ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 23 Desember 2024

Keluarga Jawa sebagai Bahan Psikologi Ulayat: Respon untuk Artikel Modernisasi Keluarga Jawa: Apakah Nilai Harmonis Masih Relevan?

Oleh:

Eko A Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pengantar

Artikel ini hendak merespon tulisan dari Suwanto dan Pratiwi mengenai modernisasi kelurga Jawa. Simpulan dari artikel mereka, bahwa kondisi modern saat ini tetap membuat keluarga Jawa menjaga nilai harmonisnya (Suwanto & Pratiwi, 2024). Isu keluarga sendiri menjadi penting saat ini di tengah banyak perubahan sosial dan termasuk teknologi. Walau demikian, keluarga tetap menjadi hal penting secara realita karena di dalam keluarga mekanisme enkulturasi terjadi (Widianto, 2010; Meinarno, Widianto, & Halida, 2015).

Dalam konteks nasional, masyarakat Jawa adalah kelompok yang dalam jumlah adalah besar (berkisar 40%), walau bukan mayoritas. Masyarakat atau suku bangsa Jawa cukup banyak dikaji, baik oleh peneliti dalam negeri maupun luar negeri (lihat Geertz, 1981; Mulder, 1973 atau Koentjaraningrat, 1994; Rahardjo, 2002). Walau bukan menjadi bagian isu utama tentang Jawa, keluarga Jawa tetap diberi porsi dalam kajian tentang Jawa.

Riset Klasik Keluarga Jawa

Keluarga menjadi miniatur masyarakat. Oleh karena itu melatih kerukunan individu sejak dalam keluarga. Tujuan akhirnya kerukunan terbawa dalam interaksi individu dengan individu dalam masyarakat. Keluarga menjadi institusi yang mendesain anggotanya menjadi orang yang sosial (Mulder, 1973). Artinya individu yang berorientasi pada kehadiran orang lain, tidak sebatas mementingkan dirinya.

Bagi masyarakat Jawa (khususnya golongan priyayi) kerukunan pada kelompok adalah hal utama atau cita-cita kehidupan bermasyarakatnya (Mulder, 1983; Koentjaraningrat, 1994; Mulder, 1996). Kerukunan dalam keluarga menjadi modal bagi individu dalam kehidupan nyata. Dalam konteks keluarga, kerukunan dibawa dalam hubungannya dengan tetangga tempat tinggal. Hal ini didasar pemahaman bahwa tetangga lebih dekat daripada saudara, karena mereka tinggal dekat dengan keluarga (Hardjowirogo, 1983). Ditambah bahwa orang Jawa paham bahwa dirinya tidak hidup sendiri. Dirinya hidup bersama orang lain dan saling memberi bantuan atau solidaritas (Mulder, 1983; Koentjaraningrat, 1994).

Mengapa kerukunan menjadi fokus perhatian dari individu/keluarga Jawa? Hal ini terkait dengan konteks pembentukan keluarga. Dalam pembentukan keluarga baru, orang Jawa cenderung mengambil pola tempat tinggal neolokal. Terlepas dari tempat tinggal orang tuanya. Pasangan menikah ini membangun keluarganya dan rumah tangga sendiri (rumah tangga dan keluarga berbeda, lihat Meinarno, 2010).

Berdasar kajian-kajian klasik mengenai keluarga Jawa, maka tulisan yang diajukan oleh Suwanto dan Pratiwi (2024) menunjukkan bahwa tema kerukunan bertahan bagi masyarakat Jawa. Setidaknya berdasar kajian-kajian klasik sebelum tahun 2000. Hal yang menantang selanjutnya adalah apa kira-kira latar dari kerukunan keluarga Jawa?

Kerukunan itu Dibangun

Masyarakat Jawa tercatat dalam sejatah sebagai masyarakat yang berciri hubungan yang mementingkan keseragaman (Rahardjo, 2002). Ciri ini tampaknya menjadi jangkar pikir atas kerukunan masyaratnya. Untuk membangun kerukunan dimulai dari keluarga. Namun kerukunan itu sendiri bukan berarti muncul dengan sendirinya. Artikel ini hendak menawarkan fakto-faktor yang membangun kerukunan (rukun) dalam keluarga. Pertama adalah kontrol sosial, kedua toleransi, dan yang ketiga mengetahui posisi diri.

Kontrol sosial. Kuatnya kontrol sosial juga meliputi bagaimana bertingkah laku terhadap pasangan. Kajian Koentjaraningrat mencatat bahwa perlakuan suami terhadap istri harus sopan, tidak bertindak kasar, atau bahkan memukul mereka (Koentjaraningrat, 1994). Hal ini berlaku pada semua lapisan masyarakatnya. Pada anak-anak juga demikian. Anak diperkenalkan rasa malu agar tingkah laku terjaga khususnya kepada orang lain. Hubungan anak terhadap orang tua diwarnai rasa patuh terhadap orang tua (Mulder, 1983; Mulder, 1996). Kepatuhan ini terjadi karena anak merasa aman bersama orang tuanya. Ibu adalah tokoh utama dalam keluarga yang menyayangi, yang baik, dan lain-lain (Suseno, 1988; Sardjono, 1992). Posisi ayah adalah pelindung dan penjamin kehidupan (Suseno, 1988). Oleh karena itu tingkah laku yang pantas, sesuai harapan orang tua akan membawa keluarga rukun.

