ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 04 Februari 2020

Terwujudnya Perempuan Indonesia yang Bermartabat:

Pendekatan Psikologi Bagi Perempuan Rentan dan Korban KDRT

 

Oleh

Nurhidaya Amar

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia

 

 

Pendahuluan

 

Substansi hak asasi manusia, secara etis, adalah terwujudnya penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan meniscayakan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa diskriminasi warna kulit, jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Substansi ini sudah menjelma menjadi elemen dasar dalam dan menjadi elemen dasar  konstitusi  (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

 

Perempuan dalam konteks ini, tentu saja, diterjemahkan pula sebagai makhluk bermartabat yang memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup dan memiliki penghidupan yang layak, hak untuk bebas dari rasa takut dan ancaman apapun. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan  hak-hak  tersebut. Untuk itu, banyak intrumen hukum HAM yang terbentuk di negara ini. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

 

Sudah hampir 10 tahun UU PKDRT ini berlaku, tetapi peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan berbagai modus operandinya masih ribuan angkanya. Malah, ada kecenderungan mengalami peningkatan.  Kejahatan KDRT mengakibatkan korbannya menderita. Pada umumnya mereka menjadi stress, depresi, ketakutan, trauma,  takut bertemu pelaku, cacat fisik, atau berakhir pada perceraian. Dari sisi pelaku, apabila kasusnya terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu,  dihukum, dan atau memilih dengan perceraian pula.

 

Menurut saya, pendekatan yuridis tidak cukup untuk memecahkan masalah perempuan dalam konteks KDRT. Apalagi, kenyataannya, UU tersebut justru malah kerap digunakan aparat penegak hukum untuk mengkriminalkan perempuan korban. Pendekatan multidisiplin adalah salah satu pilihannya, yang dalam hal ini dengan pendekatan psikologi terhadap perempuan rentan dan korban KDRT. Apapun bentuk KDRT, sekalipun non-psikis), sesungguhnya yang mereka alami (korban) atau yang mengancamnya (rentan) pasti mental/psikisnya yang paling bermasalah. Hak mereka sebagai manusia/perempuan bermartabat hanya bisa diperolehnya secara sempurna   minimal mental/psikisnya dipulihkan terlebih dahulu. Negara  wajib menjangkau episentrum permasalahan perempuan yang korban dan rentan KDRT sehingga instrument hukum HAM tidak sekedar menjadi teks-teks  ‘milik penegak hukum semata’. Hakikat memberi perlindungan hukum kepada perempuan adalah menjadikannya bermartabat.

 

Pembahasan

 

Mengonstruksi visi “Terwujudnya  perempuan Indonesia yang rentan dan korban KDRT untuk lebih  bermartabat” dan misi “ Optimalisasi  pendekatan psikologi dalam memperlakukan perempuan rentan dan korban KDRT” untuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dapat menjadi pilihan strategis dan efektif menjangkau epsientrum permasalahan perempuan baik yang rentan maupun yang menjadi korban KDRT untuk jangka pendek dan jangka panjang.

 

Epsientrum tersebut teridentifikasi dari bentuk kekerasan yang secara umum dialami korban yang bermuara pada kesehatan mental/psikis yang didapat dipicu dengan  persoalan, misalnya  soal kemandirian ekonomi istri, karena pekerjaan istri, perselingkuhan suami, lingkungan, campur tangan pihak ketiga, pemahaman yang salah terhadap ajaran agama, kebiasaan suami, dominasi suami dan sebagainya. KDRT dapat berbentuk beberapa tindakan kekerasan, diantaranya kekerasan fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran ekonomi Kekerasan fisik yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Misalnya saja bentuk kekerasan yang menggunakan tangan kosong, seperti menyiram dengan air panas, menjambak rambut, mendorong, meludahi dan menampar. Sedangkan kekerasan psikis merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan jenis ini dapat berbentuk hinaan atau kata-kata kotor yang merendahkan diri perempuan, seperti “kamu tidak berguna” atau “kamu tidak menarik”. Luka terdalam sebagai dampak kekerasan psikis yang dialami individu dapat juga menimbulkan trauma berkepanjangan. Malah, korban kekerasan bisa juga jadi pelaku kekerasan di masa mendatang”.

 

Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual dan kekerasan dengan bentuk penelantaran rumah tangga. Kekerasan seksual dapat berbentuk pemaksaan hubungan seksual. Walaupun sulit dibuktikan, bentuk kekerasan ini juga sering dialami oleh perempuan, misalnya memaksakan berhubungan seks walaupun istri sedang tidak sehat atau tidak mau, atau melakukan perilaku seks menyimpang dengan istri. Penelantaran rumah tangga juga berarti ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah.

