ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 12 Juni 2019
Apa yang Perlu Diketahui Orang Tua tentang Toilet Training?
Oleh
Melok Roro Kinanthi
Zulfa Febriani
Octaviani Indrasari Ranakusuma
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Jaman dahulu, sebelum diciptakan benda bernama popok sekali pakai (atau biasa disingkat pospak), kebanyakan orang tua harus bangun di tengah malam untuk mengganti popok kain anak yang kotor karena mengompol atau buang air besar saat tidur. Mereka juga harus membersihkan dan menjemur kasur yang ternoda. Setelah Marion Donovan menemukan pospak pertama pada tahun 1950, rutinitas orang tua di malam hari tersebut menjadi lebih ringan. Dengan adanya pospak, anak dapat tidur lebih nyaman dan orang tua tak perlu terlalu sering membersihkan kasur yang terkena ompol.
Meski keberadaannya sangat membantu orang tua, namun pospak menimbulkan efek lain yang tidak bisa dianggap enteng. Dari aspek lingkungannya, misalnya, seperti yang dikutip dari situs Dream.co.id (2 Mei 2017), pospak menjadi penyumbang limbah terbesar ketiga di tempat pembuangan sampah. Lebih lanjut, situs ini juga mengungkapkan 50% sampah rumah tangga dihasilkan oleh pospak. Di Bojonegoro, banyak ditemukan pospak bekas yang dibuang ke sungai setelah digunakan (Radar Bojonegoro Online, 27 Februari 2018). Pospak bekas tersebut bukan hanya dapat mencemari air sungai karena kandungan bahan kimia di dalamnya, namun juga dapat menghambat arus air yang bisa menyebabkan banjir (Radar Bojonegoro Online, 27 Februari 2018).
Untuk mengurangi limbah pospak, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan. Yang pertama memberikan edukasi mengenai bagaimana mengelola limbah pospak; sementara yang kedua adalah membekali anak dengan ketrampilan mengendalikan dan membuang air seni atau feses pada waktu dan tempat yang sesuai. Cara yang kedua ini terkait dengan pemberian toilet training pada anak, umumnya sejak mereka berusia toddler. Keterlambatan pemberian toilet training cenderung akan memperpanjang masa penggunaan pospak. Selain itu, keterlambatan toilet training bukan hanya berdampak pada peningkatan limbah pospak, namun juga aspek psikologis dan sosial anak. Sayangnya, tidak semua orang tua memahami dan memiliki ketrampilan untuk menerapkan toilet training pada anak. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional, diperkirakan terdapat 75 juta anak yang masih sulit mengendalikan aktivitas Buang Air Kecil (BAK) dan Buang Air Besar (BAB) hingga usia prasekolah (Maidartati & Latif, 2018).
Toilet Training : Tak Melulu tentang BAK dan BAB di Toilet
Pada umumnya, kita mengenal toilet training sebagai upaya untuk melatih anak agar dapat melakukan BAB dan BAK pada tempatnya (Yulia, dalam Batuatas & Tripeni, 2012). Toilet training terdiri dari kemampuan anak untuk melakukan bowel control (kendali pergerakan usus, BAB) dan bladder control (kendali kandung kemih, BAK) (Maidartati & Latif, 2018). Meski demikian, hakikat toilet training melampaui definisi tersebut. Dalam toilet training, anak diajarkan untuk patuh dan mengikuti norma sosial yang berlaku di lingkungannya (yakni, kapan dan dimana harus BAK/BAB). Anak juga belajar memperoleh otonomi, kemandirian, dan self esteem (van Nunen dkk, 2015), khususnya terkait rawat diri.
Lebih lanjut, Van Nunen dkk (2015) mendapati dewasa ini orang tua cenderung memulai dan menyelesaikan pemberian toilet training saat usia anak lebih tua. Bila dibandingkan dekade 1940an, dimana orang tua cenderung memulai toilet training saat usia anak belum mencapai 18 bulan, maka orang tua di masa kini memulainya saat usia anak berkisar antara 21-36 bulan. Fenomena pergeseran usia ini bisa jadi disebabkan oleh sejumlah hal, yakni semakin banyaknya produk pospak; semakin banyak orang tua (khususnya Ibu) yang bekerja di luar rumah, sehingga semakin sedikit waktu toilet training; kecenderungan orang tua jaman sekarang yang kurang konsisten menerapkan aturan untuk anak (bahkan cenderung longgar), dan sebagainya (Van Nunen dkk, 2015).
Jangan Sampai Terlambat Melakukan Toilet Training pada Anak!
Keterlambatan atau ketidaktepatan pemberian toilet training pada anak akan menimbulkan sejumlah dampak. Sebagai contoh, hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya kecenderungan anak untuk mengompol di sekolah (Batuatas & Tripeni, 2012) dan munculnya gangguan fisik seperti disfungsi berkemih, sembelit, enuresis dan encopresis. Hasil penelitian menunjukkan, di sejumlah day care atau tempat penitipan anak terjadi peningkatan jumlah penyakit infeksius karena adanya anak yang belum terampil mengendalikan dan melakukan BAK dan BAB pada tempatnya (Hadler & McFarland, dalam Van Nunen dkk, 2015). Selain itu, anak yang belum menjalani toilet training cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang tua untuk urusan kebersihan diri (Foxx & Azrin, dalam Van Nunen dkk, 2015). Anak juga dapat terhambat untuk masuk sekolah karena umumnya sekolah mensyaratkan hanya akan menerima anak yang sudah mampu melakukan BAB dan BAK sesuai norma masyarakat secara mandiri (Bakker dkk, dalam Van Nunen dkk, 2015).
