ISSN 2477-1686 

Vol. 10 No. 09 Mei 2024

 

Empati Pada Pekerja Rumah Tangga

 Oleh:

Nicholas Simarmata, Dian Jayantari Putri K. Hedo

Program Studi Psikologi, Universitas Udayana

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

 

Pekerja rumah tangga adalah insan dan profesi yang sangat dibutuhkan bagi sebagian keluarga di Indonesia terutama di daerah perkotaan. Bagi sebagian keluarga, ditinggal mudik pekerja rumah tangga saat Lebaran adalah urusan genting. Pekerjaan domestik yang tadinya diurus pekerja rumah tangga tiba-tiba berjejer di hadapan. Dari survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2015, pekerja rumah tangga di Indonesia sedikitnya berjumlah 4,2 juta orang. Bayangkan jika separuh dari 4,2 juta itu mudik atau memutuskan libur pada Lebaran 2024. Kemungkinan bakal ada sekitar 2 juta keluarga yang akan kerepotan (Alfajri, 2024).

Namun pekerja rumah tangga juga mengalami banyak kasus tindak kekerasan dan eksploitasi. Selain upah yang jauh dari layak, fasilitas yang tidak memadai, dan jam kerja yang panjang, tidak jarang ada pekerja rumah tangga yang meninggal karena dianiaya majikannya. Berdasarkan catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), sejak tahun 2012 hingga tahun 2020 tercatat kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga cenderung terus naik. Jika pada tahun 2012 ada 327 kasus maka pada tahun 2020 naik menjadi 842 kasus.

Jenis kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga sebagian besar (41 persen) adalah tindak kekerasan psikis, yakni berupa tindak pelecehan, perendahan, isolasi atau penyekapan, dan pencemaran nama baik. Sebanyak 37 persen pekerja rumah tangga lainnya mengalami kekerasan ekonomi, seperti tidak diberi upah yang layak, menjadi korban pemutusan hubungan kerja karena sakit, dan tidak jarang pula pekerja rumah tangga yang tidak mendapatkan tunjangan hari raya karena tindakan sepihak majikannya. Sisanya 22 persen, pekerja rumah tangga mengalami multi-kekerasan berupa kekerasan seksual hingga pencederaan fisik yang parah.

Dibandingkan dengan beban kerja yang harus ditanggung, besarnya gaji pekerja rumah tangga sering kali tidak sepadan. Di kalangan pekerja rumah tangga yang menginap, sudah bukan rahasia lagi mereka umumnya harus bekerja tanpa batas waktu. Mereka bekerja nyaris 24 jam, tergantung pada perintah majikannya. Beban pekerjaan mereka tidak hanya memasak, mencuci, menyetrika, dan mengasuh anak majikan, tetapi tidak jarang juga berbagai pekerjaan lain, seperti memijat majikan, membawa anjing peliharaan majikan jalan-jalan, dan lain sebagainya yang sebetulnya bukan menjadi tanggung jawab pekerja rumah tangga. Laporan Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, bagi pekerja rumah tangga yang menginap di rumah majikan sekaligus tempat kerjanya, mereka umumnya rawan diperlakukan salah karena harus bekerja lebih dari 40 jam per minggu. Selama tahun 2013 hingga tahun 2015, dilaporkan terjadi tren kenaikan pekerja rumah tangga dengan persentase jam kerja lebih dari 12 jam per hari. Jika pada tahun 2013 hanya 1,04 persen pekerja rumah tangga yang bekerja lebih dari 12 jam per hari, pada tahun 2015 jumlahnya naik menjadi 2,07 persen (Suyanto, 2023).

Sepanjang bulan Februari tahun 2024, setidaknya ada tiga kasus kekerasan pekerja rumah tangga yang terungkap. Hanya berselang beberapa hari, kembali terungkap lima pekerja rumah tangga yang berusaha kabur dari rumah majikannya di Jatinegara Timur, Jakarta Timur. Kelima pekerja rumah tangga tersebut diduga disekap dan disiksa majikan mereka sehingga akhirnya nekat melarikan diri dengan cara memanjat dan menerobos pagar lalu melompat keluar hingga terluka. Dua di antara pekerja rumah tangga korban itu berusia 17 tahun. Mencuatnya kasus demi kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga menunjukkan betapa lemah posisi pekerja rumah tangga. Data Jala PRT menunjukkan, terdapat 3.308 kasus kekerasan pekerja rumah tangga sepanjang tahun 2021 sampai Februari tahun 2024 (Sinombor, 2024).

