individu terlibat dalam tindakan kekerasan.
Peran faktor sosial juga sangat penting. Kemiskinan, ketidaksetaraan, dan kurangnya dukungan sosial dapat menjadi faktor yang ikut berkontribusi pada peningkatan tingkat agresivitas pada individu. Lingkungan sosial yang tidak mendukung, terutama di hadapan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, dapat menciptakan ketegangan yang berpotensi memicu perilaku agresif sebagai respons terhadap ketidakpuasan dan ketidaksetaraan.
Strategi untuk mengelola dan mengurangi agresivitas
Mengelola dan mengurangi agresivitas melibatkan pendekatan yang kompleks, melibatkan berbagai strategi dan keterampilan. Fokus utama adalah pada pengembangan keterampilan Manajemen Emosi yang efektif, membantu individu mengelola emosi dengan baik sehingga mereka dapat merespons situasi frustrasi tanpa mengandalkan perilaku agresif.
Terapi perilaku kognitif (CBT) merupakan pendekatan lain yang terbukti memberikan hasil positif. Dalam CBT, individu mempelajari untuk mengenali dan menantang pola pikir agresif, menggantinya dengan pola pikir yang lebih sehat dan konstruktif.
Upaya untuk meningkatkan empati, keterampilan resolusi konflik, dan komunikasi tanpa kekerasan juga merupakan langkah yang berharga dalam mengurangi tingkat agresivitas. Memahami perasaan dan pandangan orang lain membantu mengembangkan empati, mengurangi kemungkinan terlibat dalam perilaku agresif. Keterampilan resolusi konflik membantu menangani konflik secara positif, sementara komunikasi tanpa kekerasan fokus pada ekspresi diri tanpa melibatkan tindakan fisik atau kata-kata merugikan.
Pendekatan ini, yang melibatkan pengembangan keterampilan manajemen emosi, terapi perilaku kognitif, empati, resolusi konflik, dan komunikasi tanpa kekerasan, menyediakan kerangka kerja yang komprehensif dalam usaha mengelola dan mengurangi tingkat agresivitas.
Pentingnya program intervensi dan pencegahan
Program ini memegang peran penting dalam menangani agresivitas dan mencegah peningkatan kekerasan. Program intervensi dini yang difokuskan pada individu berisiko, terutama anak-anak yang terpapar kekerasan, memiliki potensi untuk menghentikan siklus agresi. Pusat perhatian dari program ini adalah memberikan dukungan, konseling, dan pengembangan keterampilan untuk mendorong mekanisme koping yang sehat, dengan tujuan mengurangi tingkat agresivitas.
Di samping itu, program pencegahan yang melibatkan seluruh komunitas dan mengatasi faktor-faktor sosial yang berkontribusi pada agresi, seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan, memiliki arti penting. Tujuan dari program ini adalah membentuk masyarakat yang lebih aman dan damai dengan mengatasi akar permasalahan sosial yang dapat memicu agresi. Melalui pendekatan komprehensif ini, upaya dapat diarahkan pada pengurangan faktor risiko dan pembentukan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental dan sosial.
Referensi
Afnuhazi, N.R. (2015) Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta, Gosyen Publishing
Atmoko, A. D., Munir, Z., & Ramadhan, G. (2019). Pengaruh Menonton Tayangan Televisi Terhadap Perilaku Agresif Pada Anak Prasekolah. Jurnal Keperawatan Profesional, 7(1).
Baron, R. A. & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial (10th ed: et al Ratna Djuwita., Ed.). Jakarta: Erlangga.
Carpenito, L. J. And Moyet. 2016. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 13. Jakarta: EGC
CNNIndonesia. (2020, Maret 11). Remaja Bunuh Bocah, Antara Abai Lingkungan dan Film Kekerasan. CNNIndonesia.com. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200310080955-12-481983/remaja-bunuh-bocah-antara-abai-lingkungan-dan-film-kekerasan
Crick, N. R., & Grotpeter, J. K. (1995). Relational aggression, gender, and social-psychological adjustment. Child Development, 66(3), 710–722
Erwina, I. (2012). Aplikasi Model Adaptasi Roy pada Klien Resiko Perilaku Kekerasan dengan Penerapan Asertiveness Training di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. NERS Jurnal Keperawatan, 8(1), 66-74.
Estévez Lópe, E., Jiménez, T. I., & Moreno, D. (2018). Aggressive behavior in adolescence as a predictor of personal, family, and school adjustment problems. Psicothema, 30(1), 66–73. https://doi.org/10.7334/psicothema2016.294.
Fitriasari, E., & Astuti, R. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku agresif pada remaja di stimart amni semarang, jawa tengah. FIKkeS, 4(2).
Istiqomah. (2013). Modul Psikologi Sosial: Agresi. Jakarta: Universitas Mercu Buana
Ng, H. K. S., & Chow, T. S. (2017). The effects of environmental resource and security on aggressive behavior. Aggressive behavior, 43(3), 304-314
Priasmoro, D. P., Widjajanto, E., & Supriati, L. (2016). Analisis Faktor-Faktor Keluarga Yang Berhubungan Dengan Perilaku Agresif Pada Remaja Di Kota Malang (Dengan Pendekatan Teori Struktural Fungsional Keluarga). Journal of Nursing Science Update (JNSU), 4(2), pp. 114 – 126.
Sugihartati, Rahma. (2023, Maret 14). Media Sosial dan Tindak Kekerasan Remaja. MediaIndonesia.com. https://mediaindonesia.com/opini/565134/media-sosial-dan-tindak-kekerasan-remaja
Yahya, A. D., & Megalia, M. (2016). Pengaruh Konseling Cognitif Behavior Therapy (CBT) dengan Teknik Self Control untuk Mengurangi Perilaku Agresif Peserta Didik Kelas VIII di SMPN 9 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2016/2017. KONSELI: Jurnal Bimbingan dan Konseling (E-Journal), 3(2), 133-146.
