ISSN 2477-1686 

 

Vol. 9 No. 22 November 2023

 

Kesejahteraan Psikologis: Tinggalkan Languishing, Raih Flourishing

 

Oleh:

Murni Widya Ningsih

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Telah lama topik mengenai kesejahteraan psikologis menjadi pembahasan yang mendunia. Ryff (1989) mengembangkan teori mengenai kesejahteraan psikologi ini yang dikenal dengan istilah Psychology Well-Being. Penelitian tersebut pada akhirnya mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi seseorang yang dapat menerima dirinya secara utuh dengan sikap positif disertai tingkat kepuasan yang baik terhadap diri, memiliki kemampuan melakukan interaksi yang baik dengan orang lain dengan hangat dan sehat, memiliki kemandirian dalam menyikapi tekanan sosial, berkemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan eksternal, memiliki pemaknaan hidup yang baik bersama tujuan dan nilai-nilai pribadi, sampai memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri sehingga terealisasi secara kontinyu. Belakangan Hardjo, Aisyah, dan Mayasari (2020) menyepakati bahwa kesejahteraan psikologis merupakan unsur yang sangat esensial dan perlu mendapatkan perhatian, sehingga perlu ditumbuhkan agar memiliki kekuatan dalam menghadapi tanggung jawab serta mencapai potensi yang dimiliki oleh seseorang. Selanjutnya Sari dan Monalisa (2021) menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis ditandai dengan seseorang telah mendapatkan kebahagiaan, rasa puas terhadap kehidupannya, dan tidak terdapat gejala depresi. Tentu kesejateraan psikologis tidak berlangsung dengan mudah untuk dapat diraih, bahkan membutuhkan effort yang penuh dengan kesungguhan menurut Kasturi dan Mulati (2023).

 

Membahas mengenai kesejahteraan psikologis, Keyes (2002) menyebutkan bahwa terdapat dua kondisi psikologis yang dialami oleh seseorang dalam keseharian yakni languishing dan flourishing. Tingkat kesejahteraan psikologis seseorang dapat tercermin dari kedua kondisi psikologis tersebut. Hal ini membuat Seligman (2018) menegaskan, bahwa untuk meraih kesejahteraan psikologis yang tinggi diperlukan kemampuan untuk memahami bagaimana perbedaan antara languishing dan flourishing dengan menggunakan model PERMA yang merupakan singkatan dari Positive emotion, Engagement, Relationship, Meaningfullness, Accomplishment. Kelima hal tersebut merupakan elemen-elemen kunci untuk dapat meraih kesejahteraan psikologi. Lebih lanjut Seligman (2018) menekankan bahwa kesejahteraan yang bertaraf optimal hanya dapat dicapai dengan memenuhi semua elemen tersebut. Menjadi kelengkapan dengan relevansi yang baik untuk menerapkan model PERMA seperti yang dipaparkan oleh Seligman (2018) apabila seseorang dapat membedakan kondisi psikologisnya apakah sedang berada dalam kondisi languishing atau sedang dalam kondisi flourishing.

 

Bagaimanakah kondisi languishing?

Kasturi dan Mulati (2023) dalam buku yang berjudul Psikologi Kebahagiaan Membedah Kebahagiaan dalam Perspektif Psikologi Positif, menguraikan sebuah penelitian pada tahun 2002 yang dilakukan oleh Corey L.M. Keyes dalam The Mental Health Continuum: From Languishing to Flourishing in Life. Menyebutkan bahwa kondisi languising dimaknai sebagai suatu kondisi atau keadaan dimana seseorang secara intrinsik merasakan kelelahan dalam melakukan aktifitas sehari-harinya, disertai dengan perasaan terkungkung dalam masalah yang dialami, sehingga tidak kuasa menggunakan kemampuan dengan maksimal untuk melakukan sesuatu secara produktif. Kondisi seperti ini dapat dialami oleh orang yang mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan kesulitan berkomunikasi mengutarakan buah pikiran secara benar kepada orang lain. Lebih lanjut dijelaskan oleh Kasturi dan Mulati (2023) bahwa kondisi languishing ini merupakan keadaan jiwa yang kosong dan mengalami stagnansi, yang memperlihatkan keputusasaan dalam menjalankan peran hidup dan tidak fokus menatap masa depan. Orang yang mengalami kondisi languishing cenderung kehilangan pemaknaan terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di dalam hidup yang dijalani. Biasanya pada orang yang mengalami languishing ini juga tampak jenuh dengan perilaku yang mengalami kelesuan secara berkelanjutan.

