ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 16 Ags 2021

Menelisik Lebih Jauh Tindakan “Terorisme”

 

Oleh:

Catherine Yunizabeth Soesanto & Helsa

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Maraknya kasus terorisme di tanah air masih menjadi tugas besar bagi pemerintah Indonesia untuk mengatasinya. Kabar duka melanda negeri Indonesia pada akhir Maret 2021. Pada hari Minggu, terjadipenyerangan bom bunuh diri pada sebuah gereja Katolik di Makassar (Wijaya, 2021), kemudian disusul dengan aksi teror yang kembali terjadi di Mabes Polri pada hari Rabu berikutnya (Shalihah, 2021). Sebuah tindakan yang tidak terpuji membuat nahas nasib pihak-pihak yang dirugikan. Meninjau hal tersebut, kita dapat melihat dari berbagai sudut pandang yang menjadi jawaban atas penyebab seseorang yang dengan keji melakukan tindakan terorisme. Dalam hal ini, sudut pandang psikologis, khususnya dari teori kepribadian Erich Fromm, akan menjadi bahasan utama dalam menguak aksi radikalisme ini. 

 

Di balik Aksi Terorisme

Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa setiap orang yang berpaham radikal sudah pasti menjadi seorang teroris, dengan kata lain menyamakan pengertian radikalisme dengan terorisme. Seorang pembicara dalam sebuah dialog interaktif psikolog dan media yang diadakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si., meluruskan bahwa tidak setiap orang berpaham radikal adalah seorang teroris, tetapi seorang teroris sudah pasti berpaham radikal (Manthovani, 2016). Terorisme didapat dari sebuah proses radikalisasi, bermula dari level individu hingga kelompok. Pelaku terorisme merupakan seseorang yang merasa terancam dan memiliki kecenderungan depresif.

 

Dalam teorinya, Erich Fromm mengemukakan ada 5 kebutuhan dasar manusia yang menjadi jawaban atas keberadaan manusia serta manfaatnya dalam menjaga kewarasan manusia. Salah satu dari kelima kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk mencapai sense of identity. Fromm berpendapat bahwa pada dasarnya manusia memiliki keterpisahan dengan dunia. Oleh karena itu, seorang manusia harus bisa membentuk konsep diri dengan mampu berkata ‘saya adalah saya’. Dengan kata lain, manusia adalah subjek atas tindakan yang diperbuat (Feist, Feist, & Roberts, 2017). 

            

Tanpa sense of identity, seseorang tidak dapat mempertahankan kewarasan mereka. Seseorang tidak memahami apa makna dari keberadaannya di dunia ini. Hal ini tentunya akan menjadi ancaman bagi individu untuk melakukan apa saja demi usahanya dalam mendapatkan kebutuhan memiliki identitas. Pernyataan ini dapat mengindikasikan bahwa seorang teroris yang melakukan aksi radikalisme termasuk ke dalam orang-orang yang belum terpenuhi kebutuhan akan sense of identity-nya sehingga rela melakukan apapun demi melekatkan identitasnya pada kekuatan atau kelompok tertentu. Hal inilah yang melahirkan pahamradikalisme. 

 

Upaya Pencegahan Paham Radikalisme

Sebagai tindakan yang tidak terpuji, paham radikalisme para teroris tentunya perlu ditindaklanjuti. Bersinggungan dengan sense of identity, ada 3 tahapan yang berkontribusi dalam pembentukan identitas pada manusia. Shahram Heshmat (2014) mengatakan, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menemukan dan mengembangkan potensi diri. Hal ini mengarahkan kita kepada sesuatu yang kita anggap bisa melakukannya dengan lebih baik dibandingkan orang lain, serta dalam pengembangannya, kita membutuhkan waktu untuk berproses. Mengetahui kekurangan dan kelebihan diri merupakan salah satu cara mendasar untuk menemukan jati diri kita. Nikmatilah proses tersebut sebagai bagian dari perjalanan hidup kita. Kita juga perlu membuka diri dan mencoba hal-hal baru yang bermanfaat bagi kita. 

