ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 23 Desember 2024
Dampak Kehilangan Ayah di Usia Dini pada Perkembangan Anak dan Solusinya
Oleh
Vidya Maulani
Fakultas Psikologi, Universitas Jendral Ahmad Yani Yogyakarta
Kematian ialah peristiwa yang akan dialami oleh semua makhluk hidup (Januarto, 2019). Kehilangan ayah adalah pukulan besar bagi setiap keluarga, terutama anak-anak. Peran ayah sebagai pemimpin dan fondasi keluarga meninggalkan kekosongan besar yang sulit digantikan. Apa yang terjadi pada anak-anak yang kehilangan ayah sejak dini, terutama dalam masa-masa penting perkembangan?. Menurut data dari Badan Pusat Statistik 2022, terdapat 4,90% wanita yang menjadi kepala keluarga. Persentase tersebut menjadi sebuah asumsi bahwa wanita yang menjadi kepala keluarga ialah wanita yang ditinggalkan suaminya dan ia harus menjadi pemimpin dalam keluarga (Saputri, 2016). Seimbangnya sebuah keluarga biasanya terdiri atas ibu, ayah, dan anak, dengan adanya ketiadaan dari salah satu orang tua, hal itu akan menjadi sebuah ketidak seimbangan keluarga. Ketidak seimbangan keluarga akan menyebabkan perkembangan anak terganggu, karena setiap orang tua memiliki peran dalam perkembangan anak (Ardiati, 2018).
Masa golden age, yaitu usia 4-6 tahun adalah periode kritis dimana anak-anak mengalami perkembangan pesat, baik secara fisik, kognitif, maupun emosional (Santrock, 2019). Pada masa golden age terjadi proses pembentukan kognitif, nilai agama, dan sosioemosi anak. Sosok ayah memiliki peranan penting dalam membentuk emosional anak (Novela, 2019). Idealnya suatu keluarga ialah ketika ayah dan ibu saling bekerja sama dalam membantu proses perkembangan anak, baik itu perkembangan sosioemosi, perkembangan fisik, maupun perkembangan kognitif. Anak yang masa pertumbuhan dan perkembangannya di dampingi oleh sosok ayah, ia akan jauh lebih mandiri dan berani dibandingkan anak yang masa perkembangannya tidak di dampingi oleh ayah (Paquette, 2004). Ayah biasa dikatan sebagai cinta pertama anak perempuannya dan super hero bagi anak laki-lakinya. Anak-anak dapat berkata demikian karena interaksi antara ayah dan anak-anaknya sangat baik, bonding dan chemistry yang terjalin sudah berhasil, karena ia melihat cinta dari ayahnya. Bagaimana dengan anak yang sudah kehilangan sosok ayah sejak dini? Anak yang kehilangan sosok ayahnya sejak dini cenderung mudah berkecil hati (Filsa Okta Aulia, 2024). Kecil hati atau rendah diri merupakan suatu aspek yang buruk dalam diri seseorang, terlebih pada anak-anak. Anak akan cenderung tidak percaya diri, menarik diri dari lingkungan sosial, dan engan berinteraksi dengan orang lain. Ketika situasi tersebut terjadi, maka perkembangan sosioemosi anak akan buruk, terlebih ketika permasalahan tersebut terjadi pada masa transisi dari masa pra operasional ke tahap operasional konkrit, yang menyebabkan timbulnya beberapa masalah besar seperti terlambat bicara. Terlambat bicara terjadi karena kurangnya interkasi dengan sekitar (Wijayaningsih, 2018) dan bahkan dengan ibunya yang masih dalam kondisi stress karena ketiadaan sosok suami.
Pada kondisi ini, pasti terdapat solusi bagaimana agar anak tidak merasa kehilangan peran ayah meskipun sosoknya tidak ada. Langkah pertama adalah ibu belajar menerima keadaan dan fokus menjalankan peran ganda. Ibu dapat menggantikan peran ayah dengan memberikan rasa aman dan mendampingi anak secara emosional. Selain itu, mengajak anak bergabung dalam lingkungan sosial yang positif, seperti komunitas bermain atau kegiatan anak, agar anak tidak mengalami kondisi keterpurukan dan ia tidak menjadi individu yang menutup diri dari lingkungan, karena dari lingkungan yang positif perkembangan sosialnya dan rasa percaya dirinya akan meningkat (Wahyuni, 2017). Langkah terakhir ketika nantinya anak sudah mulai mengerti akan ketiadaan sosok ayah dalam hidupnya, ibu sebagai orang tua tunggal dapat menjelaskan mengenai hal tersebut secara baik dan pelan-pelan agar anak dapat mencerna dan menerima kondisi. Kehilangan ayah adalah ujian berat bagi seorang anak, tetapi dengan dukungan yang tepat dari ibu dan lingkungan sekitar, anak dapat tetap tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan resilien. Dalam setiap tantangan, selalu ada peluang untuk membangun kekuatan baru dalam keluarga
Referensi :
Ardiati, R. K. (2018). Peran Orang Tua Dalam Perkembangan Kepribadian Anak Usia Dini. Indonesian Journal of School Counseling, 3(3), 73-79. doi:http://dx.doi.org/10.23916/08413011
Filsa Okta Aulia et al. (2024). Systematic Literature Review (SLR): Fenomena Fatherless Dan Dampaknya Yang Menjadi Salah Satu Faktor Kegagalan Dalam Keberlangsungan Kehidupan Anak. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Non Formal, 2(1).
Januarto, A. (2019). KEMATIAN ADALAH KEHIDUPAN: Metafora Konseptual Kematian Dalam Islam Di Indonesia. Kajian Linguistik pada Karya Sastra.
Badan Pusat Statistika. Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin, dan Hubungan dengan Kepala Rumah Tangga, INDONESIA. (2022).
Novela, T. (2019). Dampak Pola Asuh Ayah Terhadap Perkembangan Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 3(1), 16-29. doi:https://doi.org/10.19109/ra.v3i1.3200
Paquette, D. (2004). Theorizing the Father-Child Relationship: Mechanisms and Developmental Outcomes. Human Development, 47(4), 193-219. doi:https://psycnet.apa.org/doi/10.1159/000078723
Santrock, J. W. (2019). Life-Span Development (17 ed.). New York: McGraw-Hill Education.
Saputri, E. Y. (2016). Peran Wanita Sebagai Kepala Keluarga Dalam Melaksanakan Fungsi Keluarga Di Kelurahan Sungai Merdeka Kecamatan Samboja. Journal Sosiatri-Sosiologi, 212-226.
Wahyuni, S. (2017). Upaya Meningkatkan Kepercayaan Diri Anak Usia Dini Melalui Metode Bercerita Di Kelompok B RA An-Nida. Jurnal Raudhah, 5(2). doi:http://dx.doi.org/10.30829/raudhah.v5i2.177
Wijayaningsih, L. (2018). Peran Pola Asuh Orang Tua Dalam Meningkatkan Kemampuan Bicara Anak Speech Delay (Studi kasus di Homeschooling Bawen Jawa Tengah). 34(2), 151-159. doi:https://doi.org/10.24246/j.sw.2018.v34.i2.p151-159