ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 20 Oktober 2019
Psst...Can you keep a secret??
Oleh
Sandra Handayani Sutanto
Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan
Ibu A, B dan C adalah teman lama yang bertemu kembali setelah sekian waktu. Setelah pertemuan tersebut, ibu A menceritakan permasalahan pribadinya pada ibu B dengan menggunakan aplikasi pesan pribadi. Ibu C juga pernah menceritakan pengalaman pribadinya pada ibu B melalui aplikasi pesan secara personal. Pada hari ulang tahun ibu A, ibu B mengucapkan selama ulang tahun dalam aplikasi pesan kelompok disertai dengan harapan agar permasalahan pribadi ibu A—yang pernah diceritakan secara personal pada ibu B—segera mendapatkan solusi. Hal yang sama terulang kembali pada saat ibu C berulang tahun dan mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari kelompok dalam aplikasi pesan. Ibu B turut memberikan selamat di tengah kelompok sembari sedikit menyinggung permasalahan pribadi yang pernah diceritakan oleh ibu C secara personal kepada dirinya.
Pernah mengalami hal yang serupa? Apa yang salah dengan ibu B? Salah tempat / saluran komunikasi dalam menyampaikan hal yang pribadi? Atau ibu B cenderung tidak bisa menyimpan rahasia dan membocorkannya pada orang lain? Apakah ibu B memang tidak bisa dipercaya?
Trust
Trust atau kepercayaan menjadi hal yang krusial dalam relasi sosial. Kepercayaan juga mengikat individu dengan penuh kebajikan, menimbulkan interaksi yang timbal balik sehingga tercipta dasar dari pertemanan (Brown & Brown, 2009). Lebih lanjut, Rotter (1971) mendefinisikan kepercayaan—dalam konteks hubungan interpersonal—sebagai ekspektasi yang dimiliki oleh individu atau kelompok bahwa kata-kata, janji, pernyataan secara verbal dan tertulis dari individu atau kelompok lain bisa diandalkan.
Pada kasus di atas, kepercayaan yang diberikan oleh ibu A dan ibu C—dalam bentuk informasi kepada ibu B dibuka kepada orang lain yang mungkin tidak berhak untuk memperoleh informasi tersebut. Ibu B menjadi tidak bisa diandalkan untuk menyimpan rahasia atau informasi personal yang dipercayakan kepadanya.
Penyebab bocornya rahasia
Ketidakmampuan ibu B untuk menyimpan rahasia mungkin berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan informasi yang dimilikinya. Lauby (2012) mendefinisikan kekuasaan informasi sebagai kekuasaan yang didasari pada informasi yang tidak tersedia bagi pihak lain. Individu yang memiliki kekuasaan informasi dapat memengaruhi orang lain karena mereka memiliki akses informasi yang dianggap penting atau berharga.
Di tengah maraknya penyebaran informasi saat ini, memiliki informasi yang tidak tersedia bagi banyak orang adalah salah satu bentuk dari kekuasaan. Penyalahgunaan terhadap kekuasaan informasi dapat terjadi ketika informasi yang didapat secara personal digunakan oleh orang tertentu sebagai upaya yang langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain, misalnya menggunakan informasi untuk memeras atau membocorkan informasi yang didapat secara personal pada pihak lain yang tidak berkepentingan.
Dampak kebocoran rahasia
Saat informasi yang kita percayakan kepada orang lain dilanggar, hal ini mendatangkan dampak, pada orang lain dan diri kita sendiri. Dampak yang paling jelas terlihat adalah sosok ibu B atau yang membocorkan rahasia akan menjadi figur yang diragukan kemampuannya untuk bisa menyimpan rahasia atau tidak bisa dipercaya. Bagi pihak yang informasinya dibagikan tanpa ijin—dalam hal ini dibocorkan rahasianya, maka akan merasa tersakiti. Selain itu pihak yang dibocorkan rahasianya juga mungkin mempertanyakan mengapa hal tersebut terjadi.
Cara untuk menumbuhkan kembali rasa percaya
Vilhauer (2016) memberikan beberapa langkah untuk mengembalikan rasa percaya, yaitu :
1. Memaafkan diri sendiri. Mulailah dengan berhenti menyalahkan diri sendiri Pertanyaan seperti ‘Kenapa juga saya cerita ke ibu B ya?’ atau ‘Coba kalo dulu saya lebih jeli menilai bahwa ibu B adalah ember bocor’. Perlu untuk diketahui dan diingat bahwa perilaku seseorang untuk membocorkan rahasia adalah hasil keputusannya dan tidak ada sangkut paut dengan diri kita.
2. Memaafkan orang lain. Ketika kita memberikan maaf, maka kita juga membebaskan diri kita dari beban emosional, seperti marah terhadap orang tersebut. Memaafkan dan berdamai dengan tindakan orang lain akan lebih mudah jika kita bisa menggunakan persepsi orang lain—misalnya pelaku pembocoran informasi dan benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi. Cobalah berfokus dengan kualitas lain yang dimiliki oleh orang tersebut daripada mengingat semua keburukannya.
3. Memercayai orang lain. Saat memercayai orang lain, satu-satunya hal yang pasti adalah tidak adanya kepastian, maksudnya tidak ada jaminan bahwa orang tersebut akan berubah, sehingga yang bisa kita lakukan adalah melakukan penilaian terhadap orang tersebut dan apa yang akan dilakukannya di kemudian hari, berkembang menjadi lebih baik atau tidak? Akan ada lebih banyak sisi baik dari sisi buruknya?
Setelah mempertimbangkan tiga langkah di atas, barulah kita bisa mengambil keputusan untuk memercayai atau tidak memercayai kembali. Pengalaman mengalami ketidakpercayaan atau dikhianati memang tidak menyenangkan, namun demikian, semoga pengalaman tersebut semakin membantu kita untuk lebih menghargai hal-hal yang baik dalam hidup, menemukan makna yang mendalam dari sebuah hubungan dan membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik.
Trading own secret to someone is the sign of trust and love while trading someone’s secret to others is the sign of wickedness and cunningness.
-Jannat Parween
Referensi:
Brown, S.L, & Brown, R.M. (2009). Selective investment theory: Recasting the functional significance of close relationship. Psychological Inquiry, 17, 1-29.
Lauby, S. (2012). 7 types of power: Using power effectively within organizations. South Florida : ITM Group Inc.
Rotter, J.B. (1971). Generalised expectancies for interpersonal trust. American Psychologist, 26, 443-452.
Villhauer, J. (2016). How to rebuild trust with someone who hurt you. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/living-forward/201609/how-rebuild-trust-someone-who-hurt-you