ISSN 2477-1686

 

Vol.5 No. 18 September 2019

Niat Remaja Millennial Menjadi Polisi, Suatu Keniscayaan

Oleh

Tugimin Supriyadi

Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Erik Saut Hutahaean

Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Marcya Marta

Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma

Perkembangan teknologi digital membawa perubahan yang pesat pada remaja kita untuk hidup dan berperilaku sebagai remaja masa kini yang  disebut dengan remaja millennial. Perkembangan kehidupan remaja yang bermetamorfosa menjadi remaja millennial ini, tidak mengurangi minat remaja menjadi anggota polisi. Sayangnya banyak kendala dan tantangan yang harus dilewati agar cita-cita menjadi seorang anggota polisi dapat terwujud. Salah satu kendala yang sangat nyata adalah tingginya jumlah remaja yang tertarik untuk menjadi anggota polisi, namun kuota kebutuhan sangat terbatas. Remaja mempunyai keinginan tanpa didasarkan pada kesadaran akan kapasitas potensinya. Tidak mengherankan jika nantinya mereka lulus, kapasitasnya tidak dapat menjangkau kinerja yang diharapkan, mereka merencanakan upaya untuk lulus dengan tidak murni. Tulisan ini menguraikan analisa empiris tentang kaitan antara kesulitan belajar dengan terbentuknya niat tidak murni dan profil pribadi. Sebanyak 115 remaja SMA yang bercita-cita menjadi polisi dilibatkan dalam penelitian penulis.

Berdasarkan penilitian yang penulis lakukan, nampak bahwa minat remaja millennial yang pesat dengan berbagai informasi terkini melalui media sosial dengan berbagai informasi baik positif maupun negatif dan ternyata minat mereka untuk menjadi polisi masih cukup tinggi.  Hal ini sebagai bukti bahwa sekarang dan selanjutnya masalah-masalah yang terjadi di kepolisian semestinya tidak hanya dikebiri, tapi seharusnya diberikan solusi (Supriyadi, 2017). Informasi yang penulis rangkum dari media elektronik di Polda Metro Jaya tercatat ada 475 personel yang diberikan hukuman sepanjang tahun 2016. Sebanyak 28 personel dari 475 tercatat diamankan tanpa pemecatan. Mereka yang mendapat sanksi karena terbukti melanggar otoritas dan melakukan kejahatan (Amelia, 2016). Jika kita ingin membahas situasi ini, kita membutuhkan dasar ilmiah untuk penjelasan. Meski sudah banyak kabar singkat yang berkaitan dengan proses seleksi di awal, di samping masalah stres dan beban kerja. Penyimpangan tugas dan tanggung jawab menjadi indikator penting yang memunculkan ketidakberesan saat bertugas, karena polisi memiliki profil buruk (Miller 2004).

Saat ini seleksi menjadi polisi melewati tahapan penyaringan psikologis, tujuannya untuk mendapatkan ketepatan kondisi psikologis yang terbaik (Glasner 2005). Ada kandidat yang bersiap untuk membuat dirinya layak sebagai polisi, dengan mempersiapkan kondisi fisik dan psikis. Sementara peminat lainnya, terutama mereka yang belum menyadari kapasitas potensi dirinya, memilih jalur untuk meminta bantuan perekrut memfasilitasi kelulusannya. Mereka yang memilih jalur ini biasanya memiliki kesiapan keuangan dan jalur komunikasi dengan pihak internal. Hal ini dapat dilihat melalui terungkapnya dugaan kasus kecurangan dalam proses seleksi. Keadaan ini sepertinya tidak berlebihan ketika disimpulkan sebagai niat menjadi polisi yang tidak murni lagi. Katakanlah, jika mereka lulus karena membayar kompensasi ilegal (Nani, 2015) dan mempelajari tes seleksi. Mereka yang lulus sangat mungkin tidak mencerminkan kapasitas yang mumpuni dan jika kandidat benar-benar ingin lulus dengan cara yang tidak murni, tentu saja hal ini menjadi tantangan yang begitu berat dalam mengemban tugas sebagai polisi yang kompeten serta dapat bertugas secara profesional.