 

Bagaimanakah kondisi flourishing?

Menurut Seligman (2013) flourishing diartikan sebagai rentetan pengalaman kehidupan seseorang yang berlangsung secara optimal dari masa ke masa. Keoptimalan tersebut mencakup aspek yang terukur secara kuantitatif maupun kualitatif yang terus saja mengalami peningkatan kinerja terhadap segala aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Penelitian dari Njotowibowo, dan Engry (2023) menyebutkan bahwa Arif (2016) memiliki definisi mengenai flourishing yakni suatu keadaan seseorang yang memperlihatkan perkembangan yang baik terhadap potensi diri dan dikelola dengan optimal agar berfungsi secara efektif dengan kekuatan yang ada pada diri. Menelisik hal serupa, Kasturi dan Mulati (2023) menyebutkan bahwa Huppert dan So (2013) menambahka pemaknaan terhadap flourishing, yakni merupakan kombinasi yang didapatkan dari kondisi good feeling yang berfungsi secara efektif.

 

Kondisi flourishing yang disebutkan oleh Huppert dan So (2013) ini menunjukkan bahwa seseorang telah mencapai kesejahteraan dan keadaan mental yang terbilang sehat. Secara kognitif, afektif, dan spiritual berada dalam keadaan stabil yang mendorong diri untuk mendayagunakan kemampuan diri secara optimal, sehigga dapat menciptakan hubungan berkualitas dengan orang lain dan peningkatan kinerja. Hal-hal tersebut merupakan gambaran seseorang yang berada dalam kondisi flourishing. Tiada hari tanpa kelesuan, hanya terdapat semangat penuh energi untuk terus berkembang dengan suasana hati yang penuh warna dan menyenangkan, walaupun harus menghadapi berbagai rintangan, namun orang yang flourishing akan melihatnya sebagai bentuk challenge. Kondisi flourishing ini membuat seseorang dapat menampilkan sisi positif yang penuh gejolak antusias dalam melaksanakan setiap aktivitas harian.

 

Lebih lengkap Kasturi dan Mulati (2023) menguraikan bahwa suasana hati bagi seseorang yang dalam kondisi flourishing tampak mengalir menyatu dengan perjalanan hidup. Pribadinya mengakui bahwa akan selalu ada yang tidak sependapat dengannya, tetapi itu tidak menghambatnya untuk tetap melangkah dalam upaya mempertahankan nilai-nilai yang diyakini. Bahkan orang dengan kondisi flourishing tidak akan terpaku pada pendapat minor mengenai dirinya, dan akan terus bergerak melangkah maju. Mengutip dari Keyes (2002) bahwa kondisi flourishing dapat diupayakan untuk dicapai seseorang, yakni membanjiri kehidupan dengan segenap emosi positif yang berfungsi secara efektif untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan sosial. Membangun mindset positif merupakan cara agar dapat memiliki perspektif yang positif pula terhadap segala hal. Perspektif positif membawa pengaruh yang signifikan terhadap suasana hati, cara berkomunikasi, menentukan sikap, dan bagaimana berperilaku dalam keseharian.

 

Flourishing dan model PERMA, Bagaimana dapat terhubung?

