ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 07 Maret 2020
Ketika Dukungan Sosial Tidak Cukup untuk Mengatasi Kesepian: Sebuah Refleksi Diri
Oleh
Grace Indrawati
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Demi mengatasi pesebaran COVID-19, WHO dan pemerintah menganjurkan untuk melakukan social distancing. Salah satunya dengan bekerja dari rumah atau dikenal dengan Work From Home (WFH). Bagi sebagian orang WFH mungkin menjadi suatu hal yang menyenangkan. Mereka dapat bekerja sambil bersantai di rumah, ditemani pasangan, keluarga, hewan peliharaan, bahkan ada yang bisa bekerja sambil melakukan hobi yang selama ini jarang dilakukan jika harus bekerja dari kantor.
Sayangnya, tidak selamanya WFH itu indah. Ada beberapa orang yang memilih untuk tetap tinggal di kos/ apartement seorang diri demi menghindari pesebaran virus kepada keluarganya di rumah. Ada juga yang tidak kembali ke tempat asalnya karena mereka tetap harus datang ke kantor meskipun ada anjuran untuk WFH. Awalnya WFH mungkin terasa menyenangkan ketika kita bisa bangun lebih siang, tidak perlu buru-buru mandi, dan bisa menggunakan baju rumah yang santai saat bekerja. Namun WFH menjadi suatu hal yang tidak menyenangkan lagi ketika kita benar-benar harus melakukannya sendirian karena muncul rasa bosan, kesepian, sendirian, dan merasa jauh dari siapa pun. Bagi orang yang senang bertemu banyak orang dan terlibat berbagai aktifitas sebagai sumber energi mereka, maka melakukan social distancing dengan cara WFH seorang diri di kos/ apartement akan menjadi suatu tantangan tersendiri bagi mereka.
Memutuskan untuk tidak pulang ke rumah demi social distancing dan bekerja dari kos menjadi suatu tantangan juga bagi saya. Teman-teman di kos satu per satu pulang ke rumah masing-masing. Ada beberapa yang masih tinggal di kos tetapi mereka tetap harus berjuang pergi ke kantor sesuai jam kerja. Sehingga setiap pagi sampai sore hanya ada saya seorang diri di kos. Jika rindu dengan keluarga, teman, maupun pasangan hanya bisa terobati dengan video call. Sementara bertemu secara online sangatlah terbatas karena mereka juga bekerja dan belum lagi jika jaringan internet tidak lancar. Situasi ini membuat saya frustrasi dan memunculkan rasa kesepian pada minggu kedua WFH di kos.
Kesepian dapat terjadi ketika seseorang merasa relasi sosial yang ia miliki berkurang secara signifikan baik kuantitas maupun kualitasnya (Perlman & Peplau, 1984 dalam Salimi 2011). Ketika relasi sosial yang dimiliki saat ini berbeda dengan yang diharapkan, maka akan memunculkan rasa kesepian (Peplau & Perlman 1982, dalam Kutlu & Pamuk, 2016). Bagi saya pribadi bertemu secara langsung dan bisa merasakan kehadiran keluarga, pasangan maupun teman secara fisik menjadi bentuk ideal yang saya harapkan saat berinteraksi dengan mereka. Dalam kondisi pandemik seperti ini tentu hal itu tidak dapat terpenuhi dan memunculkan perceived isolation berupa pengalaman subjektif dari hilangnya support serta pertemanan yang selama ini dimiliki sehingga memunculkan rasa kesepian (Cornwell & Waite, 2009 dalam Singer 2018). Situasi yang membuat kita frustrasi karena adanya keinginan yang tidak terpenuhi mengharuskan kita untuk beradaptasi untuk mendapatkan serta mempertahankan apa yang kita anggap berharga. Dalam penelitian Cummings dan Pargement (2010) hal ini disebut sebagai stressor. Lazarus dan Folkman (1984, dalam Cummings & Pargament 2010) mengatakan bahwa ketika kita berhadapan dengan stressor, maka kita akan terdorong untuk mengevaluasi situasi yang kita hadapi dan menentukan respon apa yang akan kita berikan terhadap situasi tersebut atau yang biasa dikenal sebagai coping stress.
Rasa cemas dan kesepian yang saya rasakan akhirnya membuat saya bertanya, apa yang sebenarnya Tuhan ingin lakukan kepada saya ditengah kondisi ini. Pemikiran ini membawa saya kepada bentuk coping yang Pargament utarakan, yaitu religious coping. Pargament mengungkapkan bahwa ketika individu memandang kehidupan yang ia miliki adalah suatu hal yang sakral (sacred) atau saat individu berada dalam situasi yang cukup menggelisahkan hubungannya dengan Tuhan maka individu akan menggunakan religious coping untuk merespon situasi tersebut (Cummings & Pergament, 2010).
