ISSN 2477-1686

 Vol. 7 No. 4 Februari 2021

 

POLICY BRIEF PROGRAM RESILIENSI KELUARGA NARAPIDANA KASUS TERORISME

 

Oleh

Hana Berliani Adiningsih1, Fajar Erikha23, & Idhamsyah Eka Putra24

1Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran

2Division for Applied Social Psychology Research

3Program Studi Psikologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

4Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I.

 

 

Executive Summary

Policy brief ini membahas pentingnya membangun resiliensi istri dan ibu narapidana terorisme (selanjutnya disebut napiter). Anggota keluarga napiter, terutama istri, seringkali menerima stigma dan pengucilan dari masyarakat pasca penangkapan anggota jaringan terorisme (Rufaedah & Putra, 2018). Padahal, temuan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua istri narapidana terorisme mengetahui ataupun menyetujui keterlibatan suami dalam aktivitas tersebut (Rufaedah, Sarwono, & Putra, 2017). Akibatnya, istri yang ditinggalkan menghadapi tekanan psikologis dan kesulitan ekonomi. Adanya program pemberdayaan dan pendampingan dapat mempersiapkan mereka untuk menjalani proses reintegrasi dengan masyarakat sekitar.

 

Pendahuluan

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Terorisme No. 5 Tahun 2018, yang dimaksud sebagai tindak pidana terorisme tidak terbatas sebagai aksi kekerasan ataupun serangan. Individu yang menjadi anggota, merekrut anggota organisasi terorisme, atau membantu memudahkan tindak pidana terorisme juga akan diproses secara hukum. Dalam undang-undang tersebut, organisasi terorisme disebut dengan pemufakatan jahat. Konsekuensinya, definisi terorisme diperluas untuk memudahkan penegak hukum memberantas jaringan terorisme sebelum terjadinya aksi teror. Sejak penerapan undang-undang tersebut, Detasemen Khusus Antiteror telah melakukan penangkapan terhadap sejumlah anggota jaringan kelompok teroris di berbagai kota di Indonesia.

 

Perempuan sebagai Kelompok Rentan dalam Terorisme

DASPR berkesempatan melakukan Family Resilience Program (FRP), yaitu pemberdayaan psikologis dan ekonomi yang dilanjutkan dengan monitoring dan pemdampingan kepada para perempuan yang menjadi keluarga napiter. Kegiatan tersebut melibatkan 30 orang peserta, dan dilaksanakan ke dalam tiga gelombang (batch). Sebagian besar para napiter yang ditangkap berasal dari jaringan pemufakatan jahat. Temuan di lapangan melalui studi kualitatif menunjukkan bahwa para istri mengalami tekanan psikologis yang berlapis. Pertama, sebagian besar dari mereka tidak mengetahui, apalagi menyetujui keterlibatan suami terhadap jaringan terorisme. Tekanan psikologis tersebut terlihat dalam bentuk emosi negatif seperti perasaan shock, marah, dan penolakan terhadap realitas yang dihadapi. Kedua, mereka juga menghadapi tantangan ekonomi karena harus menjadi tulang punggung keluarga selama masa penahanan suami. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki lebih dari dua anak, sehingga kebutuhan sehari-hari yang perlu dipenuhi pun cukup banyak. Ketiga, para istri juga mengalami stigmatisasi dari keluarga besar hingga masyarakat di lingkungan sekitar, mulai dari cibiran, pengucilan, hingga pengusiran.

 

Dalam kegiatan FRPkami membekali para istri dengan penguatan psikologis (konseling, group discussion, dan psikoedukasi), dialog mengenai konter-takfiri, serta penguatan kapasitas ekonomi (entrepreneurship). Kegiatan tersebut menjadi sarana pemberian dukungan dalam bentuk pengetahuan (knowledge), keterampilan, dan juga dukungan sosial. Adanya kesempatan para istri untuk bertemu dan berbagi pengalaman dapat menciptakan adanya rasa senasib sepenanggungan, terlebih karena penangkapan suami dilakukan dalam hitungan bulan setelah penetapan UU Terorisme yang baru. Adanya koneksi dan dukungan mendorong terbangunnya resiliensi sosial agar para istri siap untuk reintegrasi kepada masyarakat/komunitas agar terlepas dari stigma yang sebelumnya dihadapi. Temuan  lain, seperti terdapat sebagian peserta yang berencana pindah dari kediaman atau jejaring grup radikal agar dapat memulai hidup baru (Putra, Danamasi, Rufaedah, Arimbi, & Priyanto, 2017).