Toleransi. Menghargai pendapat orang lain yang merupakan wujud dari menjaga perasaan orang lain (Mulder, 1973). Individu dilatih sejak awal dalam keluarga untuk tidak menimbulkan konflik. Konflik dimungkinkan ketika ada anggota keluarga yang tindakannya melampaui batasan atau tatanan sosial yang baik (Mulder, 1985). Latihan toleransi itu terjadi dalam keluarga. Batas toleransi dalam keluarga justru sempit, sebaliknya dalam interaksi sosial batas toleransi melebar. Hal ini didasari bahwa selama tidak ada gangguan dari pihak luar maka tidak perlu ada tindakan. Sebaliknya dalam keluarga, karena hendak membangun norma, terkadang perlu ada tindakan pantas agar norma yang dibangun tercapai.

Mengetahui posisi diri. Bagi orang Jawa memahami posisi diri khususnya kedudukannya menjadi perhatian utama. Hal ini terkarit dengan bagaimana cara berinteraksi dan merespon terhadap orang lain (mirip aksi-reaksi) yang pantas. Respon yang pantas ini diperlukan agar tidak tingkah laku terjaga, tidak mudah membuat orang marah (Geertz, 1981). Pengetahuan posisi diri atau peran ini diajarkan dalam keluarga (Mulder, 1983). Sebagai contoh, anak tahu posisi tinggi orang tua karena dimaknai sebagai awal mula kehidupan anak (Mulder, 1999). Pemahaman peran ini yang kelak diharapkan individu sebagai modal keamanan sosialnya.  

Dapatkah Dibangun Skalanya?

Tantangan ini tampaknya bukan sekedar alasan biasa. Riset tentang keluarga telah banyak, terlebih dari luar negeri. Hal ini terlihat dari riset analisis skala keharmonisan keluarga/Family Harmony Scale/FHS-24 (Kavikondala et al.) oleh Fauziah, Hartini, Hendriani, dan Fajriyanthi (2021). Tampaknya skala itu cukup banyak dijadikan pengukuran mengenai keharmonisan keluarga.

Artikel sederhana ini memberi peluang atas kerukunan keluarga. Penulis menawarkan tiga faktor terbentuknya kerukunan keluarga. Tentu tawaran ini bukan harga mati, tapi membuka peluang diskusi yang konstruktif untuk membangun pemahaman kerukunan keluarga yang selama ini didominasi ide keharmonisan keluarga yang berasal dari luar negeri.

Penutup

Tentu telaah artikel ini menjadi peluang bagi pemerhati tentang keluarga, dan khususnya berlatar suku bangsa Jawa. Hal ini selaras dengan perlunya pengembangan psikologi yang ulayat bagi Indonesia (Sarwono, 2012). Merujuk pada definisi psikologi ulayat dari Uichol Kim yang dipinjam oleh Sarwono (2012) yakni “studi ilmiah tentang perilaku dan minda (mind) manusia yang berasal dari dirinya sendiri (native), yang tidak dibawa dari daerah lain, dan dirancang untuk orang-orang itu sendiri”. Hal ini dapat menjadi dasar bagi pembuatan skala kerukunan keluarga yang khas Indonesia.

Daftar Pustaka

Fauziah, N., Hartini, N., Hendriani, W., & Fajriyanthi, F. (2021). Confirmatory Factor Analysis Pada Pengukuran Keharmonisan Keluarga (FHS-24). Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 14(3), 227-240.

Geertz, C. (1981). Abangan, santri, priyayi, dalam masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta.

Geertz, H. (1983). Keluarga Jawa. Grafiti Pers. Jakarta.  

Hardjowirogo, M. (1983). Manusia Jawa. Yayasan Idayu. Jakarta.

Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta.

Meinarno, EA. (2010). Konsep dasar keluarga. Dalam Keluarga Indonesia: Aspek dan dinamika zaman. Penyunting Karlinawati Silalahi dan Eko A Meinarno. Rajawali Pers. Depok.

Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. (2015). Manusia dalam kebudayaan dan masyarakat. Salemba Humanika. Jakarta.

Mulder, N. (1973). Kepribadian Jawa dan pembangunan nasional. Gajah Mada University Press dan Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.

Mulder, N. (1983). Kebatinan dan hidup sehari-hari orang Jawa: Kelangsungan dan perubahan kulturil. Gramedia. Jakarta.

Mulder, N. (1985). Pribadi dan masyarakat di Jawa. Sinar Harapan Jakarta.

Mulder, N. (1999). Agama, hidup sehari-hari dan perubahan budaya Jawa, Muangthai, dan Filipina. Gramedia. Jakarta.

Rahardjo, S. (2002). Peradaban Jawa: Dinamika pranata politik, agama, dan ekonomi Jawa kuno. Komunitas Bambu. Jakarta.

Sardjono, MA. (1992). Paham Jawa: Menguak falsafah hidup manusia Jawa lewat karya fiksi mutakhir Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.

Sarwono, S. W. (2012). Psikologi ulayat. Jurnal Psikologi Ulayat, 1(1), 1-16.

Suseno, FM. (1988). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Gramedia. Jakarta.

Suwanto, Y., Pratiwi, PC. Modernisasi Keluarga Jawa: Apakah Nilai Harmonis Masih Relevan? Buletin KPIN. Vol. 10 No. 22 November 2024. https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1668-modernisasi-keluarga-jawa-apakah-nilai-harmonis-masih-relevan.

Widianto, B. (2010). Keluarga dan ekulturasi anak. Dalam Keluarga Indonesia: Aspek dan dinamika zaman. Penyunting Karlinawati Silalahi dan Eko A Meinarno. Rajawali Pers. Depok.