ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 16 Ags 2021

Peran Psikologi Forensik Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak

 

Oleh:

Ayu Fadilah & Putri Pusvitasari

Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Kasus kekerasan seksual terus meningkat dari waktu ke waktu. Di Indonesia sendiri kasus kekerasan seksual setiap tahunnya mengalami peningkatan, korban kekerasan seksual tersebut bukan hanya pada kalangan dewasa melainkan sudah merambah pada remaja, anak-anak bahkan balita (Novina, 2015). Pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 23 pada tahun 2002 tentang perlindungan anak, diharapkan mampu untuk melindungi hak asasi anak dan perlindungan bagi anak korban kejahatan seksual (Noviana, 2015).

 

Menurut Finkelhor (Suryani, 2009) Kekerasan seksual pada anak adalah tindakan yang dilakukan pada anak remaja usia 18 tahun atau lebih muda, mencoba atau melakukan sexual intercouse, menyentuh, mencium, pemerkosaan, atau kontak sexual yang tidak diinginkan, pemotretan telanjang dan menunjukkan sebagian tubuh. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang terjadi di banyak negara bahkan terjadi di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan. Dania (2020) Kekerasan seksual Kekerasan seksual erat kaitannya dengan hak asasi setiap orang, sehingga sudah menjadi suatu hal yang memerlukan perhatian serius dan memerlukan tindakan preventif dan penanganan yang komprehensif untuk melakukan intervensi. Saat ini, kekerasan seksual terhadap anak dalam situasi darurat mungkin menghadapi risiko kekerasan seksual karena mereka sangat tergantung dan memiliki kemampuan yang terbatas untuk melindungi diri mereka sendiri, karena status mereka sendiri bukan penentu sikap mereka, karena mereka memiliki sedikit pengalaman hidup dan anak-anak juga lebih rentan terhadap eksploitasi, penipuan, dan paksaan dari pada orang dewasa (Dania, 2020).

 

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011 saja telah terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak, 887 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual anak. Pada tahun 2012 kekerasan terhadap anak telah terjadi 3.871 kasus, 1.028 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak. Tahun 2013, dari 2.637 kekerasan terhadap anak, 48 persennya atau sekitar 1.266 merupakan kekerasan seksual pada anak (Noviana, 2015). Pada anak yang mengalami tindak kekerasan dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis, sehingga bisa berpengaruh ada perkembangan diri anak ketika dewasa nanti. Gangguan-gangguan psikologis yang timbul seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik kepada anak (Noviana, 2015). Sedangkan secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya.

 

Menurut Novia (2015) anak yang mendapat kekerasan seksual akan menimbulkan trauma yang sulit dihilangkan jika tidak secepatnya ditangani oleh ahlinya. Dampak jangka pendek yang terjadi, yaitu akan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan. Jangka panjangnya, ketika dewasa nanti dia akan mengalami fobia pada hubungan seks atau bahkan yang parahnya lagi dia akan terbiasa dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya. anak wajib dilindungi dari segala kemungkinan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual.

 

Untuk itu dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, peran psikologi forensik sangat dibutuhkan untuk dapat mengungkapkan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Menurut Fauzi (2019) peranannya dalam mengatasi kekerasan seksual perlu dilakukan untuk pencegahan terhadap kasus kekerasan seksual pada anak dibawah umur dengan memberikan perlindungan terhadap korban dan memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak dibawah umur. Psikologi forensik dibutuhkan untuk menghasilkan rumusan terbaik dalam mengedepankan hak anak yang terlibat dalam kasus hukum. Psikolog Forensik dapat membantu korban untuk mengatasi dan memulihkan traumanya, serta forensik sangatlah berperan penting untuk mengetahui hasil visum saat tersangka tidak mengakui perbuatannya (Fauzi, 2019).  

 

Banyak peran psikologi forensik yang sangat relevan turut serta mengemban amanat UU tentang Sistem Peradilan Anak, UU tentang Perlindungan Anak, UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU tentang perdagangan manusia, UU tentang Perlindungan Saksi Korban, baik pada tataran Mikro maupun Makro dalam kasus Anak Korban Kekerasan Seksual (Kusumowardani, 2015). Korban yang mengalami traumatis, psikologi forensik dapat memberikan perawatan psikologis darurat dengan memberikan Psychological First Aids (PFA) pada fase awal akan sangat mungkin meningkatkan kestabilan korban. Dalam penanganannya psikologi forensik dapat merancang teknik intervensi individual maupun kelompok dalam bentuk terapi psikologis, dan Ilmuwan Psikologi dapat mendesain bentuk-bentuk aktivitas kelompok untuk memfasilitasi kebutuhan psikososial terhadap anak korban kekerasan seksual (Kusumowardani, 2015).

 

Psikologi forensik membantu menciptakan rasa aman untuk membuat anak berani berbicara saat di persidangan agar lebih kuat dan keterangan tidak berubah-ubah. Membantu memastikan apa yang dikatakan anak adalah nyata benar adanya, bukan fantasinya, dilihat dengan ekspresi saat berbicara, emosi dan gestur anak. Membandingkan dan mengevaluasi apa yang dikatakan anak dengan orang-orang yang diceritakan anak. Serta melaporkan setiap ketidakwajaran yang ditemukan pada anak.

 

 

Referensi:

 

Dania, I. A. (2020). Kekerasan Seksual Pada Anak. Ibnu Sina: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan-Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, 19(1), 46-52.

 

Fauzi, R. (2019). Pelaksanaan Penanganan Penyidikan Tindak Pidana Persetubuhan dan Pencabulan Terhadap Anak di Polsek Rmpat Angkat Candung. JCH (Jurnal Cendekia Hukum)5(1), 173-84.

 

Kusumowardhani, R. (2015). Perspektif Psikoviktimologi dalam Pendampingan Dan Perlindungan Anak Korban Kekerasan Seksual. EGALITA, 10(2), 1-24. doi:  https://doi.org/10.18860/egalita.v10i2.4544

 

Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya. Sosio Informa, 1(1), 13-28.

 

Suryani, S. (2009). Benarkah Faktor Gender Berperan Dalam Pengungkapan Kekerasan Seksual Anak? Studi Meta Analisis. Jurnal Psikologi UGM, 36(1), 55-72. doi:  10.22146/jpsi.7904.