ISSN 2477-1686

 

Vol. 10 No. 05  Maret 2024

 

 

Cyberbullying: Masalah Kesehatan Mental vs Pembentuk Kepribadian

Oleh:

Raditya Ndaru Aji, Dhani Irmawan

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

“Bullying adalah suatu tindakan buruk yang secara sadar dilakukan oleh pelaku dengan maksud menyakiti seseorang dan menempatkannya dibawah tekanan” ~Delwyn Tattum & Eva Tattum

Anggapan orang terhadap kasus cyberbullying masih dianggap enteng dan perilakunya masih dianggap wajar. Pelaku dan korban cyberbullying akan selalu ada di dalam dunia internet dan tak akan pernah berhenti terjadi. Pada kenyataannya, korban cyberbullying sedang mencoba bertahan dari serangan bullying di dalam dunia internet. Depresi, ingin ketenangan, dan berjuang adalah pertahanan korban cyberbullying untuk melawan traumanya terhadap media sosial. Parahnya, ada yang mencoba melakukan self harm, apalagi merasa terbebani adanya tekanan yang berat, sehingga tak sedikit yang mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Begitulah efek yang besar akibat dari cyberbullying, suatu sisi gelap penggunaan internet yang dapat membawa petaka berujung kematian. Cyberbullying tidak lepas dari adanya penggunaan internet. Menurut survei yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelanggara Jaringan Internet Indonesia) tahun 2017, Indonesia dalam penggunaan internet mencapai 132,7 juta (51,8%) dari total penduduk 256,2 juta. Selain itu, Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki kasus bullying tertinggi kedua di dunia yang banyak dilakukan di media sosial. Sedangkan, kasus bullying pada urutan pertama adalah Jepang dan urutan ketiga adalah Amerika Serikat (Satalina, 2014). Kasus cyberbullying paling banyak dialami oleh kalangan remaja perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Didapatkan responden sebanyak 172 orang diantaranya adalah perempuan sebanyak 99 orang atau sekitar 58% dan sisanya laki-laki yaitu 73 orang atau sekitar 42% (Sartana & Afriyeni, 2017). Pelaku cyberbullying memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan untuk melakukan tindakan perilaku agresi. Tindakan ini dilakukan berulang kepada korban, tindakan yang disengaja, dan saling bermusuhan dimaksudkan untuk menyakiti korban (Vandenbosch & Lelia, 2019). Sama halnya penggunaan internet, komputer, handphone, perekam video/audio yang dimanfaatkan dengan mengirimkan pesan teks, gambar atau video yang bersifat mengancam, meneror atau menyebar rumor yang mengakibatkan korban merasa rendah diri dan tersakiti. Apalagi jika unggahan tersebut sudah tidak dapat dihapus kembali dan menjadi konsumsi publik berkali-kali (Shelley et al. 2009).

Menyerang Kesehatan Mental

Korban cyberbullying mengalami permasalahan kesehatan mental akibat adanya proses bullying melalui media sosial dan internet. Korban merasa terbayang-bayang oleh cacian yang berasal dari media sosial sehingga mengakibatkan terganggunya kehidupan sehari-hari. Sebuah komentar seseorang di platform media sosial akan mempengaruhi ribuan komentar lainnya. Orang lain akan ikut melakukan bullying meskipun ada beberapa orang yang membela, namun hal itu tidak akan mampu memperkuat mental korban dikarenakan derasnya serangan komentar pada korban dan derasnya arus informasi yang terus berlanjut (Lestari, 2021). Secara psikis, korban cyberbullying merasa takut dan tidak tenang jika mendapat gangguan dari pelaku, merasa tidak aman ketika dihadapi situasi yang sama seperti apa yang telah dialami sebelumnya, merasa sedih karena dianggap rendah oleh teman-temannya, menjadi menarik diri dan lebih berhati-hati dalam bertindak agar orang lain tidak menilai salah, merasa lebih sensitif dalam menanggapi hal-hal tertentu, menangis ketika mengingat apa yang telah dilakukan pelaku, lebih selektif ketika akan menggunggah foto atau konten di akun media sosial, mengurangi intensitas dalam mengakses akun media sosial, merasa malu ketika ada komentar negatif di akun media sosial miliknya serta muncul rasa tidak percaya diri (Putri, 2018).