Sebuah artikel penelitian yang dituliskan Miller (2004) menjelaskan pentingnya profil pribadi polisi yang baik, karena terkait dengan perannya kepada masyarakat. Polisi yang profil pribadinya buruk akan mendatangkan penegakan yang bermasalah. Abrahamsen (2006) menyatakan bahwa polisi mempunyai dualitas kepribadian, kepribadian sebagai petugas dan kepribadian privasi (private personality). Penelitian penulis, terkait hubungan antara antara kesulitan belajar serta niat menjadi polisi dengan profil ideal seorang polisi, hasilnya antara kesulitan belajar dan niat menjadi polisi terbukti tidak memiliki hubungan, begitupun antara kesulitan belajar dan profil polisi, hanya niat menjadi polisi dan profil polisi saja yang terbukti berhubungan secara signifikan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa kesulitan belajar sama sekali tidak berhubungan dengan profil polisi yang dimiliki oleh seseorang. Berbeda dengan niat yang terbukti memiliki hubungan serta berpengaruh terhadap profil polisi, artinya semakin tinggi niat seseorang untuk menjadi seorang polisi maka profil polisi yang dimiliki oleh orang tersebut juga akan semakin baik. Begitupun sebaliknya, jika niat menjadi polisi yang dimiliki oleh seseorang rendah maka profil polisi yang dimilikinya pun akan rendah. Kondisi kesulitan belajar tidak memberikan pengaruh dalam membentuk profil polisi. Apapun kondisi kesulitan belajar yang dialami tidak akan berpengaruh terhadap profil pribadi, baik itu profil yang mirip dengan karakter polisi yang buruk maupun dengan karakter profil polisi yang baik. Meski kesulitan belajar tidak terbukti berhubungan dengan profil polisi, namun kesulitan belajar dan niat menjadi polisi terbukti secara bersama-sama dapat memengaruhi profil polisi yang dimiliki oleh seseorang.

Akhirnya dapat dikatakan bahwa niat menjadi polisi dengan cara yang murni terbukti berhubungan terhadap pembentukan profil pribadi polisi yang positif. Niat menjadi polisi dengan cara yang murni menggambarkan sejumlah rencana positif dari seseorang, semakin besar potensi internalnya karena niat yang positif, maka pengaruhnya menjadi bertambah besar dalam membentuk perilaku yang mencerminkan pribadi dengan profil polisi yang positif. Niat menjadi faktor penentu yang dapat memengaruhi perilaku (Ajzen 1991). Perilaku bergerak karena ada niat yang terlebih dulu oleh individu, niat yang baik telah terbukti dapat mendorong terbentuknya perilaku positif. Niat berperan membantu individu membuat perencanaan yang sejalan dengan perilaku yang akan dilakukannya, tujuan memiliki peran dalam menjelaskan niat berperilaku (Fornerio, Joilbert, Sanchez, dan Zhang 2011). Sejumlah rencana perilaku yang baik, saat dilaksanakan oleh individu maka perilakunya akan mencerminkan perilaku positif, yang pada kelanjutannya akan membentuk profil pribadi positif.

Mengingat profesi polisi merupakan pekerjaan yang akan lebih banyak memberikan keteladanan dalam menjaga keamanan negara, pemuda yang tertarik ingin menjadi polisi perlu menata dan mengatur dirinya sendiri secara positif terlebih dahulu, yang pada akhirnya akan membentuk profil pribadi yang positif.

Referensi:

Abrahamsen, S. (2006). Police personality and the relationship between personality and preferencesfor conflict resolution tactics: Research Report. Oslo: Politiϕgskolen.

Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Article in Organizational Behavior and Human Decission Process. Diakses dari researchgate.net/publication/272790646_The_Theory_of_Planned_Behavior.

Amelia. R., M. (2016, Desember 30). Polda Metro pecat 28 anggota nakal sepanjang tahun 2016. Diakses dari detiknews//m.detik.com

Fatria. B. (2014, Mei 31). 1603 Brigadir polisi lulus penerimaan di Polda Metro. Diakses dari Tribunnews.com

Fornerino, M., Jolibert, A., Sanchez, C.M., & Zhang, M. (2011). Do values or goals better explain intent? A cross-national comparison. Journal of Business Research, 64(5), 490-496. doi: 10.1016/j.jbusres.2010.03.007.

Glasner, A. T. (2005). Police personality: what is it and why are they like that. Journal of Police and Criminal Psychology, 20(1), 56-57.

Miller, L. (2004). Good cop-bad cop: problem officer, law enforcement culture, and strategies for success. Journal of Police and Criminal Psychology, 19(2), 30-48.

Nani. (2015, April 18). Jadi polisi harus bayar ratusan juta. Diakses dari Tribun Jambi.com.

Supriyadi, T. (2016). Psikologi kepolisian. Jakarta: Inti Prima.