 

Berikutnya, kita dapat menentukan sebuah tujuan yang ingin dicapai dalam hidup. Tujuan tersebut bukanlah menjadi sebuah beban yang dapat membawa kita terhadap rasa frustrasi, melainkan sebuah tujuan yang dapat sejalan dengan pengembangan potensi diri dalam proses mencapainya. Oleh karena itu, kita perlu terlebih dahulu memahami potensi-potensi dalam diri kita. Terakhir, pembentukan identitas diri akan terus berkembang dan tidak pernah berhenti pada titik final. Dalam hal ini, kita perlu memahami bahwa kita akan berbahagia ketika kita dapat melakukan sesuatu yang sesuai dengan minat kita. Maka dari itu, menemukan identitas diri merupakan sebuah proses yang dapat meningkatkan self-esteem, mengurangi adanya depresi dan kecemasan jika dilakukan dengan benar, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang destruktif, seperti paham radikalisme.  

 

Sisi lainnya berkaitan dengan kemampuan literasi, filtrasi, dan verifikasi, terutama pada generasi milenial.  Mengutip penjelasan dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, M.H., memaparkan bahwa kemajuan teknologi dan informasi dapat membawa kelebihan dan kekurangan yang berpengaruh terhadap keutuhan NKRI (Aushaf, 2019).  Dalam hal ini, kemampuan-kemampuan yang rendah dapat membuat bangsa tercerai-berai. Hal tersebut mendorong setiap individu untuk bisa lebih cermat dalam menerima informasi dengan melakukan penyaringan informasi sebelum bertindak. 

            

Tidak berhenti sampai di situ, informasi memerlukan adanya verifikasi yang jelas tentang siapa penerbitnya dan penilaian terhadap kredibilitasnya. Seperti halnya yang dipaparkan oleh Fanindy & Mupida (2021), menjadikan literasi sebagai salah satu upaya dalam memangkas radikalisme adalah sebuah keniscayaan, serta masyarakat diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam memilih informasi dengan menguji validitasnya. Kepala BNPT juga menyarankan agar masyarakat tidak menstigmakan sebuah agama. Beliau menekankan tidak adanya agama yang mengajarkan kekerasan di Indonesia (Aushaf, 2019). Dengan demikian, kita dapat mencegah sedini mungkin aksi radikalisme dengan menyiapkan antisipasi yang tepat.

 

 

Referensi:

 

Aushaf, R. (2019, Agustus 29). Cegah Radikalisme, Generasi Muda Harus Peduli Indonesia. Retrieved from Unpad: https://www.unpad.ac.id/2019/08/cegah-radikalisme-generasi-muda-harus-peduli-indonesia/

 

Fanindy, M. N., & Mupida, S. (2021). Pergeseran Literasi pada Generasi Milenial Akibat Penyebaran Radikalisme di Media Sosial. Millah: Jurnal Studi Agama, 195-222.

 

Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2017). Theories of Personality. New York: McGraw-Hill Education.

 

Manthovani, K. (2016, Februari 2). Radikalisme dan Terorisme dalam Perspektif Psikologi Sosial. Retrieved from Universitas Indonesia: https://www.ui.ac.id/radikalisme-dan-terorisme-dalam-perspektif-psikologi-sosial/

 

Shahram Heshmat, P. (2014, December 8). Basics of Identity. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/science-choice/201412/basics-identity

 

Shalihah, N. F. (2021, April 2). Penyerangan Mabes Polri dan Alasan di Balik Munculnya Aksi Teror. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/02/123100465/penyerangan-mabes-polri-dan-alasan-di-balik-munculnya-aksi-teror-?page=all

 

Wijaya, C. (2021, Maret 30). Bom Makassar: 'Milenial' terlibat bom bunuh diri dan iming-iming 'jalan pintas ke surga', bagaimana antisipasinya? Retrieved from BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56547431