Seligman (2018) telah menyebutkan bahwa flourishing merupakan hasil dari keseimbangan yang terbentuk dari lima elemen PERMA yaitu Positive emotion, Engagement, Relationship, Meaningfullness, Accomplishment. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai elemen-elemen PERMA, yaitu:

 

1.   Positive emotion

Emosi positif menjadi hal yang fundamental terhadap kesejahteraan psikologis. Perannya menjadi penting untuk dapat memenuhi kesejahteraan emosional itu sendiri serta ikut mengelola hadirnya emosi negatif. Terdapat dua faktor yang berpotensi memenuhi emosi positif, yakni:

a.  faktor kesenangan, yang berhubungan dengan ranah kognitif. Contohnya: membaca, menulis, berkompetisi, bermain, dll. 

b.  faktor kenikmatan, yang berhubungan dengan ranah fisiologis. Contohnya: makan, minum, seksual, ruangan yang nyaman, dll.

Apabila kedua faktor ini terpenuhi, maka seseorang akan dibanjiri dengan emosi positif.

 

2.   Engagement

Merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasa mengalir dan menyatu dalam setiap hal yang dilakukan sehari-hari secara fokus. Contohnya: seseorang yang mengerjakan tugas di depan komputer sambil mendengarkan musik, maka fokusnya hanya terpaku pada tugas yang ada di depan mata. Seseorang yang engagement akan penuh produktifitas terhadap aktivitasnya sehingga menghasilkan kebahagiaan dan kepuasan penuh makna.

 

3.   Relationship

Dapat membangun hubungan yang baik dan penuh makna dan bernilai positif terhadap orang lain. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan yang terjadi secara dua arah, penuh keramahan, dan hangat dalam bergaul. Contohnya: seseorang mempunyai komunitas organisasi tertentu yang dapat mendukung perkembangan pada potensinya. Orang yang mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan yang positif, maka akan berpotensi menghasilkan kesejahteraan psikologis yang baik.

 

4.   Meaningfullness

Hal ini dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk dapat memberi makna pada kehidupan, sehingga dapat berbahagia. Perlu digaris bawahi bahwa pemaknaan terhadap kehidupan akan menggiring seseorang pada tujuan hidup itu sendiri. Terlepas kehidupan yang dijalani berupa kesedihan ataupun kesenangan, ini hanya perkara pemaknaan. Inilah yang membuat seseorang yang telah mencapai meaningfullness tidak berkutat pada masalah diri, tetapi menjadikan dirinya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Contohnya: seorang guru yang tetap setia mengajar walaupun gaji yang diterimanya jauh dari kategori sejahtera finansial.

 

5.   Accomplishment

Harapan merupakan sesuatu yang hendak dicapai oleh setiap orang. Beragam jenis harapan yang menjadi target seseorang. Ada yang target jangka pendek, hingga target jangka panjang. Apabila seseorang dapat mencapai harapan yang menjadi targetnya, maka tentu mendatangkan kebahagiaan. Contohnya: seorang yang mendapatkan penghargaan karena menang dalam perlombaan. Semakin banyak target tercapai, semakin bahagia yang dirasakan seseorang. Tentu hal ini bermuara pada kondisi kesejahteraan psikologis yang juga ikut baik.

 

Saran praktis meraih flourishing

Setelah memahami keterhubungan flourishing dengan model PERMA tersebut, maka secara praktis dapat menerapkan beberapa hal berikut ini sebagai upaya meraih kondisi flourishing untuk kesejahteraan psikologis adalah:

 

1.     Hadirkan kebiasaan positif setiap saat, misalnya: ketika dalam kondisi kurang mengenakkan hati, tulis perasaan pada kertas secara ekspresif tanpa memikirkan tanda baca, atau melakukan latihan pernafasan agar tetap tenang, dapat pula dengan menghadirkan kalimat afirmasi.

2.     Bawa diri untuk terlibat penuh pada aktivitas yang disukai, misalnya: ikut agenda-agenda yang sesuai dengan minat diri.

