ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.14 Juli 2018

 

Persilakan Generasi Phi Mengkonstruk Karakter

Oleh

Eko A. Meinarno

PIC Modul dan Buku K-PIN

Pernahkah kita sebagai pengajar atau pelatih memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk membangun sendiri pemahamannya tentang karakter? Tulisan ini untuk merespon kajian Markam (2018) tentang karakter dan melanjutkan ide intervensi sosial untuk perguruan tinggi (lihat Meinarno 2017). Tentu pengajaran karakter bukan hal mudah, tapi bukan berarti kita lepas tangan. Maka dari itu tulisan sederhana ini hendak menjawab celah-celah kemungkinan membangun karakter pada mahasiswa. 

Untuk menjalankan pengajaran ini tidak butuh kuliah khusus. Cukup disisipkan pada kuliah bukan sebagai materi, tapi sebagai upaya mengisi bagian dari “afeksi” mahasiswa terhadap mata kuliah yang mereka jalani. Dalam bahasa lainnya seperti agenda tersembunyi dari kurikulum. Mengapa tersembunyi? Karena membangun karakter, bukanlah pengajaran materi. Karakter perlu tumbuh dari dalam diri yang merasa butuh untuk bertumbuh dan berkembang untuk diri dan lingkungannya. Dengan demikian pembentukan dan pengembangan karakter terintegrasi dalam perkuliahan.

Pelaksanaan agenda tersembunyi ini dapat dilakukan di bagian manapun dari perkuliahan. Dapat di awal semester, tengah atau bahkan di akhir (walau membicarakan karakter umumnya di awal). Tawaran metodenya cukup sederhana. Para mahasiswa di awal pertemuan dapat diajak untuk melihat karakter tokoh yang mengajukan teori yang digunakan dalam kuliah. Tentu hal ini tidak sulit karena tokoh-tokoh ini umumnya mempunyai karakter yang baik (pengajar telah membaca terlebih dahulu tokoh yang memang mempunyai karakter khusus yang dianggap kuat). 

Mahasiswa diminta membuat kelompok kecil. Mereka membahas tentang tokoh tadi, justru bukan dari sisi teori atau konsep yang ia ajukan, tapi dari perjalan hidupnya. Hal ini tidak sulit karena mahasiswa dapat menemukannya di situs internet. Diskusi dalam kelompok meminta mahasiswa menentukan karakter apa yang muncul dari tokoh, karakter yang kuat dari tokoh. Untuk memudahkan kategorinya dapat merujuk Seligman dan Peterson (2004 dalam Markam 2018). Kelompok mendiskusikan karakter terkuat dari tokoh merujuk kategori karakter Seligman dan Peterson (atau teori lain).

Hasil uraian dari tiap kelompok dibuat catatannya. Catatan ini yang kemudian akan menjadi bahan untuk diskusi pleno. Paparan dalam pleno harus dalam konteks ilmiah, oleh karena itu presentan memaparkan kajiannya dengan berbahasa Indonesia yang benar dan perilaku selayaknya mahasiswa. Dalam pemaparan ini, semua kelompok mendengar aktif, mereka juga dapat meminta penjelasan bahkan termasuk menyampaikan posisi yang berlawanan.

Kegiatan pleno yang tetap dijaga oleh dosen, hal ini adalah bagian dari kegiatan umpan balik (Rooijakkers, 1988).  Kegiatan ini untuk memantapkan apa yang telah diterima dan didikusikan serta mengetahui bagian mana yang belum tepat. Pemberian umpan balik juga harus menjaga tata krama yang berlaku di kelas, misalnya dengan tetap menyebut nama diri tiap kali bertanya pada kelompok yang sedang memaparkan.

Hasil paparan dan umpan balik (dari kelompok lain dan dosen), tiap individu dari kelompok dapat membuat refleksi diri. Refleksi diri tentang karakter kuat versi kelompok sendiri dan berdasar masukan (jika ia anggap bermanfaat). Hal-hal bermanfaat ini kemudian dapat ia integrasikan dengan sebuah simpulan sejauhmana dirinya ada dalam karakter yang “ideal” tadi. Misalnya tokoh ini kuat dalam keteguhan hati karena ia tekun bekerja pada risetnya sehingga lahirlah karya dan teorinya. Oleh karena itu mahasiswa tahu bahwa untuk meraih keberhasilan harus teguh hati pada tujuan (lihat Meinarno, 2018). 

Aktivitas kelas ini, selain belajar memahami karakter juga menggugah individu bahwa buah pikiran kelompok tentang karakter tokoh masih dapat “digugat” atau dalam bahasa kerennya adalah berpikir kritis. Untuk menghadapi keadaan itu maka ia dan kelompok harus mempunyai alasan menerima atau menolak berdasar kriteria. Kemampuan memaparkan ide, mempertanyakan, menerima, menolak dan bahkan menjadikan bahan refleksi inilah yang merupakan bagian dari pembangunan karakter yang kuat, bukan kisah tokoh tadi. Tokoh hanya menjadi pemicu yang berguna bagi rujukan diri mahasiswa tentang karakter yang kuat. Mahasiswa secara aktif memikirkan pengembangan karakter kuat bagi dirinya. 

Sebuah langkah untuk generasi phi telah dimulai. Sebuah sesi telah dijalankan untuk mengarahkan generasi phi Indonesia siap menjalani Revolusi Industri 4.0.

Referensi

 

Markam. SS. (2018). Karakter: Sebuah pengantar. Buletin K-PIN. Vol.4. No.10, Mei 2018.

Meinarno, EA. (2017). Perubahan cara belajar: Intervensi sosial untuk perguruan tinggi. Buletin K-PIN. Vol.3. No.5, Mei 2017.

Meinarno, EA. (2018). Mempersiapkan mahasiswa generasi phi (p). Dalam proses penerbitan.

 

Rooijakkers, A. (1988). Mengajar dengan sukses: Petunjuk untuk merencanakan dan menyampaikan pengajaran. Gramedia, diterbitkan dengan kerjasama YKPTK. Jakarta.