 

Membangun Resiliensi 

Menurut American Psychological Association (2019), resiliensi atau ketahanan adalah proses beradaptasi yang baik saat menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau sumber stres yang signifikan - seperti masalah di dalam hubungan ataupun keluarga, masalah kesehatan yang serius atau stres di tempat bekerja hingga isu keuangan. Dengan kata lain, resiliensi berarti bangkit kembali dari pengalaman yang sulit. Resiliensi bukanlah perkara sifat yang ataupun tidak dimiliki seseorang. Namun, resliensi dilandasi atas perilaku, pikiran/cara pikir, dan tindakan yang sebenarnya dapat dipelajari dan dikembangkan oleh siapa pun

 

Membangun resiliensi yang ideal pada anggota keluarga napiter dapat dilakukan dengan menyasar tiga komponen: individu, keluarga, dan komunitas/lingkungan mereka. FRP ini melakukannya dengan berfokus pada individu dan komunitas. Fokus individu dilakukan dengan menekankan aspek psikologi dan self efficacy (kemampuan diri), khususnya kemampuan/kapasitas dalam hal ekonomi. Fokus kelompok dilakukan dengan memberikan pemhaman tentang perlunya persepsi dan sikap positif terhadap kelompok lain. Melalui serangkaian workshop, para peserta diberi pemahaman dan dilatih agar dapat resilien. Guna mengukur hal tersebut, kami melakukan pengujian kuantitatif untuk melihat perubahan sebelum dan sesudah pemberian workshop, dan juga penelusuran kualitatif

 

Temuan kami menunjukkan beberapa perubahan yang positif. Dalam hal resiliensi psikologis, telah terjadi peningkatan sikap positif terhadap kelompok yang berbeda (selain Islam). Hal tersebut dapat menunjang proses reintegrasi ke dalam masyarakat, sebagai individu yang anggota keluarganya terlibat pada kasus terorisme. Sikap positif dapat menjadi awal untuk para istri lebih membaur dengan masyarakat dan mengatasi pengucilan sosial yang dihadapinya. Dengan terbukanya akses terhadap hubungan sosial yang lebih luas, diharapakan mereka akan memperoleh dukungan sosial dengan lebih mudah. Selain itu, sebagian mereka juga merasa lega atas sesi konseling via psikolog perempuan karena belum pernah mendapatkan fasilitas seperti ini sebelumnya. Keterampilan lain seperti regulasi emosi membuat sebagian peserta menjadi tahu metode mengatasi stres. 

 

Kedua, dalam hal resiliensi ekonomi, kami menemukan peningkatan kepercayaan diri dalam menjalankan bisnis dan memandang positif terhadap kondisi ekonomi mereka. Melalui pelatihan wirausaha, para peserta diajarkan paradigma berbisnis yang tidak melulu menyandarkan diri pada modal semata, namun modal komunikasi, modal jaringan, dan niat adalah modal yang tidak kalah pentingnya. Tidak hanya itu, mereka pun diajarkan cara mengelola pos keuangan: modal, tagihan, keuntungan, sehingga bisnis dapat bertahan lama dan semakin berkembang. Setelah proses lokakarya, 30% peserta mulai menjalankan bisnis skala mikro dan memanfaatkan fasilitas internet serta jejaring sosial yang dimiliki. Artinya, kepercayaan diri dan sikap positif terhadap kondisi keuangan mereka diwujudkan dengan aksi nyata yaitu dengan segera memulai aktivitas ekonomi meskipun dalam tataran yang mikro.

 

Ketiga, FRP juga meningkatkan resiliensi sosial para peserta, baik di antara istri atau ibu napiter lainnya, ataupun di antara peserta dengan komunitas di luar seperti tim DASPR ataupun masyarakat di sekitar tempat tinggal. Setelah mengikuti serangkaian kegiatan FRP, terbangunlah koneksi yang lebih kuat di antara mereka. Apalagi mayoritas adalah istri yang suaminya sedang ditahan sehingga di antara mereka pun saling menguatkan tatkala ada yang merasa kesepian, sedih, dan butuh teman bercerita. Sesi konseling psikologis telah menyadarkan sebagian mereka bahwa terdapat masalah yang lebih berat yang dialami peserta, sehingga menguatkan peserta lain dan tersadar bahwa tidak hanya mereka saja yang menghadapi situasi sulit ini. Kami pun membuatkan grup Whatsapp yang sesekali diisi tanya jawab psikologis oleh psikolog wanita narasumber FRP ataupun narasumber lain terkait konsultasi proses hukum yang dijalani suami/anak peserta. Dengan demikian, ketika ada yang bersedih dan rindu pasangannya, peserta pun dapat mengutarakannya ke dalam grup dan ini direspons dalam bentuk dukungan/penguatan dari peserta lainnya. Tidak hanya itu, persepsi dan sikap terhadap kelompok lain, yang dalam hal ini Tim DASPR juga lebih positif dan semakin terbuka. Sebagian dari mereka meminta secara khusus agar dibuatkan kegiatan sejenis FRP namun untuk suami mereka ketika sudah bebas nanti sehingga diharapkan mereka sebagai keluarga lebih resilien secara psikologis dan finansial. Perihal resiliensi sosial ini juga telah diukur dengan membandingkan sikap mereka terhadap kelompok lain (selain Islam) pada sebelum dan sesudah rangkaian lokakarya diberikan. Sebagai hasilnya, terdapat pandangan dan penyikapan yang lebih positif terhadap kelompok yang berbeda dengan mereka.