Merubah Diri Menjadi Kuat!

Memiliki resiliensi adalah jawaban atas apa yang harus dimiliki oleh korban cyberbullying. Resiliensi diartikan sebagai suatu kemampuan individu dalam menghadapi, mengatasi, dan melakukan suatu perubahan dalam diri setelah mengalami suatu peristiwa yang berat bagi dirinya (Husamah, 2015). Mampu mengendalikan emosi artinya tidak mudah emosi, mengontrol impuls artinya mampu mengendalikan hal-hal yang memicu pemikiran negatif untuk bertindak agresif, optimis artinya mampu memandang setiap masalah memiliki pemecahannya, mampu menganalisa setiap masalah agar dapat bersikap tenang dan berusaha lebih bijak dalam memahami setiap perspektif yang berbeda, memiliki self efikasi untuk memunculkan rasa percaya dalam diri bahwa apapun masalahnya pasti bisa diselesaikannya (Reivich & Shatte, 2002). Peristiwa yang dialami akibat dari cyberbullying membentuk perubahan diri untuk menjadi lebih kuat. Menurut riset dari Ainal (2021) tentang dampak positif tindak bullying terhadap korban dalam kalangan mahasiswa/mahasiswi, sebanyak 51 responden terdapat 20 responden merasakan dirinya lebih kuat, 17 responden merasa lebih berani, dan 16 responden merasa terpacu untuk berprestasi. Dorongan menjadi lebih kuat dipicu lantaran adanya pengalaman bullying yang telah dialami dan tak ingin tindakan tersebut terulang kembali. Selain itu, individu tersebut akan merasa lebih berani dari sebelumnya, tidak merasa takut serta akan melawan bentuk bullying agar terhindar dan tidak mengalami kejadian yang serupa. Bangkit dari cyberbullying menekankan kita untuk membuktikan bahwa kita bisa melawannya dan menjadi pribadi yang lebih baik daripada pelaku cyberbullying itu sendiri.

Referensi:

Ainal, R. (2021). Dampak Positif Tindak Bullying Terhadap Korban Dalam Kalangan Mahasiswa/Mahasiswi. Kumparan. Diakses pada tanggal 25 Januari 2024. Retrieved from: https://kumparan.com/mrayhanainaliwd/dampak-positif-tindak-bullying-terhadap-korban-dalam-kalangan-mahasiswa-i-1v0GEkPVuAC/full

APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2017). Profil Pengguna Internet Indonesia 2016. Jakarta: Tim Poling Indonesia.

Husamah. (2015). Kamus Psikologi. Yogyakarta: Andi Offset

Lestari, F. (2021). Sisi Kelam Media Sosial: Cyber Bullying Pembunuh Mental. LPM Mata. Retrieved from: http://www.lpmmata.com/2021/11/sisi-kelam-media-sosial-cyber-bullying.html

Putri, M. H. (2018). Dinamika Psikologis Korban Cyberbullying. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor. New York: Random House, Inc.

Sartana & Afriyeni. N. (2017). Perundungan Maya (Cyberbullying) pada Remaja Awal. Jurnal Psikologi Insight. Vol 1 No 1. Hal 30-31.

Satalina, D. (2014). Kecenderungan Perilaku Cyberbullying Ditinjau dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2(2), 294–310. https://doi.org/https://doi.org/10.22219/jipt.v2i2.2003

Shelley E. T, Peplau, L, G, & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial Edisi Ke-1. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

 

Vandenbosch Heidi & Lelia Green. (2019). Narratives in Research and Interventions on Cyberbullying among Young People. Springer Nature Switzerland AG 2019. https://doi.org/10.1007/978-3-030-04960-7