ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 19 Oktober 2022
No More Female Employee: Is That Fair?
Oleh:
Irfany Putri & Ellyana Dwi Farisandy
Prodi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
“Ngapain sih cewe kerja? Toh juga nanti bakal dinafkahin suami”
“Cewe kerja di kantor? Cewe tuh kerjanya ngurusin rumah, bukan nyari duit”
“Buat apa cewe kerja? Masa anaknya ditinggalin gitu aja, ga diurus. Ini malah ngurus kerjaan”
Rasanya, hampir semua wanita pernah mendengar kalimat tersebut. Kalimat yang merendahkan, mendiskreditkan, dan mendiskriminasi perempuan yang acapkali dibungkus sebagai candaan. Pembahasan mengenai gender inequality tidak akan pernah ada habisnya. Negara Indonesia memang telah mengesahkan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Akan tetapi, rasanya untuk merealisasikannya benar-benar tidak mudah dan butuh perjuangan ekstra, ya?
Sudah sangat banyak contoh nyata gender inequality yang terjadi dan menimpa perempuan. Berita yang menjadi sorotan saat ini adalah wacana Ketua DPR RI mengenai perpanjangan cuti melahirkan menjadi 6 bulan dimana sebelumnya pada Undang-Undang No.13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan pasal 82 ayat (1) tertulis bahwa seorang wanita pekerja/buruh berhak untuk mendapatkan waktu istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan (Kamalina, 2022). Hal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Banyak yang berpendapat bahwa jika seorang wanita mendapatkan cuti hamil selama 6 bulan, lebih baik perusahaan tersebut tidak perlu merekrut pekerja wanita pun jika ada yang melahirkan, ia akan diminta untuk mengundurkan diri. Hal ini dikarenakan cuti yang panjang akan merugikan perusahaan dimana perusahaan harus tetap menggaji karyawannya yang mengambil cuti hamil selama 6 bulan. Namun, bukankah itu hak dari seorang karyawan yang bekerja? Apakah itu berarti perempuan tidak diperkenankan untuk bekerja layaknya laki-laki?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai permasalahan perpanjangan cuti, mari kita berkenalan dulu dengan cuti. Cuti merupakan salah satu bentuk benefit and services yang berikan perusahaan kepada pekerjanya agar karyawan pada perusahaan tersebut dapat meneruskan pekerjaan dan kontrak mereka dengan perusahaan yang berupa pembayaran finansial dan nonfinansial tidak langsung (Dessler, 2013). Seorang pekerja berhak mendapatkan cuti dari perusahaan tempat ia bekerja untuk melakukan keperluannya diluar pekerjaan seperti menunaikan kewajiban agama, refreshing, melahirkan, istirahat karena sakit, dan lain-lain (Harahap, 2019). Cuti merupakan hak seorang pekerja. Jika perusahaan tidak memberikan hak tersebut, maka perusahaan akan dianggap melanggar ketentuan UU dimana dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 Pasal 79 tertulis bahwa perusahaan wajib memberikan cuti tahunan selama minimum 12 hari kerja dan tetap mendapatkan gaji penuh (Dwinda, 2020).
Kembali kepada pembahasan utama kita, yaitu pro dan kontra mengenai perpanjangan cuti hamil selama 6 bulan. Kebijakan tersebut dianggap merugikan perusahaan karena selama cuti tersebut perusahaan tetap menggaji penuh pada 3 bulan pertama dan 70% dari total gaji pada 3 bulan sisanya. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan bahwa wacana tersebut akan memberikan negatif bagi perusahaan karena usulan tersebut nantinya akan memperlambat perkembangan perusahaan jika dilihat dari sisi penyerapan dan produktivitas pekerja (Kamalina, 2022). Namun, tidak sedikit juga yang mendukung kebijakan ini karena dianggap dapat memberikan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
Selain itu, RUU KIA ini merupakan salah satu upaya untuk memajukan perempuan melalui keterlibatannya di ruang publik dan juga menurunkan angka stunting. Lebih jauh lagi, adanya RUU KIA ini bukan semata-mata hanya untuk kepentingan pada saat ini, tapi juga untuk masa depan negara dimana pada RUU ini menekankan golden age pada anak dimana peran seorang ibu akan sangat penting dalam mendampingi sang anak dalam periode krusial tumbuh kembang anaknya (CNN Indonesia, 2022). Dengan cuti kehamilan yang diperpanjang hingga 6 bulan diharapkan sang ibu dapat menemani si kecil di masa pertumbuhannya yang dapat menentukan masa depannya dan juga masa depan bangsa karena berkaitan dengan 1.000 hari pertama kehidupan atau HPK (Malik et al., 2021).
