ISSN 2477-1686

 Vol. 7 No. 2 Januari 2021

Kepatuhan terhadap Social distancing Sign

 Oleh

Sekar Rizki Nabila, Rani Fitriani, Aisyah Zuhudan, Afifah Wildarosa

Universitas YARSI

 

COVID-19 sebagai virus baru menghadirkan perubahan yang besar dalam kehidupan manusia, tak hanya dalam hal-hal yang terkait dengan kesehatan namun juga sosial. Hal ini tak terlepas dari adanya sejumlah mekanisme sosial yang mesti dilakukan oleh seseorang agar terhindar dari paparan atau penularan virus berbahaya tersebut. Mekanisme sosial tersebut umumnya terwujud dalam bentuk suatu peraturan publik. Salah satu contohnya adalah social distancing.

Social distancing dirancang untuk mengurangi interaksi antar manusia, khususnya dalam rangka mencegah penularan yang terjadi dari orang yang bergejala maupun tidak bergejala COVID-19, melalui dropflet yang bersangkutan. Pemberlakuan social distancing terutama diterapkan pada lokasi-lokasi di mana transmisi mudah terjadi, seperti misalnya sekolah, gedung perkantoran, maupun tempat umum seperti pasar atau rumah makan (Wilder-Smith & Freedman, 2020).

Penulis mencoba melakukan observasi mengenai fenomena kepatuhan terhadap social distancing sign di salah satu cafe di Jakarta. Observasi yang dilakukan menggunakan metode behavioral tallying. Terdapat dua macam social distancing sign yang terdapat dalam cafe tersebut yaitu: tanda silang yang ditempelkan di bangku sebagai penanda dilarang duduk di bangku tersebut; serta garis di lantai depan kasir, sebagai tanda batas antrian agar tidak berdempetan antar pengantri. Adapun perilaku yang diobservasi, sesuai dengan indikasi kepatuhan terhadap social distancing, yaitu: Pengunjung duduk dibangku yang diberi tanda silang, Pengunjung duduk di bangku yang tidak diberi tanda silang, Antri di kasir berdasarkan garis yang sudah ditentukan, Antri di kasir tidak berdasarkan garis yang sudah ditentukan. Kemudian subjek juga dibagi ke dalam dua macam, yaitu customer umum (dine-in) serta ojek online atau take away customer.

Hasil dari observasi menunjukkan, pada customer umum atau yang makan di tempat (dine-in), lebih banyak yang patuh terhadap tanda silang di bangku atau memilih duduk di bangku tanpa tanda silang, dibandingkan yang tidak (20 orang berbanding 8 orang). Namun, ketika mengantri di kasir, lebih banyak dari mereka yang tidak mematuhi garis batas yang sudah ditentukan. Fenomena sebaliknya terjadi pada customer take away dan ojek online. Pada customer tipe ini, lebih banyak yang tidak patuh pada tanda silang di bangku dan memilih mendudukinya, sementara untuk garis batas di antrian kasir lebih banyak dari customer tipe ini yang mematuhinya.

Pertama, penulis mencoba menganalisis menggunakan teori tindakan beralasan (theory of reasoned action) (Hakim, 2018). Pada dasarnya customer umum atau dine-in memang sudah meniatkan dari awal untuk makan di tempat, sehingga dalam sikap customer ini khususnya pada komponen kognitif, mereka sudah memahami akan norma yang harus ditaati ketika duduk di dalam cafe, yaitu mematuhi aturan atau sign larangan duduk. Demikian yang berlaku pada ojek online yang memang sudah berniat dari awal untuk antri mengambil pesanan pengorder mereka, maka mereka cenderung mematuhi garis antrian.

Di sisi lain, ketidakpatuhan yang terjadi pada customer dine-in ketika mengantri menurut penulis lebih disebabkan adanya perilaku groupthink (Harmaini, Anatassia, Agung, & Munthe, 2016). Berdasar observasi penulis, sebagian besar mereka yang dine-in tidak datang sendiri melainkan berkelompok atau berpasangan. Sehingga secara situasional, mereka akan merasa dan berpikir bahwa tidak perlu mereka berjarak satu sama lain ketika mengantri, apalagi jika perlu berinteraksi satu sama lain. Ini berbeda dengan ojek online yang sebagian besar datang sendiri dan tidak mengenal satu sama lain.

Sedangkan para ojek online atau customer take away cenderung untuk duduk begitu saja di bangku bertanda silang, dimungkinkan karena beberapa faktor. Selain karena faktor fisik seperti lelah, atau faktor kebosanan, bisa juga dikarenakan proses belajar sosial (Walgito, 2011). Mereka melihat atau mengobservasi pengunjung lain yang datang terlebih dahulu dan duduk begitu saja setelah memesan makanan, maka merekapun mengikuti perilaku tersebut. Asusmi ini (belajar sosial) juga dapat berlaku untuk perilaku mengantri tadi, baik yang patuh maupun tidak.

Satu faktor pendukung yang paling utama bagaimana dinamika perilaku di atas bisa berjalan adalah, karena tidak adanya sistem peringatan atau punishment yang ketat dalam pemberlakuan berbagai sign ini. Dengan kata lain, tidak ada mekanisme legitimasi maupun paksaan dalam pembuatan aturan, yang berujung pada ketiadaan obedience (kepatuhan) (Harmaini, Anatassia, Agung, & Munthe, 2016). Menurut penulis, mekanisme inilah yang utama perlu diperhatikan oleh berbagai tempat makan baik itu cafe, restoran, rumah makan, atau yang lain, alih-alih sekedar membuat sign atau tanda.

Referensi:

Hakim, M.A. (2018). Sikap. In Pitaloka, A., Abidin, Z., & Milla, M.N. (Eds.) Psikologi Sosial, pengantar dalam teori dan penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.

Harmaini, Anatassia, D.F., Agung, I.M., & Munthe, R.A. (2016). Psikologi kelompok, integrasi psikologi dan islam. Jakarta: Rajawali.

Walgito, B. (2011). Teori-teori psikologi sosial. Yogyakarta: Andi press.

Wilder-Smith, A., & Freedman, D. O. (2020). Isolation, quarantine, social distancing and community containment: pivotal role for old-style public health measures in the novel coronavirus (2019-nCoV) outbreak. Journal of travel medicine, 27(2).