Berdoa dan melakukan meditasi merupakan salah satu bentuk religious coping yang bisa dilakukan, tetapi orang yang sering berdoa dan aktif melakukan kegiatan keagamaan belum tentu menggunakan kegiatan rutinitas keagamaannya sebagai coping stress (Cummings & Pargement, 2010). Poin utama yang ditekankan oleh Pargement adalah isi doa dan jenis dukungan sosial seperti apa yang dicari individu saat ia mengalami masalah, serta bagaimana individu memaknai stressor yang ia alami berdasarkan imannya. Pargement membagi religious coping kedalam dua bentuk, yaitu positive religious coping dan negative religious coping. Ketika individu memaknai stressor yang ia hadapi sebagai perjalanan imannya bersama dengan Tuhan, sarana membentuk suatu koneksi yang positif dengan Tuhan dan berhasil melepaskan emosi yang negatif maka hal ini disebut sebagai positive religious coping. Sedangkan ketika individu menghadapi stressor dan memaknai bahwa stressor tersebut disebabkan oleh kuasa iblis serta membuatnya hilang kepercayaan akan kuasa Tuhan, hubungan dengan komunitas imannya terganggu, serta membuat relasinya dengan Tuhan menjadi konfliktual, maka hal ini disebut sebagai negative religious coping
Sebenarnya saya tidak dengan sengaja mencari dan melakukan religious coping. Namun pasangan saya memberikan suatu pencerahan (insight) saat saya merasa kesepian. Ia mengatakan bahwa saat ini kita mungkin memang sengaja dipaksa untuk sendirian dan terpisah dari orang lain karena ini adalah waktu dimana Tuhan ingin membuat kita datang kembali kepada-Nya. Dalam keseharian biasanya kita terlalu sibuk dan tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi serta menjalin relasi secara mendalam dengan Tuhan. Bisa diakui juga kita tidak pernah memiliki waktu untuk sungguh-sungguh mencari apa yang Tuhan ingin kerjakan dalam hidup kita. Sekarang adalah waktunya untuk melakukan itu. Sebab setelah pandemik ini berakhir maka kesempatan tersebut akan berakhir juga. Jika kita tidak meresponnya dengan tepat, maka ada banyak kesempatan untuk bertumbuh yang Tuhan ijinkan terjadi tapi kita lewatkan begitu saja. Kita bisa saja memilih untuk melewatkan waktu ini dengan bersantai atau pun berfokus pada emosi negatif yang kita rasakan tapi kita akan melewatkan suatu kesempatan untuk bertumbuh lebih dalam bersama dengan Tuhan.
Meskipun terasa seperti digurui, namun disaat yang bersamaan apa yang diutarakan pasangan saya cukup menguatkan dan menggerakan saya untuk kembali datang kepada Tuhan. Hal ini membantu saya dalam mengarahkan diri ketika berdoa, bersaat teduh dan mendengarkan kotbah agar rutinitas keagamaan tersebut tidak berlalu begitu saja. Pertanyaan yang cukup membantu saya dalam merenungkannya adalah apa yang ingin Tuhan ungkapkan kepada saya dan iman apa yang sedang Tuhan tumbuhkan dalam diri saya ditengah kondisi seperti ini. Semoga hal ini dapat membantu kita untuk memaknai situasi apa pun yang Tuhan ijinkan terjadi dalam hidup kita.
Referensi:
Cummings, J. P., & Pargament, K. I. (2010). Medicine for the spirit: Religious coping in individuals with medical conditions. Religions, 1(1), 28–53. https://doi.org/10.3390/rel1010028
Kutlu, M. (2016). Analysis of Social and Emotional Loneliness According to Glasser’s Basic Needs. Educational Process: International Journal, 5(2), 128–138. https://doi.org/10.12973/edupij.2016.52.4
Salimi, A. (2011). Social-Emotional Loneliness and Life Satisfaction. Procedia-Social and behavioral Science 29:292-295. doi:10.1016/j.sbspro.2011.11.241
Turan, Y. (2018). Coping with Loneliness: Loneliness, Religious Coping, Religiosity, Life Satisfaction and Social Media Usage. Cumhuriyet İlahiyat Dergisi, 22(June), 479–516. https://doi.org/10.18505/cuid.406750