Menjadi seorang perempuan tidaklah mudah. Banyaknya stereotipe negatif dari masyarakat mengenai perempuan bekerja, diskriminasi saat proses rekrutmen pegawai, perbedaan gaji pekerja laki-laki dan perempuan hingga urusan cuti hamil yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini (KPPPA, disitat dalam Nuraeni & Suryono, 2021). Padahal perempuan adalah madrasatul ula atau pendidikan pertama untuk seorang anak yang akan menjadi calon penerus bangsa. Adanya wacana cuti hamil yang diperpanjang selama 6 bulan tentunya sudah melalui pertimbangan hingga memasuki tahap rancangan. Hal ini dapat dikaitkan dengan teori subjective well-being yang menyatakan bahwa individu mempunyai gambaran luas yang berkaitan dengan pengalaman emosional individu seperti kepuasan, afek positif, dan afek negatif yang rendah (Diener et al. Fitrianur et al., 2018). Dengan RUU KIA ini diharapkan meningkatkan kesejahteraan perempuan dan juga mengurangi gender inequality karena menurut The Global Gender Gap Index 2020yang dipublikasikan World Economic Forum tertulis bahwa Indonesia berada di peringkat 85 dan 153 negara untuk kesetaraan gender dengan skor 0,70 (Wulandari, 2020).
REFERENSI:
CNNIndonesia. (2022). Yang harus diperhatikan bumil dan busui soal cuti melahirkan 6 bulan. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220615163811-255-809432/yang-harus-diperhatikan-bumil-dan-busui-soal-cuti-melahirkan-6-bulan
Dessler, G. (2013). Human resource management (13th edition). Pearson. https://doi.org/https://doi.org/10.4135/9781412972024.n1221
Dwinda, A. (2020). Tidak berikan cuti tahunan, perusahaan bisa kena sanksi ini. Glints.Com.https://employers.glints.com/id-id/blog/tidak-berikan-cuti-tahunan-perusahaan-bisa-kena-sanksi-ini/
Fitrianur, Situmorang, N. Z., & Tentama, F. (2018). Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being pada ibu jalanan. Temu Ilmiah Psikologi Positif I. Seminar Dan Call for Paper" Positive Psychology in Dealing with Multigeneration". http://eprints.uad.ac.id/11146/1/Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Subjective Well-Being Pada Ibu Jalanan.pdf
Kamalina, A. R. (2022). Wacana cuti melahirkan 6 bulan, pengusaha ogah rekrut pekerja perempuan? Bisnis.Com. https://ekonomi.bisnis.com/read/20220622/12/1546511/wacana-cuti-melahirkan-6-bulan-pengusaha-ogah-rekrut-pekerja-perempuan
Malik, A., Utsman, U., Mulyono, S. E., Arbarini, M., & Desmawati, L. (2021). Sosialisasi seribu hari pertama kehidupan untuk generasi berkualitas menuju indonesia emas tahun 2045. Jurnal Bina Desa, 3(1), 1–7. http://lib.unnes.ac.id/51253/1/Sosialisasi Seribu Hari Pertama Kehidupan untuk Generasi Berkualitas menuju Indonesia Emas Tahun 2045.pdf
Nuraeni, Y., & Suryono, I. L. (2021). Analisis kesetaraan gender dalam bidang ketenagakerjaan di indonesia. Nahkoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 20(1), 68–79. file:///C:/Users/fauza/Downloads/134-Article Text-828-1-10-20210711.pdf
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43013
Undang-undang (UU) Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/46978/uu-no-7-tahun-1984
Wulandari, D. (2020). Indeks kesetaraan gender indonesia masih di peringkat ke-85. Marketing Communication. https://mix.co.id/marcomm/news-trend/indeks-kesetaraan-gender-indonesia-masih-di-peringkat-ke-85/