3.     Luangkan waktu kepada orang-orang terdekat untuk dapat membangun hubungan yang sehat dan hangat. Contoh: ikut acara keluarga, hadir diacara perayaan yang diadakan teman, dan lain-lain.

4.     Memaknai setiap pekerjaan yang dilakukan sebagai suatu hal yang pasti bermanfaat untuk diri dan orang lain. Contohnya: fokus pada profesi.

5.     Menentukan tujuan yang hendak dicapai, tetapi berpotensi untuk dapat diraih sehingga dapat memblok emosi negatif sebelum hadir. Contohnya: lulus kuliah tepat waktunya, mendapatkan badan ideal dengan diet sehat dan olahraga, dan lain-lain.

6.     Melatih mengelola emosi pada diri dengan latihan meditasi, yoga, dan lain-lain.

 

Kesimpulan

Guna mencapai kesehatan psikologis yang tinggi diperlukan pemahaman terhadap perbedaan antara keadaan languishing dan flourishing. Hal ini dikarenakan kesejahteraan psikologis adalah prioritas utama yang mencakup perasaan positif tentang diri sendiri, kemampuan berinteraksi dengan orang lain, dan pemaknaan hidup yang kuat. Model PERMA, yang meliputi positive emotion, engagement, relationship, meaningfullness, accomplishment merupakan satu kesatuan yang efektif untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Pencapaian elemen-elemen PERMA dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu seseorang mencapai kondisi flourishing yang mencakup pengalaman hidup yang optimal. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi flourishing sangat panjang, sehingga dibutuhkan konsistensi dan tekad yang kuat. Menjalankan saran praktis yang diberikan seperti menciptakan kebiasaan positif, berpartisipasi dalam aktivitas disukai, membangun hubungan yang sehat, menemukan makna dalam hidup, dan menetapkan tujuan yang dapat dicapai, maka dapat membimbing diri sendiri menuju tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dan menciptakan kehidupan yang lebih memuaskan dan bahagia.

 

Referensi:

 

Arif, I. S. (2016). Psikologi positif: Pendekatan saintifik menuju kebahagiaan. Gramedia Pustaka Utama.

Hardjo, S., Aisyah, S., & Mayasari, S.I. (2020). Bagaimana Psychological Well-Being Pada Remaja? Sebuah Analisis Berkaitan Dengan Faktor Meaning In Life. Jurnal Diversita, 6(1), 63-76. https://doi.org/10.31289/diversita.v6i1.2894

Huppert, F. A., & So, T. T. (2013). Flourishing across Europe: Application of a new conceptual framework for defining well-being. Social Indicators Research, 110(3), 837-861. doi:10.1007/s11205-011-9966-7

Kasturi, T., & Mulati, Y. (2023). Psikologi Kebahagiaan Membedah Kebahagiaan dalam Perspektif Psikologi Positif. Indiva Media Kreasi.

Keyes, C. L. M. (2002). The Mental Health Continuum: From Languishing to Flourishing in Life. Journal of Health and Social Behavior, 43(2), 207-22. http://dx.doi.org/10.2307/3090197

Njotowibowo, Y., & Engry, A. (2023). Pengaruh Self-Compassion terhadap Tingkat Flourishing pada Tenaga Kesehatan di Indonesia. Personifikasi: Jurnal Ilmu Psikologi, 14(1), 1-16. https://doi.org/10.21107/personifikasi.v14i1.18448

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6), 1069–1081. https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069

Sari, M. A., & Monalisa, A. (2021). Psychological Well-Being Karyawan Studi Literatur. Syntax Idea, 3(1), 161-170. https://doi.org/10.46799/syntax-idea.v3i1.863

Seligman, M. (2018). PERMA and the Building Blocks of Well-Being. The Journal of Positive Psychology. https://doi.org/10.1080/17439760.2018.1437466