ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 11 Juni 2020

 Modern Marriage

Oleh

Sri Juwita Kusumawardhani

Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila

 

“Saya sadar bahwa pasangan adalah menantu yang baik bagi keluarga. Ia memiliki penampilan yang menarik, sikap yang sopan santun, serta penghasilan yang stabil. Tapi, rasanya ada yang kurang dalam pernikahan kami. Ia tidak mampu diajak berdiskusi dan memberikan saran yang signifikan dalam kemajuan karir saya. Ia tidak memiliki visi misi yang jelas dalam membangun rumah tangga ini. Saya harap kami dapat menjadi power couple yang bisa membanggakan di depan teman-teman. Entah sampai kapan saya dapat bertahan dalam hubungan ini”

A, 29 Tahun

 

Ilustrasi di atas merupakan sebuah kasus nyata yang semakin sering didengar di ruang praktek para psikolog pernikahan. Artinya, sudah tidak menjadi aneh ketika klien mempertimbangkan untuk berpisah atas dasar alasan kebutuhan kompleks (contoh: personal growth atau kebutuhan untuk tumbuh menjadi individu yang mengaktualisasikan potensinya) yang tidak terpenuhi. Di sisi lain, untuk para orangtua yang berusia 60 tahun ke atas, tentunya keluhan seperti itu sulit untuk dimengerti karena hampir tidak pernah terjadi di generasi mereka.

 

Merujuk pada Finkel dkk (2015) pernikahan di Amerika sudah menunjukkan tiga era yang berbeda, yakni Institutional Era, Companionate Era, dan Self-Expressive Era. Di era yang pertama, Institutional Era terjadi pada rentang waktu tahun 1776 hingga 1850 ditandai dengan pemenuhan kebutuhan dasar karena kehidupan ekonomi dan institusi sosial seperti kepolisian masih lemah atau tidak ada.

 

Fungsi utama pernikahan adalah saling membantu pasangan untuk memenuhi produksi makanan, adanya tempat tinggal dan perlindungan dari ancaman dunia luar. Memasuki era kedua, Companionate Era di rentang tahun 1850 hingga 1965, dimana industri sudah mulai maju sehingga keluarga tidak perlu memproduksi kebutuhan dasar secara mandiri, kebutuhan pernikahan menjadi lebih menyasar aspek emosional dan sensitivitas perasaan. Fungsi utama dari pernikahan di era tersebut adalah memenuhi kebutuhan cinta dan saling memiliki, serta pengalaman yang romantis.

 

Era terbaru yakni  Self-Expressive Era  dimulai pada tahun 1965 hingga saat ini, dipengaruhi oleh gerakan feminis, munculnya pil KB, dan kemajuan psikologi humanis yang memiliki fokus pada penemuan diri/ekspresi diri. Hal ini membuat individu bukan hanya mencari cinta dari pernikahan, melainkan pemenuhan kebutuhan harga diri, kemandirian dalam memilih, serta pertumbuhan diri.                   

 

Jika dikaitkan dengan teori kebutuhan hierarki Maslow, kebutuhan yang disasar pada pernikahan era Institutional hanyalah kebutuhan fisiologis dan rasa aman, dua kebutuhan paling dasar bagi manusia. Hal ini tentunya membuat individu lebih mudah merasa puas terhadap pernikahannya, karena tolak ukur yang konkrit dan mudah terukur. Memasuki era Companionate, individu memasuki tahap kebutuhan yang ketiga yakni kebutuhan cinta dan perasaan saling memiliki. Pernikahan mulai menghadapi tantangan karena individu perlu merasakan adanya pengalaman romantis dan perasaan cinta dari seseorang yang dinikahinya - kebutuhan dasar yang terpenuhi saja sudah tidak cukup untuk dapat menikah. Mulai banyak yang membangkang dari perjodohan atau melakukan perselingkuhan karena merasa tidak memperoleh cinta dari pernikahan tersebut.

 

Di era Self-Expressive, kebutuhan yang perlu dipenuhi semakin naik tingkat, yakni  aspek kebutuhan penghargaan (Esteem) dan aktualisasi diri. Hal ini yang membuat individu semakin sulit dipuaskan dalam pernikahan. Individu perlu saling memahami lebih dalam atas kebutuhan pasangannya, serta melakukan investasi waktu dan energi yang lebih besar di dalam hubungan - sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan di era-era sebelumnya. Salah satu dampak buruk dari kondisi tersebut adalah ketidakpuasan terhadap pernikahan yang semakin tinggi hingga berakhir pada perceraian. Di Indonesia sendiri, tingkat perceraian menunjukkan kenaikan sekitar 10.000 kasus pada setiap tahunnya. Pada data BPS (2018), angka perceraian di tahun 2017 berjumlah 374.516 kasus.

 

Dual Career Couple

Salah satu aspek yang sering muncul dari pernikahan modern adalah dual career couple atau pasangan yang keduanya bekerja. Adanya isu kesetaraan gender yang lebih diperhatikan dibanding era-era sebelumnya membuat perempuan memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja saat ini.

 

Bekerja atas dasar memang harus ikut membantu perekonomian keluarga ataupun pilihan pribadi untuk memenuhi potensi dirinya sendiri. Seringkali hal ini dianggap sebagai alasan banyaknya perceraian terjadi - karena perempuan bekerja dianggap kurang mampu menghormati suami atau lebih memiliki kesempatan untuk melakukan perselingkuhan.

