ISSN 2477-1686

 

 Vol. 7 No. 1 Januari 2021

Stress Memengaruhi Kesehatan?

oleh 

Nisrina Hasna Rachmania

Departemen Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia

 

Pada awal tahun 2020, pandemi yang diakibatkan persebaran SARS-CoV-2 mulai memasuki Negara Indonesia. Keadaan pandemi membuat masyarakat Indonesia diharuskan melakukan social distancing untuk memutuskan tali penularan, salah satunya adalah kebijakan Work From Home (WFH. Kegiatan di luar ruangan seperti bekerja, bersekolah, dan mengunjungi tempat rekreasi menjadi sulit dilakukan. Masyarakat yang terbiasa melakukan kegiatan di luar rumah untuk sekadar bekerja dan bersekolah diharuskan melakukan kegiatan tersebut secara daring di tempat tinggal masing-masing. Terbatasnya fasilitas pada tiap tempat tinggal membuat masing-masing individu mengalami kesulitan yang berbeda. Kesulitan tersebut nyatanya dapat menimbulkan stress untuk beberapa orang.

Stress didefinisikan sebagai kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang (Sarafino, 1994). Stress dapat timbul dari hambatan-hambatan yang tidak dapat dihadapi oleh individu. Macam-macam hambatan yang dihadapi biasanya berupa hambatan fisik, hambatan sosial, dan hambatan pribadi (Kartika, 2015). Sarafino (1998) mengungkapkan bahwa stress terdiri dari dua aspek, yaitu aspek psikologis dan aspek fisik. Aspek fisik terdiri dari gejala kognisi, emosi, dan tingkah laku (Sarafino, 1998). Sedangkan aspek fisik merupakan dampak dari menurunnya kondisi seseorang pada saat stress sehingga orang tersebut mengalami sakit pada organ tubuhnya (Sarafino, 1998).

Stress dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Seyle (1985) melakukan penelitian mengenai stress yang dialami oleh individu yang menderita suatu penyakit. Dia menemukan bahwa respon fight-or-flight hanya berlaku pada awal seri dari reaksi tubuh ketika menderita stress yang berkepanjangan. Seyle menyebutkan seri psikologis ini sebagai general adaptation syndrome (GAS). GAS ini terdiri dari tiga tahap:

  1. Alarm reaction. Berupa respon fight-or-flight pada kondisi darurat, berfungsi untuk mengerahkan sumber dari tubuh. Hasil cepat dari sistem saraf simpatik, dimana dapat mengaktivasi banyak organ melalui koneksi langsung antar saraf, termasuk kelenjar adrenal, dimana menstimulasi epinephrine dan norepinephrine dilepaskan ke aliran darah, memproduksi aktivasi lanjutan. Terkadang hypothalamus-pituitary-adrenal axis (HPA) dari respon stress teraktivasi secara cepat.
  2. Stage of resistance. Reaksi inisial dari sistem saraf simpatik menjadi  kurang jelas dan penting, dan aktivasi HPA mendominasi.
  3. Stage of exhaustion. Memperpanjang produksi gairah psikologis dengan stress akut jangka panjang dan stress berulang. Dapat membangunkan sistem imun dan menguras kembali energi tubuh sampai daya tahan terbatas.

Empat faktor penting dalam keseluruhan dari aktivasi tubuh dan stress psikologis (Williams et al., 2009):

  1. Jumlah exposure. Ketika kita menjumpai stressor lebih sering, intens, dan lama kita akan lebih merespon dengan aktivasi psikologis yang lebih besar juga.
  2. Magnitudo reaktivitas. Beberapa individu kan menunjukkan kenaikan tekanan darah atau hormon stress untuk merespon berbagai stressor.
  3. Tingkat pemulihan. Ketika stressor berkurang, respon psikologis akan kembali normal secara cepat pada beberapa individu, tetapi tetap pada tingkat yang lebih tinggi pada beberapa yang lainnya.
  4. Pemulihan sumber. Sumber yang digunakan dalam tekanan psikologis diisi kembali dengan berbagai kegiatan, tidur merupakan salah satu hal yang penting.

Stress yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kesehatan fisik. Sehingga meminimalisir stress perlu dilakukan. Cara untuk meminimalisir stress (Sarafino, 2011) dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:

  1. Coping.
  2. Meningkatkan dukungan sosial
  3. Memperbaiki kontrol diri.
  4. Meditasi.
  5. Memodifikasi kebiasaan dan tingkah laku

Kesimpulan:

Stress dapat memicu penurunan kesehatan fisik. Sehingga meminimalisir stress dapat mengurangi potensi turunnya kesehatan fisik. Cara meminimalisir stress dapat dilakukan dengan coping, meningkatkan dukungan sosial, memperbaiki kontrol diri, meditasi, dan modifikasi perilaku.

Referensi:

Kartika, C. D. (2015). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stress Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sarafino, E. P. (1994).  Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (Second Edition). John Wiley & Sons, Inc., NJ.

Sarafino, E. P. (1994).  Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (Seventh Edition). John Wiley & Sons, Inc., NJ.

Selye, H. (1985). The nature of stress. Basal Facts, 7(1): 3-11.

Williams, P. G., Suchy, Y., & Rau, H. K. (2009). Individual differences in executive functioning: Implications for stress regulation. Annuals of Behaviorial Medicine, 37(2): 126-240. Doi: 10.1007/s12160-009-9100-0