ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 11 Juni 2020
Apa yang salah dengan Oversharing di Media Sosial?
Oleh
Sandra Handayani Sutanto
FakultasPsikologi, Universitas Pelita Harapan
Beberapa tahun yang lalu, salah seorang kawan saya pergi berlibur keluar negeri bersama keluarganya. Untuk mendokumentasikan perjalanannya, ia mengunggah foto-foto perjalanannya dan momen yang ia nikmati bersama keluarga di media sosial. Jumlah foto yang diunggah minimal 40 buah dalam satu hari, dan ia pergi berlibur kurang lebih seminggu.
Tahun lalu, salah seorang kawan yang lain merayakan keberhasilannya mencapai suatu prestasi tertentu dalam pekerjaannya. Berhari-hari ia mengunggah segala aspek prestasinya tersebut dengan orang tertentu atau seremoni saat ia mendapatkan penghargaan karena prestasinya tersebut. Jumlah foto yang diunggah per hari sekitar lima buah foto, dan hal tersebut berlangsung selama seminggu.
Tidak berapa lama berselang, salah seorang kawan yang lain mempersiapkan pernikahannya dan kembali mengunggah beberapa foto pra-nikahnya ke media sosial. Jumlah yang dibagikan sekitar tiga hingga empat buah foto per hari dan berlangsung kurang lebih seminggu.
Pernah mengalami hal yang sama? Ketika lini masa Anda dipenuhi oleh wajah yang itu-itu saja dan seolah-olah tidak ada habisnya? Apa yang Anda rasakan? Ikut senang? Kesal? Lalu apa yang anda pikirkan tentang orang tersebut? Pamer? Norak? Menyebalkan?
Oversharing
Setiap orang memiliki hak untuk membagikan kehidupannya di media sosial. Namun, ketika seorang melakukan oversharing, hal tersebut mungkin akan mengganggu orang lain juga. Afrilia (2017) mendefinisikan kata oversharing dengan terlalu banyak berbagi di media sosial. Mungkin bagi sebagian besar orang mengunggah binatang kesayangan yang lucu atau bayi yang menggemaskan merupakan hal yang menyenangkan, namun jika hal ini dilakukan berturut-turut sepanjang minggu maka Anda telah melakukan oversharing. Afrilia (2017) menambahkan bahwa kategori oversharing adalah mengunggah foto lebih dari empat kali setiap harinya. Jadi semua contoh dalam ilustrasi di atas merupakan bentuk oversharing yang saya saksikan.
Oversharing juga mendatangkan dampak yang kurang baik bagi orang yang melakukannya. Amaniya (2019) menyebutkan beberapa dampak negatif dari oversharing, mulai dari kehilangan privasi, memicu tindak kriminalitas tertentu misalnya dengan mengunggah ke media sosial tiket pesawat dalam rangka liburan, penilaian/komentar negatif dari orang orang lain, diberikan label ‘tukang pamer’, pengeluh (jika yang diunggah adalah kesulitan dan keluhan terus menerus) hingga membuat orang tertentu menjadi kurang suka (baca : ilfil, ilang feeling).Terkait dengan ilustrasi kasus di atas, saya pernah memberikan label tukang pamer kepada teman yang terus menerus mengunggah foto liburan tanpa henti dan menganggap sombong pada kawan lain yang terus menerus memamerkan foto keberhasilannya sepanjang minggu.
Kebutuhan yang mendasari oversharing
Horney (dalam Feist, Feist, dan Roberts, 2013) menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kebutuhan untuk mengatasi kecemasan dasar yang mereka rasakan. Horney membagi kebutuhan manusia menjadi 10 kebutuhan, dua diantaranya adalah kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial dalam bentuk gengsi tertentu dan kebutuhan untuk dikagumi secara personal.
Kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial membuat individu mencoba untuk selalu terlihat sebagai yang pertama, terlihat penting, dan menarik perhatian dari orang-orang tertentu pada dirinya atau pencapaiannya. Pada ilustrasi kasus kedua, unggahan seremoni keberhasilan secara detail, foto dengan orang yang berhasil, ditambah dengan keterangan foto yang menyertainya, merupakan contoh nyata dari kebutuhan ini, bahwa saya penting dan ini diperlihatkan di media sosial.
Sedangkan kebutuhan untuk dikagumi secara personal membuat individu memiliki keinginan untuk dikagumi dengan keberadaannya, sehingga keberhargaan mereka sangat bergantung pada kekaguman dan pengakuan yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya atau unggahannya. Dalam ilustrasi kasus, unggahan foto liburan yang banyak mungkin didorong oleh kebutuhan untuk mendapatkan kekaguman dari pengikut atau orang lain yang melihat unggahan tersebut.
Kembali pada teori Horney, semua orang memiliki kebutuhan yang disebutkan di atas, hanya saja bagi individu yang melakukan oversharing, kebutuhan ini dirasa lebih mendesak dan lebih banyak. Seidman (2015) menambahkan bahwa manusia cenderung menyukai orang yang berbagi, namun demikian pengungkapan diri yang terlalu berlebihan dan tidak semestinya—oversharing—akan membuat kita kurang menyukai orang tersebut.
Cara mengatasinya
Mengatasi oversharing bias dilihat dari dua sisi, dari orang yang melakukan dan orang yang menyaksikan oversharing.
Bagi yang melakukan oversharing, saran dari Amaniya (2019) bias dipertimbangkan misalnya dengan memikirkan ulang dan berhati-hati sebelum mengunggah sesuatu, termasuk hal yang menjadi privasi ke media sosial. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah tahu batasan hal-hal yang diunggah, tidak perlu berlebihan seperti dalam ilustrasi kasus. Seidman (2015) mengusulkan untuk mengubah fokus dari sebuah unggahan, tidak melulu mengenai diri sendiri tetapi membuat koneksi dan menunjukan kepedulian pada orang lain, maka hal tersebut akan membantu kita menjadi terkoneksi dengan orang lain.
Bagi yang menyaksikan oversharing dan merasa terganggu, bias menggunakan setting privacy yang digunakan oleh platform misalnya dengan membuat senyap(mute) atau menyembunyikan unggahan dari orang tertentu(hide).
Sharing our thought is healthy. But, oversharing leads to destruction.
-Vijay Raghavan
Referensi :
Amaniya. (2019, Maret 15). Oversharing kehidupan di media sosialbukanhalbaik, ini 5 alasannya! IDN Times. Diunduh dari https://www.idntimes.com/life/inspiration/amaniya/oversharing-kehidupan-di-media-sosial-bukan-hal-baik-ini-5-alasannya-c1c2/5
Afrilia, D. (2017, November 26). Tanda-tanda oversharing di media sosial. Beritatagar. Diunduh dari https://beritagar.id/artikel/gaya-hidup/tanda-tanda-oversharing-di-media-sosial
Feist, J., Feist, G.J., & Roberts, T. (2013). Theories of personality (8th ed.). New York: McGraw-Hill.
Seidman, G. (2015, March 10). How much is too much to share on social media. Psychology Today. Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/close-encounters/201503/how-much-is-too-much-share-social-media