 

Berdasarkan hasil penelitian Etemadi dkk (2017), permasalahan yang muncul dari pasangan yang keduanya bekerja adalah stres kerja yang dibawa ke rumah dan sebaliknya - beban pekerjaan rumah tangga yang mempengaruhi performa kerja di kantor. Hal ini dipengaruhi kurangnya kemampuan membagi tugas rumah tangga dan pengasuhan anak, serta habisnya energi dan waktu sehingga sulit untuk bermesraan dengan pasangan. Dampaknya, pasangan yang keduanya bekerja seringkali menurun kebahagiaannya di dalam pernikahan. Di sisi lain, jika pasangan tidak bekerja maka mereka merasa tidak mengaktualisasikan diri dan kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan sekitar dan diri sendiri.

 

Penting untuk pasangan yang keduanya bekerja bersikap layaknya tim di dalam keluarga (Groysberg and Abrahams, 2015). Yang pertama perlu ada dalam pernikahan/keluarga adalah adanya nilai-nilai yang serupa (Shared Values). Konflik tidak terelakkan di dalam pernikahan, namun pasangan yang memiliki nilai serupa akan lebih mudah dalam penyelesaian konflik yang dimilikinya karena fokusnya adalah bagaimana menyelesaikan konflik bukan apa dan mengapa mereka memiliki konflik tersebut.

 

Kedua, mempertahankan peran dan tanggung jawab yang jelas namun tidak kaku di dalam pernikahan. Pasangan perlu fleksibel dalam membagi tugas, fokus pada efektivitas dan efisiensi, serta membuat hidup keduanya menjadi lebih mudah. Jika hanya salah satu pihak saja yang dibebani oleh pekerjaan domestik maka ketidakpuasan pernikahan akan mulai dirasakan oleh individu tersebut.

 

Ketiga, adanya dukungan emosional dari pasangan. Beban dan stres kerja yang dirasakan di kantor akan terasa lebih ringan ketika memiliki pasangan yang mampu mendengarkan dan memberikan semangat serta dukungan.

 

Keempat, menyediakan waktu dan ruang untuk bersama pasangan. Seperti yang dipaparkan Gottman (2015) bahwa pasangan memiliki minimal waktu yang perlu dihabiskan bersama agar pernikahannya dapat bertahan dengan bahagia, yakni 5 jam seminggu disebut juga 5 Magic Hours. Total waktu ini tidak dihabiskan dalam sekali pertemuan, tetapi dipecah-pecah menjadi sekian menit per harinya.

 

Saat partings (perpisahan di pagi hari), pasangan perlu saling menginformasikan rencana dan jadwalnya pada hari tersebut, waktu yang dibutuhkan sekitar 2 menit/harinya (dikalikan dengan 5 hari kerja = 20 menit). Lalu, ada bagian reunions (pertemuan kembali di malam hari setelah pulang kerja), keduanya saling berbagi cerita mengenai hari yang telah dilalui masing-masing kepada pasangannya, waktu yang diperlukan sekitar 20menit/harinya (dikalikan dengan 5 hari kerja = 100 menit).

 

Kemudian, ada admiration dan appreciation, yakni saat pasangan memberikan pujian dan penghargaan satu sama lain. Hal ini bisa ditujukan untuk hal-hal sederhana yang telah pasangan lakukan seperti memasak, membayar listrik, atau merapikan tempat tidur serta terhadap penampilan fisik pasangan. Waktu yang dibutuhkan sekitar 5 menit dikali 7 hari = 35 menit. Berikutnya, waktu untuk menunjukkan afeksi melalui sentuhan dan candaan, waktu yang dibutuhkan sekitar 5 menit dikali 7 hari = 35 menit.

 

Yang terakhir, kencan yang dilakukan secara mingguan, kurang lebih membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Ingat, standar 5 jam ini adalah waktu minimal, artinya boleh lebih namun jangan sampai kurang, jika Anda ingin mempertahankan rumah tangga yang sehat dan bahagia.

 

Melihat tantangan yang lebih kompleks dalam pernikahan modern, tentunya penting untuk cermat dan bijak dalam memilih pasangan yang akan dinikahi. Bukan hanya atas dasar tuntutan dari lingkungan sekitar, usia kronologis yang dianggap sudah cukup, atau durasi pacaran yang sudah tergolong lama, tetapi fokus pada kualitas hubungan dan kesinambungan visi misi rumah tangga yang hendak dibangun.

 

Kondisi yang dialami dalam pernikahan bukan hanya berkaitan dengan kepuasan pernikahan namun juga mempengaruhi kualitas hidup Anda secara vital. Seperti yang terpapar dalam laporan Mental Health Foundation (2016), kualitas hubungan pernikahan memiliki asosiasi dengan keuntungan secara fisik dan mental, termasuk menurunkan tingkat kematian. Lebih jauh, individu yang berada di pernikahan sehat dan membahagiakan cenderung memiliki kepuasan hidup yang lebih besar, tingkat stress yang lebih tinggi, dan kesehatan yang lebih baik dibandingkan yang belum menikah. Oleh karena itu, menikahlah dengan pertimbangan yang rasional dan matang, karena ini tentang siapa yang tepat bukan mana yang cepat.                                     

 

Referensi:

 

Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Indonesia 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik

 

Etemadi, O. Et al (2017). The Pathology of the Dual-Career Couples: A Qualitative Study. Global Journal of Health Science, 9(5), 226-233.

 

Finkel, E.J. Et al (2015). The Suffocation Model: Why Marriage in America Is Becoming an All-or-Nothing Institution. Association for Psychological Science, 24(3),238–244.

 

Gottman, J.M. (2015). The Seven Principles for Making Marriage Work. London: Orion Books LTD.

 

Groysberg, B., and Abrahams, R. (2015). Marriage and the Marketplace: Dual-Career Couples in the 21st Century. Harvard Business Review, 1-16.

 

Mental Health Foundation. (2016). Relationship in 21st Century: The Forgotten Foundation of Mental Health and Wellbeing. London: Mental Health Foundation