Lalu apa yang bisa kita (warga/masyarakat) lakukan dari pendekatan ilmu psikologi? Salah satunya adalah melakukan empati. Kata empati ditemukan pada tahun 1909 oleh E.B. Titchener. Empati adalah kemampuan untuk mengenali dan berbagi rasa dengan sesama (Rachman & Latuputty, 2017). Empati adalah kemampuan untuk berbagi dan memahami keadaan pikiran dan emosi orang lain. Itu sering ditandai sebagai kemampuan untuk menempatkan diri dalam perspektif orang lain (Ioannidou & Konstantikaki, 2008; Asmarayani, 2015). Empati merupakan suatu kecenderungan untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andaikata dia dalam situasi orang lain tersebut. Dengan empati, orang menggunakan perasaannya dengan efektif di dalam situasi orang lain yang didorong oleh emosinya (Ahmadi, 2003). Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain (Wardhati & Faturochman, 2006).

Jika kita mengadaptasi Daniel Goleman dalam karyanya yang berjudul Focus-The Hidden Driver of Excellence maka kita bisa mempelajari bahwa salah satu kompetensi (sosial) yang penting adalah empati. Empati mengarahkan fokus kita, fokus kepada pihak lain yang memuluskan hubungan kita dengan orang dalam kehidupan kita. Secara singkat disebutkan ada empati kognitif (aku memahamimu), empati emosional (aku merasakan sakitmu), kepedulian empatis (aku disini untukmu) (Tjahjono, 2017).

Empati membuat kita mampu menempatkan diri di tempat orang lain. Empati membuat kita peka terhadap derita orang lain. Dengan empati, kita justru ikut berduka atas kemalangan orang lain (Kurnia, 2018). Seorang dikatakan berempati bila ia berpikir sejenak dan berusaha memhami pikiran, perasaan, reaksi, pertimbangan dan motivasi orang lain. Jadi empati adalah kegiatan berpikir individu menganai ”rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengn orang lain. Empati tidak boleh dipraktikan secara selektif dan memilih-milih (Rachman & Savitri, 2006).

Empati terhadap situasi, kondisi, dan profesi pekerja rumah tangga membuat kita sadar bahwa setiap orang dan setiap pekerjaan punya peran penting di dalam perkembangan keluarga, masyarakat bahkan bangsa. Empati menjadikan kita manusia yang seutuhnya untuk tidak menambahkan buruknya situasi pekerja rumah tangga yang masih mengalami banyak kasus penyiksaan hingga belum kunjung disahkannya Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga. Dengan empati terhadap pekerja rumah tangga maka kita bisa lebih tepat untuk menghargai mereka dan memperlakukan dengan semestinya seperti kita juga ingin diperlakukan dengan baik. 

Referensi:

Ahmadi, A. (2003). Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Alfajri, I. (2024, 4 April). ”Menangis” karena Si Mbak Mudik Lebaran: Rumah Tangga. Halaman 2.

Asmarayani, F. (2015). Hubungan Antara Empati Dan Komitmen dengan Pemaafan Dalam Hubungan Persahabatan Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri, Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru.

Ioannidou, F. & Konstantikaki, V. (2008). Empathy and Emotional Intelligence: What is it really about?. International Journal of Caring Sciences, 1(3):118–123.

Kurnia, J.R. (2018, 24 Juli). Empati. KOMPAS.

Rachman, E. & Latuputty, B. (2017, 30 September). Empati, Kunci Merangkul Bawahan. KOMPAS.

Rachman, E. & Savitri, S. (2006, 18 November). Asah empati. KOMPAS.

Sinombor, S.H. (2024, 2 Maret). ”Saya Mau Pulang Kampung Saja...”. KOMPAS.

Suyanto, B. (2023, 6 Februari). Pelindungan PRT, Siapa Peduli. KOMPAS.

Tjahjono, H. (2017, 31 juli). Matinya Empati Sosial. KOMPAS.

Wardhati, L.T. & Faturochman. (2006). Psikologi pemaafan. Buletin Psikologi. Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada