ISSN 2477-1686

Vol.5 No. 18 September 2019

Rethinking Jihad: Feminin not Maskulin

Oleh:

Nia Widya Siregar

Division for Applied Social Psychology Research

 

Imam besar Masjid Istiqlal, Nasarudin Umar mengatakan bahwa arti jihad ialah upaya yang dikerahkan untuk mencapai tujuan Islam. Upaya-upaya itu bisa dalam bentuk fisik (jihad), pemikiran (ijtihad), dan semangat batin (mujahadah). Jika ada yang mengatasnamakan jihad tetapi tidak melibatkan dimensi ijtihad dan mujahadah, maka sesungguhnya belum bisa disebut jihad. Dengan demikian, jihad tidak harus maskulin, kasar, keras, dan memegang senjata. Seorang tukang sapu jalanan memegang sapu, seorang penulis memegang pena, seorang petani memegang cangkul dan seorang nelayan memegang jala. Sesungguhnya mereka juga berjihad dan alat-alat yang ada ditangannya merupakan peralatan jihad. Itulah yang dimaksud jihad feminin. (Ma’arif Asry, 2018).

Pintu-pintu Jihad Feminin

Rovi’i (2018) dalam bukunya yang berjudul “Kalau Jihad Gak Usah Jahat” memaparkan contoh-contoh jihad feminin yang bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain sebagai berikut:

Pertama adalah Jihad Ilmu;  Menuntut ilmu dan mengamalkannya juga merupakan bentuk dari jihad yang bisa dilakukan  karena memiliki manfaat yang sangat besar baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Setiap dari kita pasti memiliki kesukaan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang berbeda-beda, dengan sungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkannya maka kita sudah termasuk melakukan jihad dalam melawan kebodohan serta membawa umat manusia menjadi kaum yang terdidik.

Kedua, Jihad Harta; Memberi tanpa diminta dan menyisihkannya sedikit pada orang yang benar-benar membutuhkan sejatinya merupakan sebuah jihad yang sangat bermanfaat terlebih jika kita melakukannya secara rutin, sehingga dapat membantu orang lain dalam mengatasi kesusahan.

Ketiga, Jihad Ekonomi; Berbisnis dan mencari rezeki dengan niat dan tujuan yang baik serta semangat dalam menjalankannya merupakan sebuah jihad yang penting bagi umat manusia hari ini. Ketika kita bekerja dengan tujuan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga kita atau bahkan membuka peluang usaha untuk membantu masyarakat, maka kita sudah berjihad dengan cara yang baik dan menguntungkan.

Keempat, Jihad Waktu; Menyisihkan waktu untuk melakukan hal-hal yang baik juga merupakan bagian dari jihad. Sebab sejatinya, memanfaatkan waktu yang berharga sebaik mungkin dan tidak menyia-nyiakannya dengan melakukan hal yang buruk merupakan sebuah cara sederhana untuk berjihad.

Kelima, Jihad Kreativitas; Menghasilkan kreativitas yang bermanfaat bagi masyarakat luas juga merupakan suatu jihad, dengan mengaktualisasikan akal yang dimiliki kita bisa mempermudah kehidupan banyak orang baik dalam hal beribadah maupun menjalankan kehidupan duniawi. Mengembangkan teknologi demi tujuan yang baik sehingga mempermudah masyarakat akan menjadi pilihan yang keren untuk berjihad.

Keenam, Jihad dalam Keluarga; Peranan setiap anggota keluarga memiliki jihadnya masing-masing. Menjalankan tugas menjadi seorang ayah yang menafkahi keluarga, Ibu yang mengurus keperluan rumah tangga atau anak yang menghormati kedua orangtuanya merupakan bentuk jihad yang paling mudah untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menjalankan peran dan tanggung jawab yang semestinya maka kita sudah berupaya untuk melakukan jihad sederhana untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan warohmah.

Ketujuh, Jihad dalam Teknologi Informasi; Memanfaatkan teknologi dan informasi yang benar untuk melakukan kebaikan juga turut  menyumbang peran dalam melakukan jihad feminin. Menggunakan media sosial dengan membagikan hal yang berguna, membentuk grup kajian online untuk berdiskusi dan bertukar pendapat, atau membuat blog dakwah untuk menebarkan kedamaian merupakan contoh-contoh konkrit yang dapat dilakukan jika ingin melakukan jihad melalui pemanfaatan media teknologi dan informasi.

Kedelapan, Jihad untuk Lingkungan;  Menjaga kebersihan lingkungan dan melestarikan alam dengan tidak membuang sampah sembarangan merupakan sebuah jihad kesadaran yang semestinya dilakukan oleh setiap dari kita. Dengan berhenti mengeksploitasi alam secara terus menerus dan mulai peduli pada masa depan lingkungan maka kita sudah memulai perilaku jihad yang penting untuk menghargai setiap ciptaan-Nya.

Terakhir dan menjadi titik kunci paling penting dalam melakukan jihad adalah Jihad Damai; Menghindari konflik yang tidak perlu dan mengambil sikap untuk menjadi juru damai atau jika mampu untuk menjadi juru penengah dari segala macam konflik yang terjadi merupakan jihad paling besar yang begitu terpuji untuk dilakukan pada hari ini. Daripada ikut memanaskan konflik-konflik yang ada, lebih baik kita menjadi juru penengah untuk membawa pesan damai demi menciptakan hidup yang aman dan bahagia.

 

Rethinking Jihad

Diharapkan bahwa akan ada upaya serius oleh kita para akademisi Muslim khususnya untuk rethinking jihad atau memikirkan kembali makna jihad hari ini. Sebab, masih banyak yang bisa dilakukan untuk melaksanakan upaya jihad dalam situasi saat ini. Berdasarkan artikel jurnal yang dirilis oleh International Centre for Political Violence and Terrorism Research berjudul ‘Rethinking Classical Jihad Ideas’ yang ditulis oleh Muhammad Hanif Hasan (2013), bahwa sebagai langkah ke depan untuk melakukan proses Rethinking Jihad yang berfokus kepada para akademisi Muslim, disarankan agar melakukan pendekatan multidisiplin ilmu untuk studi jihad di lembaga pembelajaran Muslim tradisional seperti Madrasah dan pesantren, serta di universitas. Hal ini secara signifikan akan mempengaruhi pemikiran masyarakat umum sejak dini sehingga kedepannya pembaruan makna jihad dapat secara efektif berjalan di masyarakat.

Saat ini, proses ini hanya ditemukan di universitas Barat dalam studi Islam atau terkait disiplin ilmu seperti hubungan internasional. Institusi pembelajaran Muslim tradisional masih mengandalkan karya klasik yang menitikberatkan makna jihad pada perjuangan umat Islam dalam perang dan memegang senjata. Maka perspektif yang berbeda  dalam mempelajari makna jihad harus segera dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, bukan hanya kalangan akademisi saja yang harus mengambil Inisiatif terhadap ide ini, namun harus dilaksanakan oleh umat Islam sendiri untuk menghentikan persepsi jihad klasik. Jihad hari ini harus dilakukan secara feminin seperti cara-cara diatas daripada melakukan jihad maskulin yang bertema kasar, keras dan justru memicu perpecahan.

 

Referensi:

Asry, Darul Ma’arif. (2018). Rethinking jihad dalam orang muda bicara: Keragaman, intoleransi dan nir-kekerasan. Ambon: Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) IAIN.

Hasan, Muhammad Hanif. (2013). Rethinking classical jihad ideas. International Centre for Political Violence and Terrorism Research, 5 (3), 6-7.

Rovi'i. (2018). Kalau jihad gak usah jahat. Tangerang Selatan: Yayasan Islam Cinta Indonesia.