 

Implikasi dan Rekomendasi

Berdasarkan temuan FRP ini, tim merumuskan rekomendasi bagi lembaga ataupun pemangku kepentingan terkait yang menangani isu terorisme, khususnya pada  kelompok rentan (anggota keluarga napiter), yang di antaranya yaitu:

 

1.   Program resiliensi yang paripurna adalah program yang menyasar tiga komponen: individu, keluarga, dan komunitas. Oleh karena FRP berfokus pada komponen individu dan komunitas saja, maka diperlukan bentuk yang lebih paripurna yaitu dengan mengikutkan komponen keluarga sehingga diharapkan mendapat hasil yang maksimal. Konkretnya, ini dapat diwujudkan dengan melibatkan suami (setelah bebas) turut serta dalam kegiatan dengan konsep yang selaras dengan FRP.

 

2.  Memperkuat peran Kementerian Sosial dalam melakukan pendampingan dan memberikan bantuan kepada istri narapidana terorisme dan anggota keluarga yang baru kembali dari negara konflik. Berdasarkan rilis pada 2018, Kemensos memiliki rencana untuk memberikan bantuan kepada keluarga eks-teroris. Kementerian Sosial merencanakan program pendampingan untuk reunifikasi dan reintegrasi bagi eks-teroris beserta keluarga, bimbingan pelatihan kewirausahaan serta pemberian modal usaha mikro. Akan tetapi, belum ada payung hukum untuk menguatkan peran Kementerian Sosial dalam tahap reunifikasi ke keluarga dan reintegrasi ke masyarakat. Dengan demikian, rencana ini dapat dilegalkan menjadi perangkat hukum, dengan salah satunya mempertimbangkan temuan DASPR ini

 

3.  Penanaman persepsi dan sikap terhadap outgroup sangat mungkin dilakukan agar dapat lebih positif memandang kelompok yang berbeda dari mereka, khususnya dalam hal keyakinan. Upaya lain, seperti mengajak mereka berkunjung ke tempat yang terdapat relasi yang sangat harmonis antar-umat Islam dan non-Islam. 

 

4.    Sebagian peserta FRP telah secara gamblang menyatakan dirinya telah dan akan menjadi agen perdamaian guna melakukan konter-naratif terhadap isu kekerasan ekstremisme dan radikalisme. Oleh karena itu, mereka perlu diberikan dukungan, difasilitasi dalam bentuk peningkatan kapasitas diri, hingga diberikan kesempatan untuk memberikan aksi nyata dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme di tengah masyarakat. 

 

5.  FRP sebagai upaya diplomasi untuk harmoni berdasarkan prinsip memanusiakan manusia, tanpa memedulikan asal kelompok, suku, ras, dan agamanya 

 


Bagan 1Sasaran konkret Program Resiliensi Keluarga Narapidana Kasus Terorisme

 

 

Referensi:

 

American Psychological Association. (2019). https://www.apa.org/helpcenter/road-resilience Diakses pada 25 November 2019.

 

Putra, I. E., Danamasi, D. O., Rufaedah, A., Arimbi, R. S., & Priyanto, S. (2017). Tackling Islamic Terrorism and Radicalism in Indonesia by Increasing the Sense of Humanity and Friendship. In B. L. Cook, Handbook of Research on Examining Global Peacemaking in the Digital Age (pp. 94-114). Hershey: IGI Global. Doi:DOI: 10.4018/978-1-5225-3032-9.ch007

 

Rufaedah, A., & Putra, I. E. (2018). Coping with stigma and social exclusion of Indonesian terror-convicts’ wives. The Qualitative Reports, 23, 1334-1346.

 

Rufaedah, A., Sarwono, S. W., & Putra, I. E. (2017). Pemaknaan istri napi teror terhadap tindakan suami. Jurnal Psikologi Ulayat. 04, 11-28.