ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 19 Oktober 2022
Menjinakkan Monkey Mind
Oleh:
Laurentius Sandi Witarso
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Bayangkan kita sedang berjalan-jalan ke hutan wisata yang sangat luas. Di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi, kita melihat kawanan monyet. Aktivitas mereka bermacam-macam, ada yang berdiam diri sambil tidur, bermain dengan monyet-monyet lain, bergelantungan, berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain, dan lain-lain. Kita tentu memiliki kesan tersendiri melihat monyet-monyet tersebut dengan berbagai aktivitasnya. Apa yang dilakukan oleh monyet tersebut sama dengan pikiran yang ada di dalam diri kita. Terkadang pikiran kita berada dalam kondisi tenang dan fokus atau bahkan bisa lompat ke sana kemari tanpa arah yang jelas dengan cara yang mungkin tidak kita kira (Irwin, 2018). Sebagai contoh saat terbangun di pagi hari, sudah banyak pikiran yang muncul seperti ”Hari ini mau ke mana ya? Nanti malam makan apa ya? Aduh pekerjaanku yang kemarin belum selesai, gimana ini” – pikiran-pikiran yang muncul bersliweran tersebut bisa disebut sebagai monkey mind.
Apa Itu Monkey Mind?
Pada prinsip Buddha, istilah monkey mind mengacu pada kegelisahan dan kebingungan (Raab, 2017). Manusia dalam kehidupan sehari-hari memiliki ribuan pikiran yang muncul di otak. Setiap pikiran tersebut ibarat ranting yang berada di pohon, dan pikiran sadar kita adalah monyet dimana ia suka bergelantungan, melompat dari satu ranting ke ranting yang lain dan jarang bisa tinggal di satu tempat yang sama dalam jangka waktu yang lama. Pikiran cenderung akan “lompat” dari satu objek ke objek yang lain. Ia akan memikirkan sesuatu dan khawatir dengan sesuatu yang belum pasti di masa depan, atau bisa tiba-tiba teringat dengan masa lalu yang membuat manusia menjadi sedih (Wiramuda, 2021). Aktivitas yang sangat dinamis inilah yang kemudian membuat manusia terjebak dengan pikirannya dan berdampak pada munculnya perasaan gelisah dan bingung.
Berbicara mengenai monkey mind tidak lepas dengan peran otak manusia. Hanna (2021) menyebutkan bahwa otak manusia terdiri dari tiga bagian yaitu lizard brain, monkey brain, dan human brain. Lizard brain atau yang sering kita dengar sebagai otak reptil adalah bagian paling primitif di otak. Otak reptil bertugas dalam mengendalikan insting dasar manusia. Pada monkey brain merupakan bagian otak yang berkaitan dengan emosi manusia. Bagian otak ini didorong oleh respon dasar makhluk hidup yaitu rasa takut dan hasrat (fear and desire). Sedangkan pada human brain adalah bagian otak yang mengatur pikiran/logika manusia. Ketika manusia dihadapkan pada situasi tertekan, maka lizard brain dan monkey brain akan lebih aktif dengan memunculkan respon fight atau flight. Monkey mind ini akan muncul saat manusia sedang dalam kondisi tertekan. Ketika otak dipenuhi dengan hormon stress dan muncul pikiran yang tidak karuan adalah bentuk monkey mind yang sedang lompat ke sana kemari, tidak bisa duduk diam dengan tenang (Wagner, 2015).
Menjinakkan Monkey Mind
Bisakah monkey mind hilang? Jawabannya tidak. Ia bisa muncul kapan pun dan dimana pun ia mau. Ia bisa muncul kembali dengan membuat pikiran kita lompat ke sana kemari tanpa arah. Hal pertama yang perlu dilakukan ketika menghadapi monkey mind pada diri kita adalah menyadari bahwa pikiran tersebut ada dalam diri kita. Mindfulness membantu manusia untuk mengamati pikiran tersebut dengan penuh penerimaan, dan rasa ingin tahu, tanpa perlu menganalisisnya lebih jauh atau menghakiminya sebagai hal yang baik atau buruk (Wiramuda, 2021). Dengan pernyataan tersebut, penulis merasa bahasa yang tepat untuk menghadapi monkey mind adalah menjinakkannya dibandingkan dengan menghilangkannya atau mengubur atau bahkan menutupnya secara rapat-rapat. Setelah kita menyadari keberadaan monkey mind, kita bisa menjinakkannya dengan belajar untuk fokus pada situasi kini dan di sini. Kemudian, perlahan-lahan ambil nafas dan fokus pada bagian perut kita. Amati apa yang sedang dilihat, rasakan, dengar pada saat ini. Tanyakan pada tubuh, apa yang sedang dirasakan. Keterampilan ini akan membantu kita untuk menyadari (aware) dengan pengalaman yang ada dalam diri kita (Raab, 2017). Daripada kita memaksa monkey mind masuk ke dalam kandang – yaitu dengan menekan pikiran supaya tidak muncul lagi - mindfulness justru dapat membantu kita membuat ranjang agar monkey mind bisa beristirahat di ranjang dengan tenang. Ranjang itulah yang berbentuk kesadaran akan momen saat ini (Wiramuda, 2021).
Referensi:
Hanna, H. (2018, Maret 13). Please meet your monkey mind. The American Institute of Stress. Diakses dari https://www.stress.org/please-meet-your-monkey-mind
Irwin, W. (2018, November 16). Meditation, The Monkey Mind, And Butterflies. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/it-s-your-choice/201811/meditation-the-monkey-mind-and-butterflies
Raab, D. (2017, September 13). Calming The Monkey Mind. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-empowerment-diary/201709/calming-the-monkey-mind
Wagner, M. (2015). Mindfulness – Taming of the Monkey Mind. Createspace Independent Publishing Platform
Wiramuda, P. (2021). Di Sini Dan Saat Ini. Jakarta : Gramedia