Secara psikologis, kegagalan anak dalam melakukan toilet training dapat membentuk kepribadian anal, dengan ciri keras kepala, susah diatur, ceroboh, atau jorok (Freud dalam Phares, 1988). Menurut teori Psikologi Kepribadian, usia dimana anak melakukan toilet training berada dalam tahap perkembangan autonomy versus shame and doubt (kemandirian, rasa malu, dan ragu). Kegagalan melakukan toilet training dapat menyebabkan anak mengembangkan perasaan malu atau ragu-ragu dalam melihat kompetensinya.Sementara itu, ketika anak mendapatkan kesempatan dan dukungan yang positif untuk melakukan toilet training dengan pengawasan yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kemandiriannya (Rahayuningsih & Rizki, 2012).
Siapa yang Berperan dalam Inisiasi Toilet Training pada Anak?
Inisiasi toilet training pada anak ditentukan oleh sejumlah faktor yakni tingkat ekonomi keluarga, sosial budaya, dan pendidikan Ibu. Sementara itu, Batuatas dan Tripeni (2012) menyebutkan kerberhasilan pelaksanaan toilet training dipengaruhi oleh peran orang tua, termasuk ibu. Tingkat pengetahuan yang rendah pada orang tua merupakan faktor yang berkontribusi pada kegagalan toilet training. Sayangnya, masih terdapat orang tua yang belum memiliki pengetahuan atau ketrampilan memadai untuk menjalankan toilet training pada anak. Sebagai contoh, hasil survey yang dilakukan oleh tabloid Nakita (dalam Batuatas & Tripeni, 2012) menyebutkan bahwa sekitar 75% dari jumlah responden penelitian (yang merupakan orang tua) tidak menyadari pentingnya toilet training bagi anak. Ditemukan pula bahwa sebanyak 20% balita tidak diberikan toilet training oleh orang tuanya. Batuatas dan Tripeni (2012) menyebutkan para orang tua, khususnya Ibu, belum memahami kapan saat yang tepat dan bagaimana melakukan toilet training pada anak. Selain itu, proses toilet training belum tentu mudah dilaksanakan oleh semua anak. Sebagai contoh, anak dapat saja merasa stres saat menjalani toilet training (Batuatas & Tripeni, 2012). Kondisi ini dapat terjadi ketika orang tua, khususnya Ibu, belum memiliki pengetahuan atau ketrampilan yang memadai terkait pemberian toilet training pada anak.
Psikoedukasi Toilet Training
Menyadari pentingnya toilet training bagi perkembangan anak dan masih adanya orang tua yang belum memahami apa dan bagaimana toilet training tersebut, Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas YARSI melakukan psikoedukasi terhadap para ibu yang tergabung dalam Kelas Balita Puskesmas Cempaka Putih. Dalam kegiatan yang diadakan Rabu, 20 Maret 2019 ini, tim memaparkan materi yang terdiri dari tinjauan umum toilet training, mengenali ciri kesiapan anak untuk melakukan toilet training, dan langkah-langkah tahap persiapan – pelaksanaan toilet training. Selain mendapat paparan ceramah, peserta juga diajak untuk saling berbagi pengalaman saat melakukan toilet training pada anak. Dengan demikian, pengetahuan peserta mengenai toilet training tidak hanya diperoleh dari paparan pemateri, namun juga pengalaman praktis sesama orang tua.
Pengabdian masyarakat ini menggandeng Puskesmas Cempaka Putih sebagai mitra kegiatan. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatnya pengetahuan ibu yang memiliki anak usia toddler mengenai toilet training. Output lainnya adalah dihasilkannya modul toilet training, yang telah memperoleh sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) nomer EC00201941337.
Referensi:
Batuatas, R., & Tripeni. (2012). Pengaruh peran ibu terhadap keberhasilan toilet
training pada anak usia toddler di PAUD Tarbiyatush Shibiyan, Mojoanyar, Mojokerto. Hospital Majapahit, 4(1), 70-82.
Maidartati., & Latif, D.D. (2018). Gambaran pengetahuan orang tua tentang toilet
training pada anak usia toddler di Puskesmas Pasir Kaliki. Jurnal Abdimas BSI, 1(1), 7-13.
Rahayuningsih, S.I., & Rizki, M. (2012). Kesiapan anak dan keberhasilan toilet training di PAUD dan TK Bungong Seuleupoek UNSYIAH Banda Aceh. Idea Nursing Journal, III(3), 274-284.
Van Nunen, K., Kaerts, N., Wyndaele, J.J., Vermandele, A., & Van Hal, G. (2015).
Parents’ view on toilet training: a quantitative study to identify the beliefs and attitudes of parents concerning TT. Journal of Child Health Care, 19(2), 265-274.
Limbah Popok Berdampak Besar terhadap Lingkungan (2018,27 Mei). Diakses dari
https://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2018/02/27/52921/limbah-popok-berdampak-besar-terhadapnbsp-lingkungannbsp pada 1 Juni 2019.
Ada Aturan di Popok Sekali Pakai, Sudah Tahu? (2017, 2 Mei). Diakses dari
https://parenting.dream.co.id/diy/ada-aturan-di-kemasan-popok-sekali-pakai-sudah-tahu-1705026.html pada 1 Juni 2019.