 

Gambaran umum di atas menunjukkan bahwa hal yang paling dibutuhkan perempuan yang menjadi korban kekerasan KDRT adalah memulihkan mental/psikisnya selain luka fisik jika ada. Perempuan korban KDRT bisa saja sembuh secara fisik, tetapi belum tentu dikuti oleh kesembuhan mental/psikis. Padahal, idelanya mereka harus tetap memperoleh hak-haknya secara utuh dalam konteks HAM. Mereka tetap harus menjadi perempuan bermartabat. Hal ini tentu berat diperolehnya tanpa pemulihan mental/psikisnya.

 

Psikologi sebagai ilmu  pengetahuan yang berusaha memahami segala bentuk perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu serta memahami bagaimana manusia itu berfikir dan berperasaan, sehingga menjadi manusia yang berkepribadian, yakni memiliki mental yang baik (sehat) sangat signifikan artinya untuk penanganan intensif kepada perempuan korban atau yang rentan dengan KDRT. Namun demikian, untuk memahami tingkah laku, kepribadian ataupun mental seseorang secara komprehensif, sesungguhnya tidak hanya cukup dengan pendekatan ilmu psikologi belaka,  tetapi perlu juga didukung dengan ilmu lain seperti ilmu fisiologis, sosiologi, budaya dan antropologi. Namun pendekatan yang paling utama untuk mengenal dan mengetahui segala bentuk kondisi kejiwaan seseorang, yaitu dengan  pendekatan psikologis. Karena pendekatan ini dipandang lebih humanis.  Secara teoretis, macam-macam kegiatan psikis pada umumnya digolongkan dalam empat kategori, yaitu: (1) pengenalan atau kognisi, (2) perasaan atau emosi, (3) kemauan atau konasi, dan (4) gejala campuran. Namun jangan diabaikan bahwa setiap aktivitas psikis (jiwani) itu pada waktu yang sama juga merupakan aktivitas fisik badani (Sarwono,1976). Semua kegiatan jasmaniah, otak, perasaan, alat indera dan otot-otot juga ikut ambil bagian di dalamnya. Psikologi adalah satu ilmu pengetahuan yang secara khusus mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan individu, dimana individu tidak bisa dilepaskan dengan lingkungannya. Disamping itu, objek yang diamati itu adalah sama, yakni tingkah laku manusia sejak dilahirkan sampai meninggal.

 

Khusunya terhadap perempuan yang rentan dan korban KDRT, optimalisasi pendekatan psikilogi dapat diaktualisasikan dengan sejumlah program. Antara lain adalah:.

1.    Memastikan adanya pendampingan bagi setiap perempuan korban KDRT dengan mengoptimalkan konsultan psikologi/rohaniawan disamping menangani secara medis luka fisiknya jika ada.

2.    Pihak Penegak hukum  mengoptimalkan pendekatan psikologi kepada pelaku KDRT disamping pendekatan yuridisnya dengan memperlakukannya bukan saja sebagai tersangka tetapi melihatnya sebagai bagian dari dampak permasalahan dalam lingkup rumah tangga.

3.    Peduli pada masa depan korban KDRT dengan pendekatan kekeluargaan dan tidak menyudutkan atau  menyalahkan.

4.    Memastikan solusi hukum dan non-hukum  atas masalah yang dihadapi yang memungkinkannya pulih sebagai perempuan yang bermartabat untuk menjalani masa depannya.

 

Program atau langkah konkret melakukan pencegahan KDRT, antara lain adalah:

1. Memastikan setiap keluarga Indonesia dapat mengakses lebih mudah  dan interaktif Komnas Perempuan Indonesia dengan membentuk jejaring sosial yang efektif dan berkesinambugan baik yang bersifat formal maupun non-formal.

2. Mengoptimalkan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara    mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.

3. Memastikan setiap anggota keluarga memperoleh pendidikan khusus agar bisa menjaga diri dan terhindar dari KDRT.

4. Tetap menggalakkan pendidikan tentang HAM dan pemberdayaan perempuan.

 

Penutup

 

Hak untuk hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak secara bermatabat adalah hak setiap orang. Termasuk bagi perempuan yang rentan dan korban KDRT. Negara wajib memastikan bahwa mereka lebih mendapatkan prioritas  dalam konteks perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM bagi perempuan. Mengotimalkan pendekatan psikologi kepada mereka bersamaan dengan optimalisasi pendekatan lainnya, misalnya hukum adalah salah satu pilihan strategis yang bersifat  jangka panjang. Mereka harus tetap menjadi perempuan bermartabat, sebagaimana perempuan lainnya dalam keadaan apapun. Kepedulian pada masa depan mereka adalah bentuk hakiki keberpihakan Negara terhadap perempuan Indonesia. Bangsa yang bermartabat mensyaratkan eksisnya perempuan-perempuan yang bermartabat.

 

Referensi:

 Sarwono, S.W. (1976). Pengantar psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).