ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 5 Maret 2021
Dibalik Jeruji Besi: Cinta Istri Terpidana Terorisme
Oleh
Erni Kurniati
Division for Applied Social Psychology Research (DASPR)
Bagaimana rasanya setelah taaruf, tidak lama kemudian menikah, dan satu minggu kemudian suami ditangkap Densus 88? Pasti rasanya bagi kaum hawa (perempuan) sangat menyakitkan. Pada 2019 lalu saya mewawancarai salah satu istri mantan terpidana terorisme (yang saat itu masih berstatus terpidana) tentang bagaimana ia merasakan gejolak perasaan yang berkecamuk pasca suaminya ditangkap Densus 88.
Partisipan (komunikasi pribadi, 8 September 2019) dikenal sebagai perempuan yang tidak pernah membawa laki-laki ke rumahnya. Waktu berlalu, partisipan bertaaruf dengan seorang laki-laki yang memiliki ustaz yang sama dengan pengajian yang ia ikuti tetapi berbeda waktu pengajian. Tidak lama kemudian pasangan yang baru saja berkomitmen untuk hidup bersama ini harus menjalani masa tersulit dalam hubungan yang mereka baru bangun. Karena ternyata, kelompok pengajian khusus laki-laki yang diikuti suaminya terafiliasi dengan ISIS.
Kisah ini berbeda dengan kisah dua istri dalam tulisan Rufaedah (2020), yang mana istri tahu bahwa suaminya adalah seorang yang sedang melakukan persiapan dalam melakukan aksi kekerasan. Partisipan dalam kisah ini tidak mengetahui apa yang ada di dalam pengajian suaminya sehingga suaminya ditangkap.
Partisipan tentunya kaget dan tidak mengetahui apa yang terjadi. Ia merasakan kesedihan yang dalam. Di awal-awal penangkapan suaminya, hari-harinya dipenuhi dengan air mata. Diusia pernikahannya yang baru satu minggu, partisipan harus mengalami kejadian yang membuat dirinya terpukul bukan main. Ia menerka-nerka seharusnya diusia pernikahannya ia merasakan asyiknya berbulan madu. Namun sayang, takdir berkata lain ia harus menanti sampai tiba suaminya bebas.
Di awal, penulis mengira perempuan ini akan meninggalkan suaminya karena usia pernikahan yang partisipan jalani baru seumur jagung. Partisipan sendiri mengaku tidak mengetahui saat itu berapa lama suaminya akan dipenjara. Namun apa yang terjadi adalah partisipan tetap setia dan mempertahankan rumah tangganya. Dari kisah ini, penulis mencoba memahami cinta dan mengapa pasangan dibutuhkan?
Shihab (2015) dalam bukunya Pengantin Al’Quran: 8 Nasihat Perkawinan untuk Anak-Anakku menjawab “karena ada sesuatu dalam diri makhluk yang tidak kecil peranannya dalam wujud ini.” Ia menjelaskan lagi bahwa sesuatu itu adalah sesuatu yang melahirkan dorongan seksual. Dengan demikian berpasangan (perkawinan) merupakan sunnatullah.
Lalu apa yang kita sebut dengan berpasangan? Lebih jelasnya Shihab kemudian mendefinisikan apa itu berpasangan, yaitu “aksi dari satu pihak yang disambut dengan reaksi penerimaan oleh pihak lain, yang satu mempengaruhi dan yang lain dipengaruhi.” Sedangkan dalam teori cinta dari perspektif psikologi yang dikemukakan oleh Buss (1988) mengatakan bahwa cinta berevolusi sebagai sarana untuk membantu orang tetap berkomitmen satu sama lainnya. Karena cinta telah mengikat dirinya pada satu komitmen berpasangan.
Selama di penjara, sang suami sering membuat bunga atau sesuatu untuk partisipan. Keromantisan ditunjukkan sang suami untuk mempertahankan sang istri. Cinta suami pun disambut kesetiaan sang istri di luar penjara. Hal ini memang tidak mudah bagi partisipan. Dan yang terberat bagi partisipan juga adalah harus menghadapi keluarganya sendiri dan stigma masyarakat.
Disaat genting yang partisipan rasakan, ia masih merasakan takut suaminya dipandang tidak baik oleh keluarganya. Ia berpikiran karena ia menikah dengan waktu yang singkat dan terbilang mendadak. Saat itu, partisipan bisa saja meminta berpisah dan membuka lebaran baru bersama orang lain, tetapi partisipan tetap setia dan berpegang teguh pada komitmennya menunggu suaminya.
Dari apa yang dialami partisipan dan suaminya, Buss (1988) dalam The Nature of Love (Weis & Sternberg, 2008) melihat bahwa cinta memang tidak rasional. Bahkan menurutnya jika datang orang lain yang tampak cantik atau tampan dan pasangan sedang jatuh sakit sekalipun, seseorang yang telah berkomitmen akan tetap bersamanya dengan melawan rasionalitas.
Sikap yang ditunjukkan Partisipan merupakan sikap tegasnya terhadap suaminya bahwa dirinya akan selalu membantu suaminya bahkan dalam keadaan tersulit sekalipun. Ia tidak ingin meninggalkan suaminya ketika suaminya dalam keadaan susah. Dalam agama Islam juga sudah dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu berpasangan agar saling bahu membahu dan saling menolong. Sama halnya dengan partisipan yang ingin mendukung suaminya agar kembali ke jalan yang lurus dan tidak berlebihan dalam beragama.
Referensi:
Buss, D. M. (1988). Love acts: The evolutionary biology of love. In R. J. Sternberg & M. L. Barnes (Eds.). The Psychology of Love, 100-118. Yale University Press.
Partisipan. (2019, September 8). [Komunikasi pribadi].
Rufaedah, A. (2020). Mengapa Aku Menikahi Teroris. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/647-mengapa-aku-menikahi-teroris
Shihab, M. Q. (2015). Pengantin Al-Qur’an: 8 Nasihat Perkawinan untuk Anak-Anakku. Lentera Hati.
Weis, K., & Sternberg, R. J. (2008). The Nature of Love. Dalam S. F. Davis & W. Buskist (Ed.), 21st Century Psychology: A Reference Handbook (Vol. 2). SAGE Publications.